Azyumardi Azra Sudah Menunaikan Azan
Isu korupsi menjadi salah satu perhatiannya. Sebagai muazin bangsa, Azyumardi Azra sudah berteriak kencang untuk tetap menguatkan perlawanan pada praktik korupsi.

Azyumardi Azra
Namanya harum di kalangan akademik dan tentu publik. Sosok cendekiawan Muslim ini dikenal kritis, berintegritas, dan tetap sederhana. Komitmennya dalam menjaga kepentingan bangsa juga ia dedikasikan untuk menjaga dan mengawal pemberantasan korupsi. Satu isu yang menjadi perhatian serius dalam pemikiran-pemikirannya.
Harumnya nama Azyumardi Azra tampak saat para sahabatnya membuat catatan testimoni tentang dirinya dalam sebuah buku yang diluncurkan tepat di hari ulang tahun Azra ke-67 awal Maret lalu. Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta ini dikenal sebagai pemikir Islam dan kebangsaan.
Tidak heran jika kemudian julukan sebagai muazin bangsa disematkan pada dirinya. Istilah ini juga disematkan pada tokoh atau guru bangsa lainnya, seperti halnya kepada tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Maarif dan sejumlah tokoh lainnya. Pelekatan pada sosok Buya ini dimulai dari esai Alois A Nugroho dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (2015).
Istilah muazin bangsa ini kemudian sejajar dengan diksi guru bangsa, tokoh bangsa, dan siapa pun yang kemudian menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Nama Azyumardi kemudian masuk jajaran tokoh yang memang layak disebut sebagai muazin bangsa ini.

Hal inipun diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat memberikan sambutan pada peluncuran buku di hari ulang tahun Azyumardi. Mahfud menyebutkan, Azra adalah cendekiawan Muslim yang berintegritas dan selalu bersuara kritis.
Sebagai muazin bangsa, Azra selalu menyuarakan kritik yang pedas. Menurut Mahfud, jika ada kekeliruan dalam kritik yang disuarakan pun, Azra tak segan untuk mengoreksi pendapatnya (Kompas, 18/3/2022).
Kritisisme Azra juga terbangun dari karya-karya tulisnya, terutama artikel opininya di harian Kompas. Sebagai salah satu kolumnis Kompas, tema-tema yang diangkat Azra tidak lepas dari bagaimana menyeimbangkan antara kebijakan negara dengan tetap menempatkan kepentingan publik.
Tak jarang kritikan-kritikan Azra sangat tajam terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, meskipun Azra tidak pernah menjadikan dirinya sebagai oposan. Kritik-kritiknya lebih konstruktif dan obyektif.
Baca juga : Azyumardi Azra, Tokoh yang Berani Menjaga Jarak dengan Kekuasaan
Isu korupsi
Salah satu isu yang menjadi perhatiannya adalah soal korupsi. Pada 5 Desember 2011, Azra menulis artikel berjudul ”Jera Korupsi”. Dalam artikelnya tersebut, Azra dengan keras menyebutkan, masih banyaknya pejabat publik melakukan korupsi tidak lepas dari sifat ketamakan dan hedonis.
”Memandang terus berlanjutnya korupsi dalam skala mencemaskan di kalangan para pejabat publik, korupsi yang mereka lakukan tak lain karena kerakusan. Gaji dan berbagai insentif yang mereka terima sangat lebih daripada cukup. Karena itu, mereka korupsi karena ketamakan belaka, bukan karena ”kebutuhan”, begitu Azra memberikan ilustrasi yang menunjukkan betapa geramnya ia pada korupsi.
Bagi Azra, untuk menumpas korupsi, hukumannya tidak cukup secara konvensional, apalagi nantinya mereka juga mendapatkan remisi. Azra mengusulkan sejumlah cara inkonvensional untuk membuat jera pejabat publik pelaku korupsi.

