Fenomena ”Great Resignation” dan ”Quiet Quitting”, Apakah Terjadi di Indonesia?
Pandemi membawa perubahan di dunia kerja. Muncul fenomena yang disebut ”great resignation” secara global. Ada pula fenomena ”quiet quitting” dalam merespons ”great resignation”. Seperti apakah kedua fenomena tersebut?
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 menghadirkan fenomena gelombang pekerja yang berhenti dari pekerjaannya secara besar-besaran atau dikenal dengan istilah great resignation. Di sisi lain, muncul pula fenomena quiet quitting dalam merespons great resignation, yang artinya pekerja tidak berhenti sepenuhnya dari pekerjaan, tetapi bekerja dengan standar sangat minimal. Apakah kedua fenomena ini terjadi di Indonesia pascapandemi?
Pembatasan mobilitas dan sosial selama pandemi telah mengubah budaya kerja, dari semula hadir di kantor dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 17.00 sore menjadi bekerja fleksibel dari rumah (work from home).
Budaya kerja ini terjadi secara global, meski tidak berlaku untuk semua sektor ekonomi. Walaupun tidak hadir di kantor, produktivitas kerja terjaga dan perusahaan tetap beroperasi.
Setelah pandemi berangsur teratasi, kebiasaan bekerja fleksibel dari rumah ini tetap berlanjut. Sulit bagi banyak perusahaan untuk mengembalikan karyawannya bekerja penuh di kantor.
Pembatasan mobilitas dan sosial selama pandemi telah mengubah budaya kerja.
Risiko yang muncul adalah banyaknya pekerja yang kemudian berhenti dari pekerjaannya karena mengutamakan kenyamanan hidup yang sudah dinikmati sejak pandemi.
Pekerja mulai melihat tujuan hidupnya secara berbeda dan menginginkan bekerja lebih fleksibel. Model kerja yang hibrida, kombinasi bekerja secara online dan tatap muka, dianggap sebagai alternatif bekerja yang terbaik pascapandemi (Forbes, 21/7/2021).
Biro Statistik Ketenagakerjaan Amerika Serikat menyebutkan, pada Juni 2022 terdapat lebih dari 4 juta pekerja di AS yang berhenti bekerja. Fenomena great resignation atau great attrition atau big quit di AS bahkan sudah dimulai sejak awal pandemi Covid-19 dan terus berlangsung lebih dari dua tahun.
Hasil poling McKinsey yang dipublikasikan oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) pada 5 Agustus 2022 lalu menyebutkan, pekerja di enam negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, India, dan Singapura, secara rata-rata 40 persen mengatakan berencana untuk berhenti bekerja dalam waktu dekat.
Pekerja India bahkan sebanyak 66 persen yang menyatakan tidak bahagia dengan pekerjaannya dan ingin berhenti kerja dalam 3-6 bulan ke depan. Di Singapura terdapat 49 persen yang juga ingin berhenti kerja. Di Inggris, yang diakui pekerjanya merupakan yang paling bahagia di dunia, sebanyak sepertiganya juga ingin segera berhenti bekerja.
Dari riset McKinsey tersebut, faktor kurang memiliki prospek ke depan dalam pekerjaan menjadi alasan utama untuk meninggalkan pekerjaan. Hal ini disampaikan oleh setidaknya 41 persen responden.
Alasan kedua terkait dengan upah/gaji yang tidak sesuai. Alasan selanjutnya adalah atasan yang tidak menghargai anak buahnya (uncaring leaders), pekerjaan yang tidak lagi bermakna (meaningless work), dan fleksibilitas lingkungan kerja yang buruk.
Oleh sebab itu, untuk menghentikan gelombang great resignation ini, McKinsey menyarankan perusahaan memberikan perhatian pada masalah upah dan benefit yang diberikan kepada karyawan. Selain itu, juga memastikan adanya pengembangan karier yang layak/tepat bagi karyawan, serta memastikan para atasan/pemimpin bekerja menginspirasi anak buahnya.
Ketidakpuasan terhadap upah, atasan, dan lingkungan kerja tidak kemudian berakhir dengan berhenti bekerja. Fenomena baru yang menjadi respons dari great resignation ini ada yang disebut quiet quitting. Istilah ini bermakna tidak berhenti sepenuhnya dari pekerjaan.
