Prabowo Subianto dan Kalkulasi Kemenangan Sang Petarung
Kepiawaian dalam menguasai pendukung Jokowi dan memilih calon wakil presidennya menjadi dua syarat yang memperbesar peluang kemenangan Prabowo Subianto.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Bersandar pada loyalitas pendukungnya selama ini tidak menjadi jaminan bagi Prabowo memenangkan Pemilu 2024 mendatang. Sekalipun memiliki barisan strong voter yang kokoh dalam dua pemilu lalu, namun masih belum sepenuhnya teryakinkan, apakah seluruh dari 89,5 persen pemilih Prabowo yang tergolong loyal itu akan memilihnya kembali pada pemilu mendatang.
Mencermati lebih jauh, para pendukung setia Prabowo dapat dipilah lagi dalam dua kelompok besar. Pertama, pendukung dengan loyalitas yang terbangun pada sosok dan kiprahnya selama ini. Kekaguman pada sosok Prabowo, biasanya tertuju pada gaya kepemimpinannya, latar belakang militernya, sikap ketegasan, keberanian, wibawa, maupun sikap patriotik yang ditunjukkan selama ini.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Bagi pendukung tipe demikian, kekalahan Prabowo dalam berbagai kontestasi politik selama ini tidak banyak meluruhkan kesetiaan mereka. Bisa jadi, kekalahan dan kegigihan Prabowo untuk terus maju berkontestasi semakin memperkuat loyalitas.
Berapa besar proporsi pendukung semacam ini? Belum jelas terindikasikan jumlahnya. Akan tetapi, bersandar pada hasil survei selepas Pemilu 2019, dapat menjadi gambaran kasar.
Berbeda dengan tokoh politik lainnya, berdasarkan hasil survei, khususnya survei Litbang Kompas sepanjang tahun 2022, elektabilitas Prabowo relatif stagnan. Ia berada pada papan atas dukungan, dengan kisaran 25,3-26,5 persen. Besar dugaan, inilah proporsi sesungguhnya barisan strong voter yang berkiblat pada kekaguman sosok Prabowo.
Kedua, pendukung dengan loyalitas yang terbangun lantaran orientasi yang berbeda dengan lawan politik Prabowo selama ini (Joko Widodo). Loyalitas kelompok demikian tergolong semu, lantaran Prabowo menjadi alternatif pilihan asalkan bukan Joko Widodo. Loyalitas kelompok demikian dengan sendirinya pudar, tatkala terdapat sosok politik lain yang dinilai merepresentasikan kepentingannya. Begitu pula, dengan mudah berpindah dukungan seandainya langkah politik Prabowo berputar haluan.
Keputusan Prabowo menjalin koalisi pemerintahan dengan Presiden Joko Widodo menjadi ujian bagi loyalitas kelompok demikian. Becermin pada perbandingan hasil survei, adanya perubahan latar belakang identitas sosial pendukung Prabowo selepas Pemilu 2019 mengindikasikan beralihnya loyalitas kalangan demikian. Jika sebelumnya pendukung Prabowo terkonsentrasi pada identitas sosial dan wilayah tertentu, kini mulai mencair.
Berkurangnya barisan pendukung, menyisakan kalangan pendukung yang benar-benar berorientasi pada sosok Prabowo. Dengan mengandalkan barisan pendukung semacam ini, jelas peluang kemenangan belum terjaminkan. Persaingan elektabilitas survei belakangan ini teramat ketat pada tokoh-tokoh yang berada di papan atas elektabilitas. Sementara itu, sepanjang tahun ini, elektabilitas Prabowo cenderung stagnan.
Meningkatkan peluang dukungan, bagi Prabowo tampaknya hanya dapat dilakukan dengan dua alternatif. Di satu sisi, Prabowo perlu memperluas barisan pendukungnya dari kalangan pemilih Joko Widodo. Selepas masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo mewariskan barisan pendukung yang tidak kalah loyal. Namun sejauh ini, belum satupun sosok yang menjadi rujukan kelompok pendukung Joko Widodo.
Penguasaan dukungan dari kelompok pendukung Joko Widodo tidak ringan. Sekalipun keputusan Prabowo menjadi bagian dari kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo sedikitnya mulai menguak celah dukungan, atau setidaknya mengurangi resistensi dari pendukung Joko Widodo pada dirinya, belum menjadi jaminan beralihnya dukungan. Masih diperlukan dukungan langsung Presiden Joko Widodo pada dirinya.