Diskusi bertema Politik Global dengan Islam Wasathiyah, Mencegah Ekstremisme dan Terorisme di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Kegiatan tersebut menjadi bagian dari kegiatan tasyakuran dan peluncuran 8 buku Azyumardi Azra yang genap berusia 65 tahun. Para pembicara yang hadir adalah (dari kiri ke kanan) Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Syarifudin, Pimpinan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Richard M Daulay, Pendiri SMRC Saiful Mujani, dan juga mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif.
Di antara hukuman tidak konvensional itu adalah ancaman hukuman mati, hukuman seumur hidup, penyitaan seluruh kekayaan, dan kewajiban melakukan pelayanan sosial.
Pelayanan sosial yang dimaksud adalah diwajibkan melakukan kerja sosial tertentu, seperti membersihkan toilet umum, dalam jangka waktu tertentu. ”Kalau perlu, pakaian yang bersangkutan dilengkapi dengan tulisan ’koruptor’,” tulis Azra.
Artikel Azyumardi Azra lainnya terkait korupsi juga ditulisnya pada 11 Juli 2017 dengan judul ”Membela KPK”. Tulisan ini mereaksi upaya Dewan Perwakilan Rakyat yang berupaya membuat hak angket DPR terkait KPK.
Sebagai muazin bangsa, Azyumardi Azra selalu menyuarakan kritik yang pedas.
Menurut Azra, uang rakyat dipakai untuk kegiatan panitia khusus hak angket DPR yang ujungnya mengusut Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap sebagai upaya pelemahan KPK.
Di artikel tersebut, Azra menyayangkan kepada anggota-anggota DPR yang bersih cenderung diam terhadap upaya-upaya pelemahan KPK, tidak terkecuali pada Presiden Jokowi.
”Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan, korupsi adalah satu dari dua ”musuh” terbesar selain kesenjangan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Oleh karena itu, publik menunggu sikap tegas Presiden Jokowi”, begitu ia mengakhiri tulisannya.
Baca juga : Azyumardi Azra dalam Kenangan Pimpinan Organisasi Keagamaan
Politik korup
Artikel lainnya yang begitu menggambarkan perangnya terhadap praktik korupsi juga terlihat dari opininya berjudul ”Politik Korup”. Artikel ini dilatarbelakangi maraknya korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Menurut Azra, hal ini tidak lepas dari proses politik yang mahal dalam kontestasi pilkada. Tak jarang, sang calon kepala daerah membutuhkan asupan logistik yang ia dapatkan dari sumber-sumber yang pada saatnya menagih janji untuk ”mengembalikan” investasi yang ditanamnya dengan pembiayaan pilkada tersebut.
”Keterlibatan donatur atau investor politik membuat proses politik rawan manipulasi. Tidak jarang investor politik menanam kaki di beberapa tempat; memberikan ’sumbangan’ kepada sejumlah pasangan calon. Hasilnya, pasangan mana pun yang menang, sang investor tetap mempunyai kaki dalam pemerintahan,” ungkap Azra dalam artikelnya yang dimuat Kompas pada 11 Januari 2018.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Minggu (2/5/2021).
Bagi Azra, praktik tersebut menjadi salah satu akar pokok dari politik korup yang segera memunculkan korupsi politik. Menurutnya, dalam politik yang semakin tidak ideologis, tetapi pragmatis dan oportunistik, politik transaksional tidak bisa lain kecuali kian berkembang. Untuk itulah, Azra menghendaki KPK yang kuat, gigih, dan konsisten.
Namun, harapan Azra bertepuk sebelah tangan, setahun kemudian revisi terhadap Undang-Undang KPK berhasil digulirkan yang menghasilkan perubahan-perubahan terhadap ruang gerak KPK. Publik kemudian melihatnya KPK telah dilemahkan.
Dalam artikel opininya berjudul ”Saga KPK”, Azra mengungkapkan kegelisahannya akan masa depan pemberantasan korupsi. ”…dengan penekanan pada ’pencegahan’ daripada ’penindakan’, KPK baru nanti kian menjauh dari harapan masyarakat pada umumnya. Hasilnya, korupsi boleh jadi semakin merajalela, baik di tingkat nasional maupun daerah, dengan melibatkan pejabat publik dan pihak swasta,” tulis Azyumardi di kolom opininya (Kompas, 19/9/2019).
Enam bulan setelah UU KPK direvisi, Azyumardi Azra kembali menulis tema korupsi di Kompas. Di kolomnya berjudul ”Darurat Korupsi” (Kompas, 4/2/2021), ia makin menegaskan fakta bahwa KPK makin lemah.

