Ancaman Krisis Iklim terhadap Keberagaman Tanaman Obat Indonesia
Ragam spesies tanaman obat di Indonesia diprediksi terus menurun hingga beberapa dekade mendatang. Tiga kawasan yang mengalami kehilangan besar spesies tumbuhan tersebut ialah Papua, Jawa, dan Sulawesi.
Sebagai kawasan dengan tingkat biodiversitas yang tinggi, Indonesia memiliki ribuan spesies tanaman obat. Sayangnya, keberagaman tersebut terancam krisis iklim. Diperkirakan separuh dari spesies tumbuhan obat akan hilang hingga beberapa dekade ke depan.
Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang menyumbang sedikitnya 10 persen keberagaman tumbuhan global. Di wilayah Asia, Indonesia menyumbang 30-40 persen keberagaman tumbuhan. Berdasarkan laporan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2015-2020 yang disusun Bappenas, keberagaman tumbuhan di Indonesia mencapai lebih dari 100.000 jenis. Tumbuhan berspora mendominasi sekitar 83 persen dari total keberagaman jenis tumbuhan.
Dari ratusan ribu jenis tumbuhan tersebut, berkisar 2.500 hingga 7.500 termasuk spesies tumbuhan obat, baik yang merupakan tumbuhan endemik maupun tumbuhan yang dikembangkan dari luar kawasan. Tidak hanya sebagai sarana pengobatan alternatif semata, tumbuhan itu juga memiliki peran penting sebagai sumber ekonomi.
Sejumlah tumbuhan obat-obatan telah lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia. Misalnya alang-alang untuk menurunkan asam urat dan rematik; adas untuk menghilangkan rasa dingin dan nyeri; serta daun kumis kucing untuk mengobati penyakit ginjal, radang kandung kemih, dan asam urat.
Tumbuhan obat tersebut tersebar luas di seluruh Indonesia. Hanya saja, konsentrasi keberagamannya terletak di sisi barat Pulau Jawa terutama di sekitar kawasan Gunung Gede-Pangrango dan Halimun-Salak. Sedikitnya 82 jenis tumbuhan obat dapat ditemukan di kawasan tersebut.
Berdasarkan jurnal ”Gap analysis of Indonesia priority medicinal plant species as part of their conservation planning (2021)”, tidak hanya sisi barat Pulau Jawa yang menyimpan kekayaan tumbuhan obat, tetapi juga sisi selatan Sumatera. Tepatnya di kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan.
Sayangnya, kekayaan tumbuhan obat tersebut terancam rusak karena perburukan krisis iklim secara global. Peningkatan suhu global mendorong kondisi lingkungan ke arah kerusakan besar. Misalnya perubahan pola hujan hingga munculnya kejadian bencana ekstrem, mulai dari kekeringan hingga banjir.
Dampak krisis iklim terbukti jauh lebih besar daripada yang dibayangkan para ahli. Selama beberapa dekade terakhir ada peningkatan frekuensi kejadian bencana dengan skala lebih besar. Di sisi lain, anomali tersebut berkontribusi mengubah pola dan sebaran wabah penyakit.
Kondisi lingkungan yang makin rusak itu turut memengaruhi eksistensi tumbuhan. Ketersediaan air dan pola cuaca yang berubah membuat banyak tumbuhan tidak bisa bertahan. Akhirnya, penurunan keberagaman tumbuhan tidak dapat dicegah.
Berdasarkan jurnal ”Climate change impact on medicinal plants in Indonesia (2021)”, sedikitnya dua per tiga spesies tumbuhan obat di Indonesia akan hilang karena krisis iklim. Bukan hanya itu, diperkirakan kekayaan biodiversitas tumbuhan obat turun hingga 80 persen di pusat-pusat biodiversitas nasional.
Penelitian tersebut menggunakan data 139 spesies tumbuhan obat di Indonesia dengan 19 parameter kondisi lingkungan, di antaranya parameter karakteristik fisik lingkungan, pola hujan dan suhu, serta sifat-sifat fisik, biologi, dan kimia tanah.