Jika pekerja saat ini tidak puas dengan pekerjaan, namun berhenti bekerja bukanlah opsi yang tepat dan tidak ada pilihan pekerjaan yang lain, mereka akan melakukan quiet quiting. Sederhananya, mereka hanya akan bekerja seadanya dengan ekspektasi yang rendah.
Orang yang menjalankan quiet quitting ini bukan menghindari kewajiban dalam bekerja, tetapi mereka mencari keseimbangan dan makna hidup yang lebih baik di luar pekerjaan. Langkah sederhana yang mereka lakukan adalah tidak mau melakukan kerja lembur.
Tren quiet quitting ini digaungkan oleh pekerja-pekerja muda usia, kalangan milenial, dan generasi Z. Pekerja-pekerja muda ini mencari fleksibilitas dalam pekerjaan, juga keseimbangan hidup. Banyak pekerja muda yang menolak gaya hidup yang hanya fokus pada pekerjaan. Mereka tetap bekerja, tetapi tidak mau diatur oleh pekerjaan.
Fenomena quiet quitting ini pada akhirnya akan bermuara pada great resignation. Di Inggris, misalnya, meskipun telah terjadi kenaikan tajam jumlah orang yang berhenti bekerja pada tahun 2021, masih terdapat satu dari lima pekerja yang berencana mengundurkan diri dalam rentang setahun ke depan untuk mencari kepuasan kerja dan kesejahteraan yang lebih baik. Dalam periode menunggu sampai benar-benar berhenti inilah quiet quitting berlangsung.
Melakukan quiet quitting ini bukan sepenuhnya negatif. Hal itu oleh karena upaya-upaya untuk mendapatkan keseimbangan hidup antara dunia kerja dan dunia sosial (termasuk keluarga) berkaitan dengan kesehatan mental.
Ketidakpuasan dalam bekerja, yang antara lain disebabkan tidak adanya peningkatan karier yang bertemali dengan kesejahteraan atau tidak mendapat pengakuan atas prestasi, akan diinternalisasi sebagai kegagalan personal.
Hal ini akan meningkatkan kecemasan, stres, hingga menurunkan harga diri. Akibatnya, produktivitas akan menurun. Padahal, banyak penelitian yang menyebutkan pekerja yang lebih bahagia akan lebih produktif. Quiet quitting menjadi semacam jalan tengah. Pekerja menolak kerja yang berlebihan, dan memilih keseimbangan dan kebahagiaan.
Dari penjelasan mengenai great resignation dan quiet quitting yang terjadi pascapandemi ini, apakah fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia?
Merujuk pada negara-negara tempat terjadinya great resignation, rasanya Indonesia belum mengalami fenomena tersebut. Negara-negara yang terdapat banyak kasus pekerja mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai pilihan hidup ini adalah negara-negara dengan tingkat kesejahteraan dan pendapatan yang tinggi, seperti enam negara yang diriset oleh McKinsey mengenai great resignation.
Indonesia masih jauh dari kondisi tersebut. Dengan kata lain, orang Indonesia masih butuh pekerjaan, baik formal maupun nonformal, dan cenderung terus bekerja untuk mencapai kemapanan.
Di Indonesia saat ini masih terdapat sekitar 8,4 juta orang dengan status pengangguran terbuka (Sakernas BPS, Februari 2022). Di masa pandemi, pekerja di Indonesia lebih mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) ketimbang mengundurkan diri karena menginginkan pekerjaan yang lebih fleksibel.
Akibat PHK, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada awal pandemi meningkat menjadi 9,77 juta orang (periode Agustus 2020). Jumlah tersebut naik 42 persen dibandingkan kondisi enam bulan sebelumnya.
Namun, fenomena quiet quitting bisa jadi juga terjadi di Indonesia karena alasan ketidakpuasan bekerja yang lebih universal. Dan, hal ini bisa terjadi baik sebelum maupun sesudah pandemi, tidak berkaitan langsung dengan fenomena great resignation yang muncul pascapandemi. (LITBANG KOMPAS)