Analisis Litbang ”Kompas”: Agus Yudhoyono, Bersiasat dalam Ceruk Sempit Politik
Tidak ingin gagal seperti pada Pemilu 2019, Demokrat kini tengah bersiasat bagaimana menampilkan Agus Yudhoyono dalam panggung kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
Rapat Pimpinan Partai Demokrat, 15 September 2022, akhirnya memutuskan untuk mendukung ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono, maju dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Hanya saja, terkait dengan pilihan menjadi calon presiden ataupun wakil presiden diserahkan sepenuhnya kepada Agus Yudhoyono.
Langkah partai politik mengusung ketua umum partainya sebagai pemimpin nasional sebenarnya bukan persoalan istimewa. Bagaimanapun partai politik yang idealnya menjadi wadah pembentukan pemimpin, tujuan menjadikan para pemimpinnya sebagai pemimpin bangsa merupakan keniscayaan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Itulah mengapa terlepas dari proses pemilu yang selanjutnya menyeleksi kelayakan calon-calon presiden ataupun wakilnya, keputusan Demokrat mengusung Agus Yudhoyono suatu keharusan. Seperti juga Prabowo Subianto yang resmi diusung Partai Gerindra; Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, menempatkan dirinya sebagai calon presiden; ataupun Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar.
Menjadi berbeda pada Partai Nasdem, dalam Rapat Kerja Nasional 15-17 Juni 2022, memilih tiga nama yang sama sekali bukan kader partainya: Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sebagai capres partai.
Selepas putusan Rapimnas Demokrat, Majelis Tinggi Partai Demokrat yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono akan memutuskan kelanjutannya. Apakah Agus Yudhoyono akan tetap diposisikan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden, semua tergantung dari proses politik yang masih dilalui, khususnya dalam koalisi pencalonan presiden dan calon wakil presiden 2024 mendatang.
Hanya saja, proses politik Pemilu Presiden 2024 kali ini memang tidak ringan bagi Demokrat, pun khususnya Agus Yudhoyono. Pasalnya, penurunan suara dukungan dalam Pemilu 2019 semakin mengecilkan daya tawar politik dalam mencalonkan ketua umum partai. Dengan dukungan 10.876.507 pemilih (7,77 persen) dan penguasaan 54 kursi DPR jelas tidak cukup bagi Demokrat mencalonkan Agus Yudhoyono sebagai presiden, kecuali berkoalisi dengan partai politik lainnya.
Mengejar ambang batas kelayakan pencalonan presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, mengindikasikan Demokrat harus berkoalisi setidaknya dengan dua partai politik lainnya.
Perjalanan menjadi semakin terjal jika dikaitkan daya tawar politik Agus Yudhoyono. Bagaimana tidak, sampai sejauh ini sosoknya belum tampak moncer di mata masyarakat. Ia memang sudah dikenal oleh sekitar dua pertiga bagian pemilih.
Sosoknya juga disukai oleh hampir separuh bagian masyarakat. Namun, dengan ukuran elektabilitasnya, hasil survei Litbang Kompas menempatkan sosok Agus Yudhoyono masih berkutat dalam papan tengah, belum mampu menembus dukungan di atas 5 persen pemilih.
Tidak menjadi soal sebenarnya jika selama ini terjadi peningkatan signifikan elektabilitas sosok Agus Yudhoyono dalam survei, yang kian memudahkan posisi tawar sebagai calon presiden terhadap partai politik lain. Namun, hasil survei kurun waktu dua tahun terakhir cenderung berbicara sebaliknya.
Persoalannya kini, dengan tetap mempertahankan posisi Agus Yudhoyono sebagai sosok yang dikontestasikan dalam Pemilu 2024 mendatang, koalisi bersama partai politik mana yang akan dapat dibangunnya?
Dari sederetan proses politik pemilu, inilah tampaknya yang menjadi momen paling krusial bagi Agus Yudhoyono dan Partai Demokrat. Dalam berbagai keterbatasan ruang, diperlukan strategi dan taktik jitu untuk tetap mampu mengantarkan Agus Yudhoyono dalam kontestasi Pilpres 2024.
Berkaca pada Pemilu 2019, proses semacam ini juga menjadi pergulatan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat ketua umum partai. Saat itu, Presiden Joko Widodo yang tengah berupaya melanjutkan periode kedua jabatannya berupaya membangun koalisi partai pengusung. Tercatat, PDI-P, Nasdem, Golkar, PPP, dan beberapa partai nonparlemen, seperti Perindo dan PSI. Memperluas dukungan, Demokrat kala itu menjadi salah satu partai yang didekati Jokowi.
Hanya saja, relasi politik Jokowi dan Demokrat tidak berjodoh. Setelah sempat terkesan merapat, belakangan Demokrat memilih berpaling. Demokrat cenderung lebih menginginkan membangun koalisi ketiga, di luar kekuatan koalisi Jokowi dan koalisi pendukung Prabowo Subianto.