Sembilan anggota Dewan Pers terpilih mengikuti acara serah terima jabatan anggota dewan pers periode 2022-2025 di Jakarta, Rabu (18/5/2022). Ketua Dewan Pers periode 2019-2022 Mohammad Nun berharap anggota Dewan Pers yang baru meningkatkan kualitas wartawan demi kemajuan dunia pers Tanah Air. Azyumardi Azra menjadi ketua Dewan Pers periode 2022-2025.
Menurutnya, revisi UU KPK, yaitu dari UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 yang disebutkan pemerintah untuk memperkuat KPK, yang terjadi justru sebaliknya.
Menurut Azra, revisi tersebut jelas untuk memperlemah KPK. ”Dalam kenyataannya, seperti sudah diingatkan sejumlah tokoh masyarakat sipil sebelumnya, UU No 19/2019 membuat KPK tidak lagi efektif mengganyang koruptor. Berbagai survei menunjukkan kemerosotan kinerja dan kepercayaan publik pada KPK,” tulisnya.
Di akhir artikelnya tersebut, Azra kembali mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak hanya bicara normatif dan gimik tentang pemberantasan korupsi, termasuk tidak defensif hanya menyerahkan pada proses hukum atau praduga tak bersalah.
Baca juga : Azyumardi Azra: Intelektual Merdeka
KPK
Tiga bulan kemudian, Azyumardi kembali mengangkat tema soal KPK dalam artikel opininya di Kompas. Hal ini tidak lepas dengan sorotan publik terhadap KPK terkait keputusan lembaga ini melakukan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara sebagai konsekuensi dari revisi UU KPK. Sebanyak 75 pegawai tidak lolos TWK dan diberhentikan.
Publik menaruh curiga karena sebagian besar penyidik yang selama ini getol dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi masuk dalam bagian dari pegawai yang tidak lolos tersebut. Selain itu, proses TWK ini juga disinyalir mengandung kelemahan administrasi sesuai rekomendasi dari Ombudsman RI.
Masih adakah tersisa asa publik pada Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid V? Bisa juga pertanyaan berbunyi lain: masih perlukah menggantungkan serpihan asa kepada KPK Jilid V yang diketuai Firli Bahuri? Begitu Azra memulai artikelnya untuk menggambarkan kegelisahannya yang ia tuangkan dalam artikel yang ia beri judul ”Serpihan Asa KPK” (Kompas, 27/5/2021).
Azra berpesan pada KPK bahwa publik masih tetap memberi perhatian besar kepada KPK. Untuk itu, KPK semestinya menghormati perhatian dan asa publik itu.

Poster yang dibawa mahasiswa saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/9/2021). Salah satu tuntutan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan Gerakan Selamatkan KPK ini adalah pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK pada 30 September mendatang.
KPK perlu lebih memusatkan segenap perhatian dan usaha pada konsolidasi KPK guna menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan dari serpihan KPK. Menurutnya, hanya dengan cara ini pimpinan KPK dapat sedikit banyak menyelamatkan asa tersisa kepada KPK untuk pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Namun, sayangnya harapan Azra seakan bertepuk sebelah tangan. Pascakegaduhan KPK, rentetan kegaduhan baru muncul. Kasus mundurnya salah satu komisioner KPK akibat dugaan gratifikasi menjadi potret lembaga ini memang tengah diuji.
Namun, harapan tetap harus disematkan agar bangsa ini tetap meyakini akan masa depannya yang lebih baik. Azyumardi Azra sudah menunaikan tugas-tugasnya sebagai muazin bangsa.
Ia telah menunaikan azan dengan berteriak kencang untuk mengajak bangsa ini kepada kebaikan, terutama dalam hal memperbaiki KPK agar bisa menjawab asa dari masyarakat kepada lembaga ini. Selamat jalan sang muazin bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ketua Dewan Pers dan Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra Berpulang