Sisi lain, peluang kemenangan Prabowo semakin terbuka jika diikuti dengan ketepatan memilih calon wakil presidennya. Sebenarnya, strategi pemilihan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 menjadi sangat penting bagi siapapun calon presiden yang bertarung.
Pasalnya, sejauh ini belum ada satupun sosok calon presiden yang dominan dalam perolehan dukungan. Dengan hanya mengandalkan kekuatan sosok Prabowo, tidak cukup melonggarkan peluang kemenangan. Pertanyaannya, sosok calon wakil presiden seperti apa yang mampu mendongkrak dukungan terhadap Prabowo?
Kalkulasi logis, peluang peningkatan dukungan terjadi apabila sosok calon wakil presiden mampu berkontribusi terhadap celah kekurangan dukungan Prabowo. Sejauh ini, berdasarkan hasil survei opini publik, berbagai karakteristik pemilih dengan latar-belakang identitas tertentu menjadi celah defisit dukungan Prabowo.
Dari sisi jenis kelamin, misalnya, barisan dukungan kaum perempuan relatif rendah, di bawah proporsi perimbangan nasional. Begitu pula dari sisi pendidikan dan status ekonomi pemilih, kelompok yang terkategorikan kalangan bawah dan atas tergolong minim. Sejauh ini, kelompok menengah menjadi bengteng kekuatan dukungan Prabowo. Sementara, dari sisi agama, barisan pemilih berlatar belakang non Islam dan juga kalangan Islam yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama kurang proporsional.
Celah longgarnya dukungan dari aspek kewilayahan juga menjadi problem yang perlu diimbangi oleh kehadiran calon wakil presiden. Di Pulau Jawa, misalnya, selama ini, wilayah dukungan Prabowo terpusat di Provinsi Jawa Barat. Sekalipun jumlah pemilih di Jawa Barat terbanyak dari seluruh provinsi di Indonesia, namun belum menjaminkan kemenangan.
Pasalnya, basis dukungan Prabowo di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dua provinsi dengan jumlah pemilih besar, selama ini tidak besar. Kondisi ini pula yang membuat Prabowo tidak mampu memenangi suara pemilih di Pulau Jawa dalam setiap pemilu yang diikutinya.
Di luar Pulau Jawa, harus diakui, pendukung Prabowo tergolong signifikan. Terbesar, bermukim di sebagian besar provinsi di Sumatera, kecuali di Sumatera Utara. Begitu juga di sebagian Sulawesi. Namun, untuk Kalimantan, Bali, dan sebagian besar wilayah Indonesia Timur, tidak cukup mampu terkuasai. Dengan celah kelemahan semacam ini, menjadi semakin signifikan jika sosok pasangan calon wakil presiden mampu membangun dukungan di wilayah-wilayah tersebut.
Dengan mencermati dua syarat peningkatan peluang kemenangan Prabowo di atas, tampak jika keduanya saling berkelindan. Celah kelemahan dukungan pada Prabowo selama ini sekaligus juga merepresentasikan kekuatan dari loyalitas dukungan pada sosok Joko Widodo. Itulah mengapa, menjadi semakin taktis bagi Prabowo dalam mempertimbangkan sosok-sosok calon wakil presidennya yang mampu merepresentasikan barisan para pendukung Joko Widodo.
Menjadi persoalan kini, dari berbagai tokoh politik yang selama ini sudah dimunculkan dalam panggung persaingan pemilu, siapakah sosok paling tepat menjadi calon wakil presidennya?
Jika sejauh ini dalam berbagai pemberitaan Prabowo coba dipasangkan dengan tokoh berlatar belakang partai politik dengan kekuatan basis dukungan di Pulau Jawa. Terdapat sosok Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, ataupun Agus Harimurti Yudhoyono, yang dinilai mampu mengisi celah kekurangan dukungan padanya.
Begitu pula, kehadiran tokoh-tokoh politik lainnya, yang kini menjabat sebagai kepala daerah di Pulau Jawa, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, ataukah Gubernur DKI Anies Baswedan.
Dari seluruh sosok politik tersebut, siapakah yang paling lekat dengan karakteristik pendukung Joko Widodo, hingga mampu memperbesar peluang kemenangan Prabowo? (Bersambung)