Sekjen Partai Demokrat saat itu, Hinca Panjaitan, mengungkapkan, Demokrat tidak akan berkoalisi dengan Koalisi Keumatan yang dibentuk Partai Gerindra ataupun koalisi Jokowi yang disebutnya sebagai Koalisi Kekuasaan. Demokrat, ujarnya, menyebut koalisi yang tengah digodoknya sebagai Koalisi Kerakyatan.
Koalisi Kerakyatan yang ingin dibangun diharapkan terbentuk dari tiga kekuatan partai politik, yaitu Demokrat, PAN, dan PKB. Seperti diketahui, ketiga partai tersebut berupaya mengusung pimpinannya untuk menjadi capres atau cawapres di 2019. Demokrat menawarkan putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Yudhoyono; PAN menawarkan Ketua Umum Zulkifli Hasan; dan PKB menawarkan Ketua Umum Muhaimin Iskandar.
Berbagai pertemuan dijalankan, tetapi tidak muncul pula kesepakatan. Belakangan, PKB tetap memilih menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi dan PAN lebih memilih mendekat pada koalisi Prabowo.
Sempat disebut sebagai partai ”ketinggalan kereta”, pada akhirnya Demokrat memilih mengusung Prabowo sebagai calon presiden. Terkait posisi cawapres, Yudhoyono menyerahkan keputusan itu kepada Prabowo. ”Untuk cawapres, ini diserahkan kepada capres (Prabowo). Kami akan saling mendengarkan, menimbang pasangan mana yang cocok. Saya yakin capres pada saatnya mengomunikasikan pada partai politik koalisi,” katanya (Kompas, 30/7/2018).
Apa yang terjadi selanjutnya, kurang menggembirakan bagi Demokrat. Proses penentuan calon wakil presiden pun tampak alot. Partai anggota koalisi lainnya menuntut jatah calon wakil presiden. Bagi PKS, misalnya, seperti yang diutarakan Presiden PKS Sohibul Iman, isi rekomendasi Forum Ijtima Ulama, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), merekomendasikan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf al-Jufri dan Ustaz Abdul Somad sebagai cawapres pendamping Prabowo.
Sekretaris Jenderal PKS Mustafa Kamal mengatakan, jika koalisi menghormati hasil Forum Ijtima Ulama, seharusnya Prabowo tidak perlu mencari opsi cawapres lain. ”Dalam situasi sekarang, sudah saatnya kami harus segera mengerucutkan nama. Kami mendengar Pak Prabowo menerima (usulan ulama). Masa dua-duanya tidak dipilih?” katanya.
Sementara anggota partai koalisi lainnya, PAN, masih menyodorkan nama ketua umumnya, Zulkifli Hasan; mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo; Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan; dan Abdul Somad sebagai cawapres pendamping Prabowo. Belakangan, munculnya nama Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden pasangan Prabowo Subianto mengubur setiap sosok yang dicalonkan partai koalisi, termasuk Demokrat.
Dalam Pemilu 2019, langkah Demokrat gagal menampilkan Agus Yudhoyono dalam panggung kontestasi. Begitupun tatkala kegagalan pasangan Prabowo-Sandiaga merebut kemenangan, semakin menambah panjang daftar kepahitan politik Demokrat. Itulah mengapa, dalam Pemilu 2024 mendatang, kekalahan sedapat mungkin harus terhindarkan.
Hanya saja, dalam Pemilu 2024 peta perpolitikan koalisi yang mungkin terbentuk amat dinamis. Prabowo Subianto yang memilih untuk kembali maju bertarung dalam pilpres membangun koalisi bersama PKB, dan kehadiran koalisi tiga partai Golkar-PAN-PPP, kian mempersempit ruang gerak partai-partai politik lainnya. Bagi PDI-P tentu saja tidak menjadi soal besar, lantaran partai ini dapat mengusung calon presiden sendiri tanpa berkoalisi. Namun, bagi Demokrat, ruang berkoalisi menjadi semakin sempit.
Baca juga: Partai Demokrat dan Dilema Politik Agus Yudhoyono
Tampilnya Nasdem dan PKS yang diperkirakan akan mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden, menjadi ruang terbuka bagi Demokrat untuk membangun koalisi. Apalagi, seperti yang tersiar pasca-Kongres Demokrat, beberapa waktu lalu, sosok Anies Baswedan yang digadang berpasangan dengan Agus Yudhoyono dinilai cocok. Tampaknya, inilah siasat terbaik yang dapat dilakukan Demokrat.
Namun, bagi partai politik lainnya, seperti PKS dan Nasdem, memasangkan keduanya tidak serta-merta menjadi jaminan kemenangan. Setidaknya, dalam ukuran elektabilitas, apakah pasangan kedua tokoh tersebut bakal mampu menguasai suara pemilih? Konkretnya, sejauh ini bagaimana peluang keterpilihan Anies-AHY ataupun AHY-Anies? (LITBANG KOMPAS)
Edisi mendatang: AHY Berpasangan dengan Anies, Siapa Berminat?