Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Partai Politik Kurang Diminati
Menjadi aktivis partai politik bukan pilihan karier, bahkan cenderung dihindari dengan alasan dunia politik yang penuh intrik. Pekerjaan rumah bagi partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik.
Daya tarik partai politik belum mampu menjadikan banyak pihak memilih berkarier politik dengan menjadi aktivis partai. Anggapan minor soal dunia politik turut menjadi faktor yang membuat banyak pihak enggan terjun dalam dinamika kepartaian.
Gejala ketidaktertarikan terhadap partai politik inilah yang terbaca dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal Agustus 2022 lalu. Hampir separuh responden (47,8 persen) menyatakan tidak tertarik memasuki dunia partai politik, baik hanya menjadi anggota biasa maupun sebagai pengurus, apalagi menjadi calon legislatif dari partai politik tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kelompok responden yang cenderung menolak masuk partai politik ini beralasan ingin berkarier di dunia profesional yang jauh dari dunia politik. Sementara sebagian responden yang juga menyatakan tidak tertarik menjadi aktivis partai politik dilatarbelakangi sikap mereka yang memandang dunia politik buruk. Bahkan, tidak sedikit mengakui bahwa dunia politik menakutkan sehingga cenderung dihindari.
Daya tarik partai politik belum mampu menjadikan banyak pihak memilih berkarier politik dengan menjadi aktivis partai.
Jika merujuk kategori latar belakang pendidikan, kelompok responden dengan pendidikan atas cenderung lebih banyak yang menghindari berkarier di dunia politik dengan bergabung ke partai politik. Dari kelompok responden berpendidikan atas, hampir 60 persen lebih memilih berkarier di dunia profesional.
Dengan berbekal ijazah pendidikan tinggi, boleh jadi peluang mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik akan mudah diwujudkan dengan berkarier di dunia profesional dibandingkan masuk partai politik.
Sementara itu, kelompok responden dengan latar belakang pendidikan dasar dan menengah, meskipun sama-sama banyak yang menolak masuk partai politik, porsinya masih di bawah kelompok responden pendidikan atas. Hal ini juga dikuatkan dengan mereka yang tertarik menjadi anggota partai politik lebih banyak porsinya disebutkan dari kelompok responden dengan pendidikan dasar.
Kita lihat saja dari mereka yang menjawab tertarik dan bersedia menjadi anggota partai politik, bahkan bersedia menjadi pengurusnya. Dari kelompok responden berpendidikan dasar, sebanyak 21,6 persen tertarik menjadi anggota sekaligus pengurus partai politik.
Sementara dari kelompok responden berpendidikan menengah, angkanya hanya mencapai 9,1 persen. Sementara dari mereka yang berpendidikan atas, paling minim minatnya, yakni hanya 4,9 persen.
Hal ini menandakan minat memasuki dunia politik, terutama menjadi anggota dan pengurus partai, cenderung lebih banyak dipilih oleh mereka yang berasal dari kelompok responden berpendidikan dasar dan menengah. Sementara itu, minat untuk menjadi calon legislatif justru lebih banyak porsinya disebutkan oleh mereka yang berpendidikan atas.
Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat di mana dari kelompok responden berpendidikan menengah atas, sebanyak 9,5 persen di antaranya tertarik menjadi calon anggota legislatif yang diusung partai politik.
Baca juga: Ujian Politik Partai Politik Baru
Hal ini berbeda kondisinya dengan mereka yang berasal dari pendidikan dasar dan menengah. Dari kelompok responden pendidikan dasar, kurang dari 1 persen yang tertarik menjadi calon legislatif. Angkanya masih jauh lebih besar mereka dari pendidikan menengah yang mencapai 7,8 persen.
Kondisi itu tentu tidak lepas dari persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang terkait pengajuan calon legislatif. Syarat pendidikan terakhir bagi calon anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD, itu tertuang dalam Pasal 240 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
”Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat,” demikian bunyi Pasal 240 huruf e UU Nomor 7 Tahun 2017.
Mengacu pada kategori pendidikan, syarat pendidikan tersebut masuk dalam pendidikan menengah. Sementara mereka yang masih berlatar belakang pendidikan SD maupun SMP belum memenuhi syarat untuk menjadi calon anggota legislatif.
Jika mengacu latar belakang pendidikan, ada tren yang menunjukkan bahwa komposisi anggota DPR, misalnya, cenderung semakin tinggi tingkat pendidikannya. Data yang dihimpun Litbang Kompas dari komposisi anggota DPR terpilih saat dilantik, ada peningkatan dari porsi mereka yang berpendidikan tinggi.
