Harapan dan Keraguan dari Kenaikan Tarif Ojek Daring
Kemhub mengeluarkan aturan terbaru tentang biaya jasa ojek daring. Meskipun hal ini memang dinantikan, ada kekhawatiran bahwa aturan itu tak berdampak signifikan bagi pendapatan para mitra ”ojol”.
Demi mendorong peningkatan kesejahteraan mitra pengemudi di tengah lonjakan harga energi, Kementerian Perhubungan mengeluarkan aturan terbaru terkait tarif jasa angkutan ojek daring. Meskipun demikian, ada kekhawatiran dari kalangan pengemudi bahwa kebijakan itu tidak berdampak signifikan bagi pendapatan mereka.
Pada 4 Agustus 2022 lalu, Kementerian Perhubungan mengeluarkan aturan terbaru tentang biaya jasa ojek daring atau ojek online (ojol). Aturan dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 itu menetapkan biaya jasa ojek daring terbaru yang harus diikuti oleh perusahaan aplikasi ojek daring 10 hari setelah ditetapkan. Namun, Kemenhub memberikan kesempatan untuk penerapan penyesuaian itu 25 hari setelah aturan ditetapkan.
Mengacu pada aturan itu, biaya jasa yang terdiri dari biaya batas bawah, biaya batas atas, dan biaya jasa minimal dinaikkan dan diatur sesuai zonasi wilayah. Di zona II yang meliputi Jabodetabek, misalnya, biaya jasa minimal naik dari Rp 8.000-Rp 10.000 menjadi Rp 13.000-Rp 13.500. Tarif tersebut merupakan biaya jasa minimal yang harus dibayarkan oleh penumpang untuk jarak tempuh paling jauh 5 kilometer.
Selanjutnya, untuk biaya jasa batas bawah ditetapkan sebesar Rp 2.600 per kilometer dan biaya jasa batas atas sebesar Rp 2.700 per kilometer. Nominal ini naik dari tarif tiga tahun lalu yang diatur dalam Kepmenhub Nomor KP 348 Tahun 2019, yakni Rp 2.000 per kilometer untuk biaya jasa batas bawah dan Rp 2.500 per kilometer untuk biaya jasa batas atas.
Perubahan biaya jasa tersebut memang sangat diperlukan untuk saat ini. Mengingat adanya perubahan harga bahan bakar minyak yang sangat berdampak bagi pengemudi ojek online. Pengeluaran operasional meningkat seiring dengan bertambahnya harga-harga barang kebutuhan lainnya akibat kenaikan harga energi. Akibatnya, pendapatan riil mitra pengemudi menurun.
Kebijakan kenaikan tarif tersebut menuai respons beragam baik dari masyarakat maupun dari mitra ojol sendiri. Masyarakat sebagai pengguna menilai kenaikan tarif itu dirasa kian memberatkan. Pasalnya, layanan ojek daring sudah menjadi kebutuhan mobilitas sehari-hari sehingga akan menambah biaya pengeluaran.
Di sisi lainnya, pengemudi ojol merasa lega dengan adanya kenaikan tarif tersebut. Sebab, harapan penyesuaian tarif itu sudah disuarakan sejak lama. Bahkan, sejak pemerintah pertama kali menetapkan aturan tarif dasar layanan ojek daring pada 2019. Kenaikan tarif itu menjadi penting karena berkaitan langsung dengan pendapatan harian pengemudi ojol.
Selama tiga tahun terakhir, tarif yang dinilai terlalu rendah menjadi problem utama mitra ojek daring. Problem tersebut mendorong sejumlah pengemudi melakukan aksi protes di berbagai daerah.
Riset yang dilakukan Arif Novianto, peneliti di Institute of Governance and Public Affairs UGM, menemukan, ada 71 aksi protes pengemudi ojek daring sejak Maret 2020-Maret 2022. Aksi protes tersebut melibatkan 132.960 pengemudi ojol di sejumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mayoritas tuntutan yang disampaikan dalam aksi protes itu berkaitan dengan kenaikan tarif dan pengembalian skema insentif yang lama.
Penurunan pendapatan
Tuntutan tersebut dapat dipahami karena kenyataannya terjadi tren penurunan pendapatan yang dialami mitra pengemudi. Salah satu indikasinya terlihat dari kajian Litbang Kompas yang meneliti tentang Analisis Keberlangsungan Profesi Pengemudi Ojek Daring pada 2019. Riset ini menemukan adanya penurunan pendapatan yang signifikan dalam kurun 2014 hingga 2019. Penurunan pendapatan itu dirasakan oleh 63 persen dari 200 orang responden pengemudi ojek daring Gojek dan Grab di wilayah DKI Jakarta.
Dalam survei itu, penurunan pendapatan dihitung dari selisih rata-rata pendapatan awal responden bekerja sebagai pengemudi ojol dengan pendapatan terkini saat survei berlangsung. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin lama responden bekerja sebagai mitra ojek daring, semakin besar penurunan pendapatannya.
Rata-rata pendapatan tiap responden saat survei berlangsung pada 2019 adalah Rp 3,9 juta. Nominal ini timpang sangat jauh karena umumnya responden yang sudah mulai bekerja pada masa-masa awal 2014 rata-rata bisa menerima penghasilan hingga Rp 10,9 juta. Artinya, dalam kurun waktu 2014-2019, responden mengalami penurunan pendapatan hingga sekitar Rp 7 juta.
Kondisi tersebut berbeda dengan responden mitra ojol yang baru bergabung pada tahun 2018 dengan tingkat pendapatan rata-rata per bulan Rp 3,9 juta. Selisih pendapatan yang diterima antara 2018-2019 hanya sekitar Rp 82.000. Selisih susut angka ini jauh berbeda dengan responden yang sudah menjadi pengemudi ojol sejak tahun 2014.
