Analisis Litbang ”Kompas”: Tiga Tahun Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional
Melandainya kasus Covid-19 membuat fokus anggaran tidak lagi pada fokus pada pandemi. Meskipun demikian, anggaran kesehatan dan bantuan sosial tetap menjadi perhatian pemerintah.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Seiring dengan semakin membaiknya penanganan pandemi di Indonesia, anggaran yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional tahun 2022 mulai dikurangi. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, anggaran pemulihan ekonomi tidak akan dialokasikan lagi untuk tahun depan.
Sejak terjadinya pandemi Covid-19 tahun 2020, pemerintah memberi stimulus fiskal untuk mengendalikan penyebaran virus dan memulihkan perekonomian yang terdampak. Penerima stimulus adalah masyarakat secara umum dan pelaku usaha.
Selama tiga tahun, total anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sudah mencapai Rp 1.416,38 triliun. Rinciannya adalah Rp 579,78 triliun pada tahun 2020 dan Rp 658,6 triliun pada 2021. Untuk tahun 2022, dari target Rp 455,62 triliun, per 19 Agustus lalu sudah terealisasi sebanyak Rp 178 triliun.
Dari jumlah tersebut, anggaran terbesar dialokasikan untuk program penanganan kesehatan dan perlindungan sosial atau masyarakat. Porsi keduanya dibandingkan total dana PEN adalah 49 persen (2020) dan 56 persen (2021).
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, anggaran pemulihan ekonomi tidak akan dialokasikan lagi untuk tahun depan.
Anggaran penanganan kesehatan pada tahun 2020 hanya sebesar Rp 63,51 triliun. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan tahun berikutnya karena di tahun 2020 fokus penanganan lebih pada pembelian obat, insentif tenaga kesehatan, dan penggantian klaim perawatan pasien Covid-19. Saat itu penyebaran virus masih tidak terlalu tinggi.
Di tahun 2021, anggaran penanganan kesehatan naik tiga kali lipat oleh karena jumlah kasus positif melonjak yang ditandai dengan munculnya gelombang varian Delta. Selain itu, anggaran juga bertambah karena pembelian vaksin Covid-19 untuk memberikan kekebalan kepada masyarakat. Jumlah anggaran penanganan kesehatan tahun 2021 adalah Rp 198,5 triliun.
Kondisi ini berkebalikan dengan anggaran untuk program perlindungan sosial. Di tahun pertama pandemi, anggaran perlindungan sosial hampir empat kali lipat anggaran kesehatan.
Hal itu karena penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebelum berganti nama menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), membutuhkan kompensasi bagi masyarakat yang ruang gerak dan aktivitas ekonominya dibatasi. Ekonomi lesu dan Indonesia secara teknis mengalami resesi ekonomi.
Dana perlindungan sosial yang disalurkan pada tahun 2020 mencapai Rp 220,39 triliun. Selain Program Keluarga Harapan atau PKH, beberapa program yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain adalah bantuan sosial (bansos) tunai, penyaluran kartu sembako, program bantuan beras, pemberian diskon listrik, bantuan langsung tunai (BLT) desa, serta program prakerja dan bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja yang mendapat upah maksimal Rp 3,5 juta per bulan.
Di tahun 2021, anggaran perlindungan sosial berkurang menjadi Rp 171 triliun. Besarannya menjadi di bawah anggaran penanganan kesehatan. Hal itu karena meskipun PPKM masih berlangsung, namun pembatasan mulai diperlonggar agar perekonomian bisa perlahan bangkit. Dengan kegiatan yang mengarah ke normal, kompensasi dari kebijakan pembatasan bisa dikurangi.
Untuk tahun 2022, meski kasus positif masih meningkat dengan adanya gelombang Omicron, bahkan puncak jumlah kasus hariannya sempat melebihi kasus saat gelombang Delta, penanganan Covid-19 sudah semakin terkendali sehingga pemerintah memiliki kepercayaan diri untuk mengurangi anggaran PEN 2022.