Sebut saja, misalnya, mereka yang berlatar belakang pendidikan pascasarjana di DPR periode 2019-2024 angkanya mencapai 51 persen. Angka ini meningkat dibandingkan periode 2014-2019 yang jumlahnya 40,1 persen.
Apalagi, jika dibandingkan DPR hasil pemilu 1999 yang hanya 18,6 persen mereka yang berpendidikan pascasarjana. Kondisi ini menunjukkan posisi sebagai anggota legislatif memang memiliki nilai prestise tersendiri bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan atas.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Membaca Peluang Partai Politik Baru
Rekrutmen
Minimnya minat responden memasuki dunia politik dengan bergabung ke dalam partai politik sedikit banyak akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi partai politik. Hal ini terutama terkait fungsi rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai.
Apalagi, data keanggotaan partai menjadi salah satu syarat yang relatif berat dalam proses pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2024. Dari rekapitulasi proses pendaftaran yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum, hanya ada 24 partai politik nasional yang layak masuk dalam tahap verifikasi administrasi.
Jumlah partai politik yang masuk proses verifikasi tersebut setara dengan 60 persen dari partai politik yang melakukan proses pendaftaran. Sementara sisanya, 16 partai politik yang juga mendaftar, gagal masuk dalam tahap verifikasi administrasi.
Ketidakmampuan melengkapi dokumen persyaratan yang diajukan oleh penyelenggara pemilu sampai batas waktu tertentu membuat partai-partai tersebut gagal menjadi calon peserta pemilu 2024.
Salah satu dokumen yang disyaratkan adalah data kepengurusan dan keanggotaan partai politik. Tentu ini syarat yang lebih berat dibandingkan persyaratan yang lain. Bayangkan, terutama bagi partai politik baru, yang dengan modal minim, baik kapital maupun jaringan, tentu tidak mudah untuk memenuhi syarat tersebut.
Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, untuk menjadi peserta pemilu, partai politik harus memiliki kepengurusan di semua provinsi di Indonesia (100 persen), 75 persen di tingkat kabupaten/kota di dalam provinsi, dan 50 persen di tingkat kecamatan di dalam kabupaten/kota. Tidak hanya itu, khusus di tingkat pusat, kepengurusan juga harus memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Dari 16 partai politik yang masuk tahap verifikasi administrasi, sembilan di antaranya adalah partai politik yang saat ini ada di DPR. Secara regulasi, mereka mendapatkan perlakuan ”istimewa” karena cukup melalui verifikasi administrasi tanpa harus melalui verifikasi faktual. Hal ini berbeda dengan 15 partai politik lainnya yang harus melalui tahapan verifikasi faktual setelah dinyatakan lolos verifikasi administrasi.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas” : Gejala Pilihan Terpisah Pemilih Partai Politik
Dari 15 partai politik tersebut, tujuh di antaranya adalah partai politik pendatang baru alias belum pernah mengikuti pemilu, meskipun sejumlah elite tokohnya adalah sosok-sosok lama yang sudah menghiasi panggung politik di Indonesia.
Proses verifikasi administrasi dan faktual akan menjadi ujian terberat bagi partai politik baru tersebut, bahkan bagi delapan partai politik lama yang sudah pernah ikut pemilu, tapi tidak masuk dalam parlemen, belum menjamin akan lolos di tahapan ini.
Jajak pendapat Litbang Kompas mencatat kecenderungan terbelahnya publik menilai peluang bagi partai-partai baru tersebut untuk lolos proses verfirikasi dan menjadi peserta Pemilu 2024. Sebanyak 43,8 persen responden yakin mereka akan lolos, tetapi di angka yang sama menyatakan sebaliknya, tidak akan lolos.
Terbelahnya sikap publik ini bisa dibaca bahwa masyarakat menyadari tidak mudah bagi partai-partai politik untuk lolos di tahapan ini, apalagi dalam proses verifikasi faktual terkait keanggotaan.
Dengan fenomena kecenderungan banyak orang menghindari menjadi anggota partai politik, tentu pada akhirnya menjadi beban berat bagi partai untuk melakukan proses rekrutmen politik, terutama untuk memenuhi persyaratan sebagai partai peserta pemilu.
Pada akhirnya partai politik memang harus menaikkan daya tariknya kepada publik agar persepsi masyarakat yang cenderung minor terhadap kelembagaan partai politik dapat meredup.
Bagaimanapun, partai politik adalah institusi demokrasi yang harus ada dan diperkuat. Salah satu pintu untuk memperkuat kelembagaan partai adalah meningkatkan kepercayaan publik bahwa dunia politik merupakan peta jalan terhormat untuk memperjuang kesejahteraan rakyat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengawal Tahapan Verifikasi Partai Politik