Perbedaan selisih nilai tersebut disebabkan nilai pendapatan yang kian menurun. Menurut hasil survei, dalam kurun 2014-2018, rata-rata penurunan penghasilan pengemudi ojek daring per tahun mencapai 29 persen.
Penurunan pendapatan itu setidaknya dipengaruhi sejumlah faktor. Terdiri dari perang tarif antarperusahaan aplikasi ojek daring, skema bonus atau insentif, serta persaingan kian ketat antarpengemudi ojek daring.
Perang tarif antarperusahaan penyedia jasa ojek daring dilakukan dengan menawarkan tarif lebih rendah demi bersaing mendapatkan konsumen. Hal ini jelas-jelas merugikan pengemudi ojol karena semakin rendah tarif yang dipasang semakin rendah pula pendapatannya. Begitu pula skema bonus yang bergantung pada kebijakan dan aturan dari perusahaan penyedia jasa ojek daring. Meskipun nilai semakin besar, pengemudi merasa skema baru itu menyulitkan mereka untuk mendapatkan insentif.
Kian banyaknya pengemudi ojol seperti saat ini turut mendorong kompetisi yang tinggi dan berakibat pada turunnya pendapatan para pengemudi. Sebagai perbandingan, pada 2017 Gojek memiliki sekitar 250.000 mitra pengemudi dan Grab memiliki 150.000 mitra pengemudi. Pada 2022, jumlah pengemudi ojol yang bermitra dengan Gojek dan Grab mencapai lebih dari 4 juta orang. Banyaknya jumlah driver itu membuat persaingan untuk mendapatkan penumpang semakin ketat.
Biaya sewa
Dari tiga kendala tersebut, hanya dua hal yang dapat dikendalikan yakni tarif jasa dan skema insentif. Setelah ada unjuk rasa panjang yang menuntut pemerintah untuk ikut serta mengatur operasional ojek daring, terbitlah aturan yang menetapkan tarif dasar jasa ojek daring pada 2019.
Meski meringankan beban pengemudi, datangnya situasi pandemi kembali menghambat sumber pendapatan driver ojol. Akibat kebijakan PSBB dan PPKM darurat selama pandemi Covid-19, pendapatan pengemudi menurun drastis. Kondisi itu terekam dalam survei yang dilakukan tim Institut Pemerintahan dan Kebijakan Publik UGM kepada 290 mitra ojek daring Gojek, Grab, Maxim di D.I.Yogyakarta, DKI Jakarta dan Bali.
Menurut survei tersebut, rata-rata pendapatan driver pada April 2020, sebulan setelah pandemi Covid-19 masuk Indonesia, menurun 67 persen dibanding Februari 2020. Pada April 2020, rata-rata pendapat kotor per hari hanya Rp 89.267. Padahal, pada Februari 2020 masih mencapai Rp 266.225 per hari.
Selanjutnya, pada Mei 2020 saat pemerintah mulai menerapkan kebijakan normal baru, pendapatan pengemudi tetap jauh dari saat normal. Pada Juni 2020, rata-rata pendapatan hanya Rp 95.039 dan pada Juli 2020 meningkat sedikit menjadi Rp 99.610 per hari. Kondisi penghasilan yang relatif kecil itu terus berlangsung hingga kini.
Susutnya pendapatan tersebut membuat para pengemudi menggantungkan harapan pada kebijakan pemerintah dan perusahaan penyedia jasa. Tuntutan untuk menaikkan tarif pun menjadi solusi yang diharapkan dapat mengurangi beban pengemudi ojol. Oleh sebab itu, aturan biaya jasa terbaru yang ditetapkan pemerintah diharapkan memberi kelegaan bagi para pengemudi.
Meskipun demikian, masih ada satu hal yang diperjuangkan oleh pengemudi, yakni terkait biaya sewa penggunaan aplikasi. Biaya sewa ini memang menjadi komponen yang dihitung untuk menetapkan tarif dasar baru ojek daring. Tarif dasar yang ditetapkan dalam peraturan juga sudah dipotong biaya sewa tersebut sehingga tidak memengaruhi nilai yang diterima pengemudi.
Menurut peraturan, biaya sewa penggunaan aplikasi ditetapkan perusahaan maksimal 20 persen. Kendati sudah ditetapkan demikian pada peraturan tahun 2022 juga tahun 2019, para pengemudi tetap khawatir regulasi itu tidak benar-benar dijalankan perusahaan.
Menurut beberapa komunitas ojek daring yang berunjuk rasa di sejumlah daerah, potongan biaya jasa dinilai memberatkan. Pasalnya, besaran potongan biaya sewa bila dihitung melebihi 20 persen sehingga ada kekhawatiran jika tarif dinaikkan maka besaran potongan juga ikut bertambah. Alhasil, hal itu cenderung menguntungkan perusahaan dari pada pengemudi.
Kendati masih ada waktu kurang lebih dua minggu bagi perusahaan jasa ojek daring untuk mengatur kembali tarif jasanya, diharapkan ada kebijakan perusahaan yang sesuai dengan aturan pemerintah. Selain itu, pengemudi berharap adanya kejelasan sistem pembagian upah jasa dan biaya sewa serta skema insentif yang layak dan adil bagi mereka. Hal itu menjadi penting untuk diperjelas karena posisi para pengemudi relatif rentan karena tidak terikat ketenagakerjaan dengan perusahaan dan tidak terlindungi secara hukum akibat sistem kemitraan dalam ekonomi gig. (LITBANG KOMPAS)