Remitansi dari pekerja migran Indonesia cenderung menurun. Pandemi Covid-19 dan kebijakan moratorium yang memicu praktik pekerja ilegal turut menjadi faktor yang memengaruhi. Akankah remitansi dapat digenjot kembali?
Oleh
Gianie
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas menyiapkan uang dari tempat penyimpanan uang Bank Mandiri di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (3/8/2022)
Jumlah tenaga kerja atau pekerja migran Indonesia yang tercatat secara resmi menurun selama dua tahun pandemi Covid-19. Kondisi ini menyebabkan remitansi dari pahlawan devisa ini juga menurun. Sementara, problem tenaga kerja Indonesia yang ilegal atau yang berangkat tanpa dokumen mulai meningkat.
Pandemi Covid-19 memengaruhi kehidupan tenaga kerja atau pekerja migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor domestik. Hal itu karena adanya kebijakan pembatasan mobilitas, penutupan perbatasan, dan karantina yang terjadi secara global. Banyak pekerja migran Indonesia yang pulang, sementara yang berstatus calon pekerja migran menunggu dalam ketidakpastian untuk bisa berangkat.
Data Migrant Care menunjukkan terdapat sekitar 176.000 pekerja migran Indonesia yang pulang pada tahun pertama pandemi. Sementara data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebutkan, angka yang lebih besar, yaitu 283.640 pekerja migran yang pulang pada tahun 2020 (Kompas, 14/3/2022).
Pandemi Covid-19 memengaruhi kehidupan tenaga kerja atau pekerja migran Indonesia.
Situasi ini praktis membuat angka remitansi yang dihasilkan pekerja migran ini juga turun. Bank Indonesia (BI) mencatat nilai remitansi dari pekerja migran pada tahun 2020 turun sebanyak 17,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dari 11,435 miliar dollar Amerika Serikat (AS) menjadi 9,427 miliar dollar AS. Setahun kemudian remitansi masih turun, tetapi hanya 2,8 persen menjadi 9,164 miliar dollar AS.
Jumlah TKI atau pekerja migran yang dicatat oleh BI pun turun sejak pandemi melanda. Tahun 2020, jumlah pekerja migran Indonesia yang tersebar di seluruh dunia tercatat 3.192.000 orang. Angka tersebut turun 14,7 persen dibandingkan sebelum pandemi.
Sebelum pandemi, jumlah pekerja migran Indonesia terbanyak terjadi pada tahun 2019 yang mencapai 3.742.000 orang. Nilai remitansi yang dihasilkan sebesar 11,435 miliar dollar AS atau naik 4,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, selama dua tahun berturut-turut setelah itu angka remitansi menurun akibat pandemi.
Kepulangan pekerja migran Indonesia selama pandemi menimbulkan persoalan baru. Hal itu karena kebutuhan lapangan kerja bagi pekerja migran yang pulang ke daerah asalnya jadi bertambah. Kebutuhan itu tidak langsung terpenuhi karena ekonomi domestik yang lesu membuat penciptaan lapangan kerja terbatas.
Setelah mobilitas berangsur pulih dan pandemi lebih terkendali, kebutuhan akan jasa tenaga kerja Indonesia ini masih belum normal. Ditambah dengan masih sulitnya perekonomian di dalam negeri membuat banyak calon pekerja migran yang nekat mencari peluang bekerja di luar negeri. Jumlah pekerja migran yang ilegal alias tidak memiliki dokumen jadi meningkat.
Akan tetapi, terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri sementara tekanan ekonomi sangat tinggi bukan satu-satunya penyebab meningkatnya jumlah pekerja migran ilegal.
Penyebab lainnya antara lain kurangnya pemahaman masyarakat mengenai prosedur penempatan dan perlindungan tenaga kerja serta maraknya praktik percaloan yang mengiming-imingi calon pekerja. Pekerja migran ilegal ini kemudian rentan mengalami tindak kekerasan di tempat bekerja.
Perairan laut wilayah Indonesia bagian barat yang lemah pengawasan menjadi celah atau pintu keluar para pekerja migran ilegal. Itu sebabnya Malaysia menjadi target terdekat pekerja migran Indonesia untuk mengadu nasib.
