Analisis Litbang "Kompas": Partai Demokrat dan Dilema Politik Agus Yudhoyono
Keberhasilan reproduksi kepemimpinan Partai Demokrat dihadapkan pada tantangan loyalitas dan perluasan dukungan.
Menjejak usia 21 tahun, Partai Demokrat layak berbangga diri. Pasalnya, di antara partai-partai politik yang dibangun dengan modal kekuatan ketokohan pendirinya dan cenderung bersifat personal (personalistic party), baru Partai Demokrat yang pertama menuntaskan proses reproduksi kepemimpinannya.
Partai-partai bercorak sejenis, sejauh ini masih belum terjamah kaderisasi kepemimpinan. PDI P, misalnya, semenjak pendiriannya (1 Februari 1999) hingga kini, sudah tujuh periode masa jabatan kepemimpinan tidak berubah, tetap mendudukkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam kurun waktu tersebut, hanya pada level ketua DPP dan Sekjen yang berubah-ubah. Tampilnya putri Megawati, Puan Maharani yang makin intens dalam panggung politik, bisa jadi menjadi penanda reproduksi politik Megawati. Namun, kepentingan karir politik Puan Maharani pada Pemilu 2024 tampak lebih kontras diperlihatkan ketimbang alih generasi kepeminpinan partai.
Selain PDI P, Partai Gerindra dan Nasdem pun relatif serupa. Sejak didirikan (6 Februari 2008) hingga kini, sosok Prabowo menjadi patron partai. Partai Nasdem, sejak didirikan (1 Februari 2011) hingga kini tetap dalam kepemimpinan Surya Paloh. Tidak tampak figur penerus dari kedua sosok tersebut. Sedemikian kuatnya patronase tokoh-tokoh tersebut, tidak mengherankan jika Gerindra diidentikan dengan Prabowo, dan Nasdem adalah Surya Paloh.
Partai Demokrat tentu saja tidak terlepaskan dari bangunan patronase politik semacam ini. Sosok sang patron, Susilo Bambang Yudhoyono, juga identik dengan Demokrat. Kehadiran Partai Demokrat, 9 September 2001 lalu, memang tidak lepas dari upaya memfasilitasi strategi dan langkah politik Yudhoyono dalam mengejar kursi kepresidenan.
Begitu pun selanjutnya, tatkala jabatan kepresidenan berhasil digenggam, Demokrat tetap menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari Yudhoyono. Singkatnya, peningkatan posisi politik Yudhoyono secara serta merta meningkatkan pula posisi politik Demokrat. Sebaliknya, penurunan posisi politik Yudhoyono, juga menjadi penurunan pengaruh politik Demokrat.
Belakangan ini, kondisi penurunan pengaruh politik yang kini tengah menjadi pergulatan Demokrat. Selepas Yudhoyono tidak lagi menjabat kepresidenan, pamor Demokrat cenderung redup. Dua pemilu terakhir (Pemilu 2014 dan Pemilu 2019) menegaskan semakin terpuruknya pengaruh politik partai selepas jabatan kepresidenan Yudhoyono.
Apabila di era kejayaan partai (Pemilu 2009) mampu menguasai hingga 20,8 persen suara pemilih, selepas itu menurun drastis. Pemilu 2019 lalu tersisa 7,7 persen suara dukungan. Proporsi tersebut relatif tidak berbeda jauh dengan proporsi suara yang berhasil diraih ini saat pertama kalinya Demokrat bertarung dalam Pemilu 2004.
Dihadapkan pada kondisi semacam itu, menjadi relevan jika Demokrat menampilkan sosok baru pemimpin. Tampilnya Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi jawaban yang sekaligus menjadikan partai ini tetap dalam corak personalistik.
Artinya, relasi patron-klien tetap menjadi dasar pembentukan hubungan politik antara partai dan para simpatisannya. Sekalipun dalam upaya pereproduksian kepemimpinan tersebut terdapat riak-riak konflik perebutan kepemimpinan, namun hingga kini relatif terpertahankan. Posisi patron Susilo Bambang Yudhoyono berhasil tereproduksi kepada putranya, Agus Yudhoyono.
Jika ditelusuri, pilihan tetap mempertahankan pola relasi patron-klien dalam kepartaian di negeri ini menjadi rumusan politik paling strategis. Terbukti, selepas Pemilu 2004 dan bersamaan dimulainya pemilihan presiden secara langsung, partai-partai personalistik yang berbasis relasi politik klientelistik semacam itu mampu menguasai panggung politik. Sebaliknya, partai-partai yang berkiprah tanpa mengandalkan bangunan klientelistik yang dimiliki tokoh politiknya, tidak mampu menghasilkan surplus dukungan signifikan.
Hanya saja, persoalannya kini, apakah rumusan pereproduksian kekuasaan partai kepada Agus Yudhoyono sejauh ini mampu melanggengkan pola-pola klientelistik yang dipertahankan?