Pemanfaatan anggaran PEN pun mulai bergeser dari penanganan kesehatan dan program perlindungan sosial ke program pemulihan ekonomi untuk meredam dampak ketidakpastian global yang menyebabkan angka inflasi meningkat.
Target anggaran PEN 2022 turun sebesar 38,8 persen menjadi Rp 455,62 triliun. Pengalokasiannya pun lebih disederhanakan menjadi hanya tiga kelompok, berbeda dengan dua tahun sebelumnya yang dibagi ke dalam lima atau enam kelompok program. Ketiga kelompok tersebut adalah penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan pemulihan ekonomi.
Porsi terbesar diperuntukkan bagi program pemulihan ekonomi, yaitu sebesar Rp 178,32 triliun atau 39 persen. Hal ini dilakukan untuk menjaga proses pemulihan yang sudah berjalan baik. Untuk penanganan kesehatan besarnya Rp 122,54 triliun, sedangkan untuk perlindungan sosial sebesar Rp 154,76 triliun. Hingga 19 Agustus 2022, realisasi PEN baru mencapai 39 persen.
Anggaran kesehatan masih dialokasikan untuk melanjutkan program vaksinasi, insentif tenaga kesehatan, insentif perpajakan, juga perawatan pasien Covid-19. Sementara perlindungan sosial juga melanjutkan program yang sudah ada termasuk untuk perluasannya jika situasi membutuhkan.
Pengalokasian ini didesain fleksibel dengan kemungkinan perubahan atau penambahan sebagal langkah antisipatif karena ancaman varian baru masih ada, di samping perburukan situasi ekonomi yang dipengaruhi oleh kondisi global.
Anggaran kesehatan masih dialokasikan untuk melanjutkan program vaksinasi, insentif tenaga kesehatan, insentif perpajakan, juga perawatan pasien Covid-19.
Faktanya, pemerintah per 3 September 2022 menaikkan harga bahan bakar minyak untuk jenis pertalite, solar, dan pertamax. Sebagai kompensasi dari kenaikan tersebut bagi masyarakat kurang mampu, pemerintah memberikan BLT sebesar Rp 12,4 triliun. Juga program BSU senilai Rp 96 triliun kepada pekerja, dan Rp 2,17 triliun untuk subsidi angkutan umum, bantuan ojek daring, dan untuk nelayan.
Dengan realisasi anggaran PEN kelompok perlindungan masyarakat tahun 2022 yang baru terealisasi Rp 82,3 triliun atau 53 persen, percepatan penyerapannya bisa dilakukan dengan menyalurkan bantuan sosial dalam rangka kenaikan harga BBM ini.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memberi landasan bagi pemerintah untuk mengatasi kedaruratan kesehatan dan ekonomi yang disebabkan pandemi. Program PEN ditujukan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya.
Pembiayaannya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan memperhatikan kemampuan APBN dan beban yang timbul, pemerintah memperlebar defisit APBN hingga melebihi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Namun, UU No 2/2020 membatasi pelonggaran defisit hanya hingga tahun 2022.
Dengan kondisi ekonomi 2023 yang dianggap sudah lebih bangkit dan masyarakat sudah mulai bekerja normal, maka tidak perlu disediakan lagi stimulus fiskal untuk menanggulangi ekonomi yang terkontraksi.
Secara teknis, Indonesia sudah keluar dari kondisi resesi ekonomi sejak triwulan kedua 2021. Perekonomian Indonesia bisa tumbuh positif di angka 3,69 persen pada tahun 2021, mengoreksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 yang negatif 2,07 persen.
Dengan demikian, era insentif atau stimulus fiskal pun berakhir. Mulai tahun anggaran 2023, besaran defisit akan kembali ke angka maksimal 3 persen dari PDB. Meski demikian, pemerintah tidak lepas tangan untuk masalah kesehatan yang mungkin timbul dan menyalurkan bantuan bagi masyarakat.
Rancangan APBN 2023 masih mengalokasikan dana untuk fungsi kesehatan sebesar Rp 97,6 triliun dan dana program perlindungan sosial sebesar Rp 241 triliun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, negara akan tetap hadir untuk rakyat lewat APBN. (LITBANG KOMPAS)