Namun, nasib mereka sebelum mencapai negara jiran dihadang terlebih dahulu oleh gelombang laut. Banyak peristiwa kecelakaan kapal yang terjadi di perairan Selat Malaka yang membongkar praktik pengiriman pekerja migran Indonesia yang ilegal.
Setidaknya terdapat 37 calon pekerja migran Indonesia yang meninggal selama dua bulan (Desember 2021 hingga Januari 2022) dalam lima kecelakaan kapal di Selat Malaka. Mereka menyeberang ke Malaysia menggunakan jasa sindikat pengiriman ilegal pekerja migran.
KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA
Pekerja migran Indonesia saat memperingati Hari Buruh, Minggu (1/5/2016), di Taman Victoria, Hong Kong.
Selain melalui jalur pelayaran Selat Malaka, pengiriman ilegal pekerja migran juga berlangsung di pantai timur Sumatera Utara. Pekerja migran ilegal ini tidak hanya berasal dari daerah Sumatera Utara, tetapi juga dari daerah lain.
Selain pekerja migran ilegal, yang berstatus legal pun menyasar negeri jiran, Malaysia. Berdasarkan data BI, selama dua tahun pandemi, penempatan pekerja migran Indonesia masih dominan ke Malaysia.
Dari total pekerja migran Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 3,192 juta orang, sebanyak 1,633 juta orang atau 51 persen ditempatkan atau bekerja di Malaysia.
Proporsi yang hampir sama juga terjadi pada tahun 2021, yaitu 1,628 juta orang (50 persen). Proporsi pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia ini hanya berkurang sedikit dibandingkan masa sebelum pandemi yang berkisar 52-53 persen.
Namun, remitansi dari pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia bukan merupakan proporsi yang terbesar. Tahun 2020, remitansi dari pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia sebesar 2,7 miliar dollar AS atau 28,7 persen dari total. Sementara di tahun kedua pandemi jumlahnya turun menjadi 2,56 miliar dollar AS atau 27,9 persen.
Proporsi remitansi terbesar berasal dari pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di Arab Saudi. Padahal, dari sisi jumlah, pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di Arab Saudi hanya sekitar separuh dari pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia.
Tahun 2020, remitansi dari pekerja migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi sebesar 2,99 miliar dollar AS atau 31,7 persen dari total. Sementara pada tahun kedua pandemi jumlahnya sedikit turun menjadi 2,83 miliar dollar AS atau 30,8 persen.
Pada tahun ketiga pandemi, pada kuartal I-2022 tercatat ada 1,625 juta orang pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia dengan remitansi mencapai 638 juta dollar AS. Angka ini sedikit berkurang dibandingkan kuartal I-2021 yang tercatat 641 juta dollar AS.
Pada kuartal II-2022, terjadi moratorium atau penghentian sementara penempatan pekerja migran Indonesia di Malaysia untuk sektor domestik. Penyebabnya, Malaysia melanggar salah satu kesepakatan utama dalam nota kesepahaman (MOU) tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia, yang ditandatangani kedua negara pada April 2022.
KOMPAS/A HANDOKO
Para tenaga kerja Indonesia antre memasukkan aplikasi pembuatan rekening baru PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di depan Stadium Perpaduan, Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, Selasa (22/11/2017). Mereka membutuhkan akses keuangan yang murah karena setiap bulan mengirimkan remitansi ke Indonesia.
Moratorium hanya berlangsung sekitar dua minggu, 13-31 Juli 2022. Per 1 Agustus 2022, penempatan pekerja migran Indonesia ke Malaysia kembali dibuka. Oleh sebab itu, moratorium singkat ini agaknya tidak akan memengaruhi secara signifikan dominasi pekerja migran Indonesia di Malaysia. Begitu juga dengan jumlah remitansi yang dihasilkan.
Akan tetapi, hal itu akan berubah jika moratorium kembali diberlakukan ketika ada kesepakatan yang kembali dilanggar. Di sinilah terdapat potensi penurunan remitansi dari pekerja migran Indonesia. (LITBANG KOMPAS)