Mengacu pada rumusan teoritik pola klientelistik kepartaian, Tomsa dan Ufen (2013) memaparkan keberhasilan ataupun kegagalan mempertahankan relasi politik antara sang patron dan klien-nya tidak terlepas dari kekuatan tiga elemen relasi, yaitu kekuatan iterasi, asimetri, dan resiprositas, yang dipertahankan.
Dalam posisi sebagai Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono mampu menjaga ketiga dimensi tersebut dengan baik yang sekaligus menempatkannya sebagai patron partai. Namun, menjadi tantangan terbesar bagi penerusnya Agus Yudhoyono.
Dalam elemen iterasi, misalnya, kekuatan Agus Yudhoyono sebagai patron politik baru berelasi dengan para pendukung atau kliennya, akan terus-menerus diuji sebagai bentuk kontrol loyalitas. Keberhasilan Agus Yudhoyono dalam mempertahankan kepemimpinannya dari upaya perebutan kekuasaan partai dalam Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang menetapkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai Ketua Umum, misalnya, bagian dari proses iterasi kualitas kepatronannya. Dengan peristiwa tersebut, Agus Yudhoyono sejauh ini lolos dari pengujian.
Akan tetapi, Agus Yudhoyono masih terus-menerus berada dalam medan pengujian lainya. Dalam mempertahankan dimensi asimetris sang patron, misalnya, apakah modal ketokohan Agus Yudhoyono terbilang dominan hingga mampu menempatkan dirinya sebagai kekuatan politik, ekonomi, ataupun sosial di atas para kliennya?
Pola “ketidaksimetrisan” relasi yang harus dipertahankan sebagai patron baru ini tentu saja berkaitan dengan kekuatan dan kelengkapan modal yang dimilikinya. Semakin besar modal, baik modal ekonomi, sosial, ataupun simbolik, yang dikuasainya, semakin kuat posisi asimetrik patron yang disandangnya. Begitu pula sebaliknya jika ia tidak memiliki kekuatan dan kelengkapan modal politik.
Di sisi lain, sebagai patron baru, Agus Yudhoyono juga dihadapkan pada tantangan penguasaan dimensi resiprositas klientelistik yang tidak mudah. Dalam hal ini, manfaat relasi patron-klien yang menjadi corak Demokrat harus ditempatkan secara resiprokal, atau bersifat timbal balik antara sosoknya sebagai patron dan para konstituen partai sebagai kliennya.
Dalam pola semacam itu, menjadikan sosok Agus Yudhoyono sebagai patron baru tidak lepas dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh para pendukung ataupun pemilihnya. Semakin kuat manfaat yang didapatkan dalam berelasi, semakin kuat pula bangunan elemen resiprositas terbentuk, yang pada akhirnya menentukan kekuatan corak loyalitas dukungan pemilih.
Menarik mencermati kekuatan loyalitas pemilih Demokrat yang terbangun selama kurun waktu setahun terakhir. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas Oktober 2021, misalnya, tercatat sekitar 60,8 persen responden yang mengaku memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2019 lalu, akan berniat memilih kembali partai ini.
Namun pada survei di bulan Juni 2022 lalu, terjadi peningkatan menjadi 68,9 persen pemilih Demokrat yang berniat memilih kembali partai ini. Peningkatan loyalitas dukungan terhadap Demokrat ini setidaknya menunjukkan pengkonsolidasian yang relatif membaik dalam kepemimpinan Agus Yudhoyono setahun terakhir.
Hanya saja, pada sisi yang lain, kekuatan Agus Yudhoyono sebagai patron baru Demokrat belum berelasi terhadap dimensi-dimensi lain dari pola klientelistik yang dipertahankan. Hal demikian tampak pada kecenderungan para pemilih Partai Demokrat yang belum sepenuhnya menjadikan Agus Yudhoyono sebagai satu-satunya patron politik mereka.
Merujuk pada hasil perbandingan survei yang sama, sosok Agus Yudhoyono tampaknya belum menjadi pilihan terbesar sebagai calon presiden dalam pemilu. Para pemilih Partai Demokrat masih konsisten memilih tokoh-tokoh politik seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno sebagai pilihan presiden mereka.
Bahkan, dalam posisi sebagai calon wakil presiden pun, hanya sekitar 11,5 persen responden pemilih Demokrat yang menjadikan Agus Yudhoyono sebagai calon wakil presiden. Sosok politik seperti Sandiaga Uno dan Anies Baswedan lebih banyak dirujuk.
Masih relatif rendahnya preferensi dukungan para pemilih Demokrat terhadap Agus Yudhoyono menunjukkan potret kekinian transformasi kepemimpinan dalam tubuh Partai Demokrat. Bagi partai yang mengandalkan pola klientelistik, kondisi yang dihadapi Agus Yudhoyono tentu saja menjadi serba dilematis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga Kompaspedia: Profil Partai Demokrat