Ribuan kejadian tersebut menggambarkan frekuensi tinggi terhadap ancaman krisis kebencanaan. Berdasarkan data satu dekade terakhir saja, rata-rata dalam sehari terjadi sedikitnya tujuh bencana di Indonesia. Jenis bencana yang terjadi beragam, mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga banjir bandang dengan jumlah korban terdampak hingga ribuan orang.
Situasi kebencanaan secara nasional menjadi titik krusial pembangunan sistem mitigasi bencana yang memadai. Indonesia memiliki kerentanan tinggi karena posisinya di jalur cincin api yang sangat dinamis pergerakannya secara geologi. Proses-proses eksogenik pun menyumbang banyak bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor.
Ditinjau dari sisi kerawanan bencana, Indonesia memiliki sebaran cukup merata di seantero Nusantara. Namun, wilayah yang memiliki risiko kerugian besar terpusat di Jawa. Pusat-pusat perekonomian terkonsentrasi di banyak lokasi di Pulau Jawa, termasuk pembangunan besar wilayah perkotaan dan aset strategis nasional.
Apabila terjadi bencana skala besar di Jawa, dampak yang ditimbulkan akan jauh berlipat ganda dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Artinya, dibutuhkan pemahaman yang benar sedari awal tentang kondisi kebencanaan di masing-masing wilayah. Dalam konteks bahasan bencana pulau Jawa, perlu dibagi menjadi dua wilayah, yaitu sisi selatan dan sisi utara.
Sisi selatan Jawa merupakan jalur subduksi yang menjadi salah satu sumber gempa paling besar di Indonesia. Gempa yang terjadi di wilayah perairan mampu menimbulkan gelombang besar atau dikenal dengan tsunami. Beberapa segmen gempa di selatan Jawa merupakan daerah seismic gap yang menyimpan energi sangat besar dan tersebar mulai dari Pangandaran hingga Banyuwangi.
Saat sisi selatan Jawa dikepung zona subduksi yang kaya akan risiko kegempaan, sisi utara pun menyimpan potensi bencana yang tak kalah dahsyat. Salah satunya risiko tenggelamnya kota-kota besar dan hilangnya daratan pantai karena abrasi. Salah satu bencana laten yang melanda wilayah utara Jawa belum lama ini adalah rob di kawasan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah. Setidaknya pada Mei, Juni, dan Juli tercatat ada beberapa kali kejadian rob hingga setinggi 60 sentimeter. Akibatnya, aktivitas masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan tersebut terganggu.
Baca Juga: Bertahan Hidup di Zona Rawan Bencana Pulau Jawa

Secara umum, ada lima jenis bencana yang lazim terjadi di wilayah-wilayah utara pulau Jawa. Terdiri dari banjir, tanah longsor, banjir bandang, luapan gelombang pasang laut (rob), kekeringan, dan abrasi. Ancaman bencana ini salah satu penyebabnya karena komposisi struktur geologi dan posisi geografisnya sehingga terjadi perbedaan risiko bencana antara sisi utara dan sisi selatan.
Risiko bencana
Bagian utara Pulau Jawa memiliki sejarah pembentukan wilayah yang berbeda dari sisi selatan. Proses pengendapan material aluvium dari sistem sungai membuat susunan geologinya minim patahan atau sesar yang menjadi sumber gempa. Susunan geologinya didominasi material lebih lunak, seperti kerikil, pasir, lempung, dan endapan erupsi gunung api tersier di sisi tengah Pulau Jawa. Proses pembentukan wilayah seperti ini berimplikasi pada landainya struktur pantai di utara Jawa dibandingkan sisi selatan.
Kajian risiko bencana di utara Jawa fokus pada wilayah kota dan kabupaten yang tersebar di wilayah tersebut. Total ada 28 kota dan kabupaten, mulai dari Kota Cilegon di Banten, Kabupaten Cirebon di Jawa Barat, Kabupaten Rembang di Jawa Tengah, hingga Kabupaten Lamongan di Jawa Timur.
Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2021, catatan kejadian bencana di kota dan kabupaten utara Jawa didominasi banjir, gelombang pasang laut, kekeringan, dan tanah longsor. Kejadian banjir tercatat paling sering terjadi dengan proporsi 61,5 persen dari total kejadian bencana.
Bencana banjir di wilayah pesisir terjadi dengan proses yang kompleks. Melibatkan banyak faktor, seperti curah hujan, luapan sungai, abrasi, dan rob. Faktor penyebab banjir yang kompleks menyebabkan banyak persoalan yang tidak mudah diatasi oleh penduduk di wilayah tersebut.
Dari 28 kota dan kabupaten di sisi utara Jawa, wilayah paling banyak terjadi banjir adalah Kabupaten Tuban di Jatim (506 kejadian), diikuti Kabupaten Cirebon di Jabar (253 kejadian), Kabupaten Gresik di Jatim (194 kejadian), dan Kabupaten Bekasi di Jabar (182 kejadian).
Sayangnya, sebagian besar daerah itu minim melakukan upaya mitigasi bencana alam. Tidak melengkapi daerahnya dengan sistem peringatan dini, jalur evakuasi, dan perawatan sungai. Tak hanya itu, tercatat pula rendahnya partisipasi daerah bersangkutan dalam melakukan rehabilitasi wilayah kepesisiran.
Oleh sebab itu, sebagai upaya menekan dampak kejadian bencana, mitigasi bencana memiliki peran sentral untuk meminimalkan jumlah korban. Salah satu langkah yang perlu dibangun dari awal adalah sistem peringatan dini. Sayangnya, belum semua daerah rawan bencana mengaplikasikan langkah mitigasi ini. Dari 6.626 desa di 28 kota/kabupaten di sisi utara Jawa, ternyata hanya 15 persen yang telah memiliki sistem peringatan dini kebencanaan. Sisanya, belum menerapkan sama sekali.
Selain sistem mitigasi yang terbatas, upaya rehabilitasi wilayah kepesisiran pun minim dilakukan. Proporsi desa-desa pesisir yang tidak memiliki program rehabilitasi berupa penanaman atau pemeliharaan pepohonan di lahan kritis dan penanaman mangrove mencapai 88 persen.
Baca Juga: Ancaman Tenggelamnya Kota-kota Pesisir di Indonesia

