Korban Anak-anak, Trauma, dan Perang yang Tak Kunjung Padam
Perang Rusia-Ukraina terus memakan korban, termasuk anak-anak. Perang juga menimbulkan dampak trauma berkepanjangan. Namun, dampak-dampak memilukan akibat konflik masih belum cukup untuk menghentikan perang.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·5 menit baca
Liza terbalut gaun putih, bermahkota untaian bunga, tampak terbaring dalam peti seukuran anak remaja. Usianya 14 tahun. Di kakinya terangkai bunga-bunga, juga boneka-boneka. Sementara di sekeliling peti, tampak kerabatnya berpakaian hitam-hitam menggenggam lilin menyala dengan wajah duka. Ini adalah upacara pemakaman gadis cilik itu di Gereja Ortodoks, Vinnytsia, Ukraina, menjelang akhir Juli 2022. Lisa menjadi salah satu anak korban perang Rusia-Ukraina yang masih terus berkecamuk (Kompas, 22/7/2022).
Sebelumnya, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun juga menjadi salah satu dari 25 korban serangan Rusia di Kyiv, Ukraina, pada akhir Juni 2022. Rusia berkilah bahwa serangan itu menyasar fasilitas militer sekitar kompleks perumahan tempat anak itu tinggal. Di sisi lain, pihak Ukraina, lewat Kepala Kantor Staf Presiden Ukraina Andriy Yermak, mengklaim di wilayah yang disasar hanya terdapat tempat belanja kebutuhan selain kompleks perumahan (Kompas, 27/6/2022).
Apa pun alasan dan pembelaan serangan-serangan dalam perang yang berkecamuk antara Rusia dan Ukrania, faktanya warga sipil, termasuk anak-anak, menjadi korban yang terus berjatuhan. Padahal, anak-anak tentu tak tahu menahu soal konflik kepentingan yang memicu perang. Soal perebutan kekuasaan dan kekuatan yang menjadi urusan orang dewasa secara tidak adil sampai merenggut hak anak-anak untuk hidup.
Berdasarkan data yang dicatat oleh Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (Office of the UN High Commissioner for Human Rights/OHCHR) hingga 7 Agustus 2022, sedikitnya ada 355 anak yang meninggal akibat perang. Jumlah itu terdiri dari 147 anak perempuan, 169 anak laki-laki, dan sisanya 39 tidak teridentifikasi jenis kelaminnya. Tak hanya itu, hingga periode waktu yang sama sedikitnya ada 580 anak mengalami luka-luka.
Jumlah anak korban perang ini merupakan bagian dari korban warga sipil. Untuk korban dewasa hingga saat ini sebanyak 6.886 orang terluka dan 5.046 orang tewas akibat perang Rusia-Ukraina. Sampai detik ini, belum ada tanda perang berakhir. Dengan begitu, jumlah korban berpotensi terus bertambah.
Perang berlangsung sejak 24 Februari 2022, dihitung sejak tentara Rusia menyerang Ukraina. Artinya, jumlah korban anak yang dicatat oleh Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di atas merupakan akumulasi selama hampir lima bulan. Ini menjadi fakta memilukan karena paling tidak ada sedikitnya 2 anak meninggal dan 4 anak terluka per hari akibat perang ini.
Dewan Keamanan PBB mengidentifikasi, perang yang menjatuhkan anak sebagai korban termasuk dalam pelanggaran berat (grave violations). Lengkapnya, ada enam pelanggaran berat menyerang anak-anak dalam masa perang. Keenam pelanggaran berat tersebut, yaitu membunuh dan melukai anak-anak, merekrut anak-anak dalam kelompok bersenjata, menyerang sekolah dan rumah sakit, kekerasan seksual dan pemerkosaan, menculik anak-anak, serta menutup akses kemanusiaan untuk anak-anak.
Terbunuh dan terlukanya anak-anak dalam perang bisa terjadi akibat penargetan langsung terhadap anak-anak ataupun serangan tidak langsung yang mengorbankan anak-anak. Perang Rusia dan Ukraina sejak akhir Februari 2022 ini memperparah situasi buruk yang sudah terjadi sebelumnya.
Sejak 2005 hingga 2020, lebih dari 104.100 anak dipastikan tewas atau cacat dalam konflik bersenjata. Sementara dalam kasus tahun 2020, sebanyak 47 persen dari penyebab korban anak-anak adalah senjata peledak dan sisa-sisa bahan peledak. Angka di atas sangat memprihatinkan. Dalam kurun waktu 15 tahun, sekitar 7.000 anak menjadi korban perang setiap tahun. Setiap hari paling tidak ada satu anak yang menjadi korban perang.
