Tidak mudah memilih makanan sehat di malam hari. Yang pasti, pilihan asupan saat malam hari memegang peran penting dalam metabolisme tubuh.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Camilan dengan zat gizi tunggal dan berkadar energi rendah perlu dijadikan pertimbangan saat lapar di malam hari. Jeda antara makan dan waktu tidur juga perlu diperhatikan untuk menjaga metabolisme. Upaya kuat untuk memiliki pola hidup sehat diperlukan di tengah ekosistem rendah gizi.
Hasil jajak pendapat Kompas pada akhir Juli 2022 lalu merekam, separuh lebih responden memutuskan untuk makan saat mendadak lapar menjelang waktu tidur. Sebagian besar dari kelompok itu (38,7 persen) menyantap makanan berat, seperti nasi dan mi instan.
Kelompok di atas juga terdiri dari 13,4 persen responden yang mengganjal lapar dengan camilan berbagai jenis, tidak terkecuali kudapan manis yang mengandung gula. Sayangnya, hanya 2,3 persen yang memilih untuk makan dari sumber bernutrisi baik seperti buah.
Sementara itu, hampir separuh responden sisanya memilih cara lain dalam mengatasi lapar menjelang waktu istirahat. Sebanyak 30,6 persen responden minum air putih dan 5,6 persen menegak minuman berasa. Terakhir, 8,5 persen memilih untuk menahan lapar.
Temuan jajak pendapat juga merekam perbedaan pilihan berdasarkan jender. Sebagian besar perempuan mengatasi rasa lapar saat malam hari bukan dengan makan berat, cenderung berbanding terbalik dengan pilihan laki-laki.
Sebanyak 37,1 persen perempuan memilih mengatasi serangan lapar dengan minum air putih. Hanya 3 dari 10 perempuan yang mengatasi lapar dengan makan nasi atau mi instan. Sementara itu, jenis makanan berkadar karbohidrat tinggi ini dipilih oleh 5 dari 10 laki-laki.
Pilihan asupan saat malam hari memegang peran penting dalam metabolisme tubuh. Memilih makanan jelang waktu beristirahat ini diperhatikan demi terhindar dari penyakit. Sejumlah studi satu dekade terakhir menunjukkan makan malam dikaitkan dengan berbagai hasil metabolisme, termasuk hiperlipidemia, hipertrigliseridemia, hiperglikemia,penambahan berat badan, tekanan darah tinggi, obesitas, dan sindrom metabolik (Cardiorenal Metabolic Consequences of Nighttime Snacking: Is it an Innocent Eating Behavior, 2022).
Di sisi lain, makan di malam hari cenderung disarankan untuk dihindari saat tubuh sudah mulai mengistirahatkan diri. Penelitian menyebut kadar trigliserida memuncak setelah makan pada pukul 19.30 dan makan pada pukul 23.30 menyebabkan kadar glukosa memuncak (Kompas, 5/1/2022).
Namun, dengan jenis makanan yang tepat, lapar di malam hari tetap teratasi. Makanan bergizi tunggal dan rendah kalori dapat dijadikan pilihan untuk mengobati lapar.
Dalam The Health Impact of Nighttime Eating: Old and New Perspektif (2015), peneliti menyebut makanan kecil, padat zat gizi, makronutrien tunggal, atau rendah kalori sekitar 150 kkal mendorong perubahan fisiologi positif dan mungkin bermanfaat untuk sintesis protein otot dan kesehatan.
Berkaca dari potret responden jajak pendapat, masyarakat di Indonesia masih perlu memiliki keragaman jenis asupan yang lebih ringan untuk dikonsumsi saat malam hari. Dengan 4 dari 10 responden yang memilih asupan kompleks dan berkalori, risiko terjangkit penyakit pun masih tinggi.
Pola
Selain pilihan makan menjelang istirahat di malam hari, jeda waktu antara makan dan tidur juga penting diperhatikan. Hasil jajak pendapat menunjukkan 8 dari 10 responden memberi jeda waktu antara makan malam dan saat tidur.
Sebanyak 40,8 persen menyantap makanan terakhir tiga sampai empat jam sebelum tidur dan 42,6 persen menyebut satu sampai dua jam sebelumnya. Sementara itu, 9 persen responden tidak memberi jeda waktu antara makan dan tidur dan 7,6 persen tidak memperhatikan pola ini.
Potret di atas menggambarkan masih adanya kelompok masyarakat yang belum memperhatikan pentingnya memberikan jeda antara makan dan istirahat. Banyak ahli menyarankan untuk menyantap makanan besar setidaknya 2-3 jam sebelum waktu tidur. Jeda ini penting untuk menjaga fungsi sistem pencernaan.
Mengatur pola makan saat malam hari memegang peran penting dalam menjaga kualitas kesehatan. Dalam Time of Day Difference in Postprandial Glucose and Insulin Responses (2019) disebutkan, manusia cenderung mengonsumsi hingga 40 persen dari asupan energi pada malam hari. Kebiasaan ini menyumbang peningkatan risiko kondisi metabolisme, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Pola makan yang kurang baik pun terbukti berdampak negatif bagi masyarakat di Indonesia. Jajak pendapat Kompas merekam 6 dari 10 responden mengalami masalah pencernaan karena pola makan yang kurang baik. Kondisi ini terekam paling banyak pada generasi muda.
Masalah pencernaan semakin jarang dialami seiring bertambahnya usia. Sebagai perbandingan, 8 dari 10 responden pada generasi Z mengalami masalah pencernaan karena diet makanan yang tak teratur. Sementara itu, kondisi ini hanya dialami oleh 4 dari 10 responden pada generasi babyboomer.
Meski demikian, masyarakat menunjukkan kesadaran pada pentingnya menggeser pola hidup yang buruk. Sembilan dari 10 responden ingin mengubah pola makan demi kesehatan yang lebih baik. Kelompok terbesar (44,9 persen) ingin memperbaiki melalui kesadaran pada asupan makanan yang lebih bergizi. Sementara itu, sekitar 20 persen responden masing-masing ingin mengatur waktu makan malam dan mengurangi porsi makan.
Separuh dari responden yang memiliki masalah pencernaan ingin mengubah komponen makanan pada piring makan mereka. Artinya, kelompok ini memiliki kesadaran bahwa kesehatan dapat diraih dengan konsumsi makanan yang bergizi.
Di tengah demografi masyarakat Indonesia belum menunjukkan standar pola hidup yang baik, perlu adanya edukasi untuk meningkatkan kesadaran diri. Tidak hanya itu, ekosistem tinggi gizi juga perlu dibangun di tengah terjangan makanan cepat saji rendah zat gizi. (LITBANG KOMPAS)