Rendahnya kesiapan daerah menghadapi bencana dan melakukan upaya mitigasi menjadi gambaran rentannya wilayah kepesisiran utara Jawa saat terdampak bencana. Padahal, wilayah tersebut menjadi pusat-pusat pembangunan dan kemajuan, seperti Jakarta, Semarang, Cirebon, dan Surabaya.
Selain bencana yang sifatnya ”lazim”, seperti banjir, gelombang pasang laut, dan abrasi, wilayah utara Jawa juga mengalami ancaman bencana lain yang bersifat laten, yakni land subsidence. Ancaman bencana ini berupa penurunan muka tanah karena pemakaian air tanah berlebih dan beban pembangunan yang masif. Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah intrusi air laut yang mencemari air tanah. Permukaan tanah kian ambles dan sulit mendapatkan air bersih.
Berdasarkan pantauan LAPAN, sejumlah wilayah pesisir utara Jawa menunjukkan penurunan signifikan. Pesisir DKI Jakarta terpantau mengalami penurunan 0,1-8 cm/tahun, wilayah Cirebon menurun 0,28-4 cm/tahun, Kota dan Kabupaten Pekalongan ambles 2,1-11 cm/tahun, Kota Semarang turun maksimal 6 cm/tahun, dan terakhir wilayah Surabaya 0,3-4,3 cm/tahun.
Kesiapan mitigasi
Bahasan tentang risiko bencana di pesisir utara Jawa akan terus bergulir dan menjadi urgensi bersama secara nasional. Pasalnya, potensi bencananya mengancam kota-kota strategis yang menjadi pusat pembangunan dan sekaligus jalur pelayaran nasional di dalam wilayah Indonesia.
Tingginya potensi ekonomi di pesisir utara Jawa mengundang banyaknya masyarakat untuk bermukim di kawasan itu. Dekat dengan sumber ekonomi dan penghidupan membuat kawasan utara Jawa menjadi sentra hunian yang padat penduduk. Ditinjau dari sudut kajian bencana, hal ini merupakan ancaman yang besar karena berpotensi menimbulkan efek negatif bagi sekitar 41 juta orang yang bermukim di kawasan itu.

Baca Juga: Rob Masih Mengancam Pesisir Utara Jawa
Berdasarkan catatan BNPB, sepanjang tahun 2021, sebesar 2,2 juta jiwa terdampak bencana alam. Proporsi tersebut terbilang besar karena mencakup hampir 40 persen dari total korban secara nasional, meliputi korban meninggal dunia, hilang, luka-luka, dan menderita.
Sejumlah usaha menjaga kondisi pesisir dari kerusakan telah dilakukan. Salah satunya dengan pendekatan biologis, yaitu penanaman mangrove, hingga secara struktural, seperti pembangunan jetty, sea walls, reklamasi, dan groin. Semua cara tersebut dilakukan agar dampak abrasi karena hantaman gelombang laut berkurang.
Berdasarkan hasil analisis keruangan dalam jurnal “Coastal erosion on the north coast of Java: adaptation strategies and coastal management” (2021), pesisir utara Jateng mengalami kerusakan paling parah, yaitu 261,3 kilometer pantai mengalami abrasi, diikuti Jatim sepanjang 246 kilometer, dan Jabar sepanjang 179,5 kilometer. Tak hanya itu, area mangrove yang terdegradasi mencapai 206.000 hektar.
Ancaman bencana di wilayah pesisir utara Jawa kian masif lagi dengan adanya fenomena perubahan iklim global sehingga turut mengubah sistem ekologi secara menyeluruh. Langkah mitigasi akan kian kompleks dan membutuhkan kolaborasi yang luas serta pendanaan yang kian besar. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar rencana pembangunan wilayah yang kuat dan terpadu dengan menyertakan rancangan mitigasi dan penanggulangan ancaman bencana kewilayahan.
Selain itu, dalam jangka panjang, dibutuhkan pendekatan tata ruang berbasis risiko kebencanaan, seperti kecepatan penurunan tanah, manajemen sumber daya air, dan karakteristik fisik dan sosial wilayah bersangkutan. Dari sisi masyarakat, sosialisasi tentang risiko bencana mutlak harus dilakukan agar, saat terjadi bencana, upaya mitigasi dan rehabilitasi dapat berjalan maksimal. (LITBANG KOMPAS)