Anak yang menjadi korban secara fisik, baik terbunuh maupun terluka memang menjadi keprihatinan utama. Namun, tak hanya itu, perang juga menimbulkan trauma mendalam. Tak hanya bagi anak-anak yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi mereka yang terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.
Unicef, dalam perang Rusia-Ukraina, memperkirakan sekitar 2 juta anak-anak harus mengungsi dan meninggalkan negaranya hanya dalam kurun waktu sebulan perang. Dari angka tersebut, 95 persen merupakan anak-anak berusia 3-17 tahun. Trauma sangat berpotensi menghantui anak-anak yang terpaksa mengungsi. Ditambah juga dengan masalah kesehatan dan pendidikan yang pasti menyertai. Belum lagi risiko tinggi adanya bahaya perdagangan manusia dan eksploitasi.
Trauma, memori, dan perang
Mengapa jatuhnya anak-anak menjadi korban perang menjadi keprihatinan mendalam? Seperti telah disinggung sebelumnya, perang membawa trauma yang mendalam bagi anak-anak yang terpaksa menjadi korban. Apa yang terjadi selama perang—teror, ketakutan, dan kecemasan—akan menjadi ingatan mendalam yang terpatri dalam benak anak-anak.
Ingatan kemudian akan tersimpan menjadi memori. Ketika sebuah generasi mengalami pengalaman trauma yang sama, sangat mungkin akan terbentuk memori kolektif dalam sebuah generasi. Perang adalah tragedi. Tragedi ini membekaskan luka dan berikutnya memanifestasikan kebencian serta curiga yang secara tak sadar terbentuk dalam ingatan kolektif.
Dunia kita semestinya sudah cukup banyak belajar dari bermacam konflik dan perang yang terjadi selama ini. Perang yang berakhir secara fisik tidak lantas membuat memori terhapus. Apa yang terjadi dalam Perang Dunia I maupun Perang Dunia II, genosida di Jerman, bahkan juga tragedi berdarah tahun 1965 di Indonesia, membekas bahkan ketika rezim berganti dan generasi berlanjut.
Sayangnya, memori, baik secara kolektif maupun personal, tak begitu saja berhenti tatkala sebuah generasi yang membawanya habis. Hal ini dijelaskan oleh Marianne Hirsch dalam teorinya postmemory. Teori ini menjelaskan bahwa generasi penerus bisa mendapatkan pewarisan ingatan dari generasi sebelumnya yang mengalami langsung sebuah tragedi.
Artinya, setelah anak-anak yang mengalami trauma perang ini menjadi dewasa dan generasi berikutnya lahir, memori trauma diwariskan ke generasi baru tersebut sehingga meski tidak mengalami secara langsung, generasi penerus seakan-akan mengalami tragedi perang seperti yang dialami oleh generasi sebelumnya.
Hirsch memberikan istilah pewarisan ini sebagai transmisi. Transmisi dibedakan menjadi dua, yakni transmisi familial dan transmisi afiliatif. Transmisi familial terjadi ketika ada hubungan darah antara generasi yang mengalami tragedi dan keturunannya.
Sementara transmisi afiliatif terjadi tanpa ada ikatan darah, misalnya dari pihak otoritatif yang punya kuasa merumuskan narasi sejarah. Generasi postmemory pada akhirnya mewarisi tragedi perang tidak melalui ingatan langsung, tetapi melalui kenangan-kenangan yang menghantui, gambar, obyek-obyek sejarah, cerita, dan perilaku.
Dengan konteks di atas, maka perang antara Rusia dan Ukraina, juga perang-perang lain, tidak hanya berdampak dalam kurun waktu yang singkat. Trauma yang ditimbulkan berpotensi untuk terus ada, bahkan diwariskan ke generasi berikutnya. Maka, keputusan perang menjadi sebuah keputusan yang berdampak dalam masa yang panjang.
Para pelaku perang semestinya tak buta terhadap fakta-fakta di atas. Makin hari, makin bertambah korban anak-anak akibat perang juga tak mungkin luput dari pandangan pihak-pihak yang berperang. Sayangnya, fakta memilukan ini belum cukup untuk membuat perang berhenti. (LITBANG KOMPAS)