Saat ini, pusat biodiversitas tanaman obat berada di empat wilayah, yaitu Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sumatera, dan Sulawesi. Sebarannya di Pulau Jawa meliputi hampir seluruh wilayah Jawa dari barat ke timur. Untuk Kepulauan Sunda Kecil tersebar di Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores. Untuk wilayah Sumatera, sebarannya cukup merata dari utara ke selatan, kecuali sisi barat yang lebih minim spesies tumbuhan obat. Untuk Pulau Sulawesi, terkonsentrasi di sisi utara dan selatan. Di luar keempat wilayah itu, sebaran keberagamannya jauh lebih sedikit, tetapi tetap terhitung sebagai kekayaan biodiversitas.
Penurunan spesies tumbuhan
Ragam spesies tumbuhan obat di Indonesia diprediksi mengalami penurunan hingga beberapa dekade mendatang. Berdasarkan pemodelan iklim pada 2050, tiga kawasan yang mengalami kehilangan besar spesies tumbuhan obat adalah Papua, Jawa, dan Sulawesi.
Besarnya kehilangan makin terlihat pada tahun 2080 dengan skenario perubahan iklim paling parah. Ekstensifikasi berkurangnya keberagaman spesies tumbuhan hijau menjadi sebuah keniscayaan. Akan tetapi, teridentifikasi pola unik dengan adanya titik-titik penambahan spesies tumbuhan obat, seperti di Sumatera.
Munculnya lokasi penambahan keberagaman spesies di tengah krisis iklim terjadi di kawasan cagar alam, taman nasional, atau suaka margasatwa. Karena itu, model konservasi dapat dikembangkan menjadi solusi keberlanjutan yang direkomendasikan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin spesies tumbuhan obat Nusantara.
Tercatat lebih dari setengah tanaman obat di Indonesia akan berkurang populasinya karena kehilangan 80 persen wilayah distribusinya karena krisis iklim. Hal tersebut berimplikasi terhadap penilaian kerentanan spesies oleh Badan Konservasi Dunia (IUCN). Berdasarkan skenario krisis iklim, ada belasan spesies tumbuhan obat masuk dalam daftar merah IUCN yang berarti terancam di masa mendatang.
Di antaranya pulai basung atau pulai paya (Alstonia iwahigensis), mersawa daun lebar (Anisoptera costata), pasak bumi (Eurycoma longifolia), dan pranajiwa (Euchresta horsfieldii). Adanya krisis iklim juga menyebabkan penurunan tingkat perkecambahan tumbuhan obat.
Selain krisis iklim, ancaman biodiversitas tanaman obat di Indonesia kian diperparah dengan aktivitas deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, dan bencana alam. Berdasarkan jurnal ”Relative contributions of the logging, fiber, oil palm, and mining industries to forest loss in Indonesia” (2015), perubahan penggunaan lahan turut mengakselerasi penurunan banyak spesies tanaman dan hewan di Indonesia.
Indonesia secara kontinu mengalami penurunan kawasan hutan karena kelapa sawit dan penambangan. Berdasarkan data Global Forest Watch, sedikitnya setiap tahun sekitar 1,4 juta hektar hutan Indonesia diubah menjadi kawasan kelapa sawit dan tambang. Jumlah tersebut jauh mendominasi dibandingkan tujuan deforestasi lainnya.
Penyusutan areal hutan oleh sejumlah aktivitas itu turut menyumbang emisi karbon di Indonesia yang mencapai 550 juta ton per tahun. Dari beberapa jenis sektor penyumbang emisi karbon, sektor kehutanan menjadi yang terbesar hingga sebanyak 47 persen. Artinya, deforestasi merupakan aktivitas yang berdampak sangat buruk terhadap lingkungan. Selain menyumbang emisi karbon, deforestasi juga mengurangi keberagaman biodiversitas.
Fenomena lainnya yang turut memusnahkan banyak spesies tanaman obat ialah kejadian bencana. Berdasarkan pantauan BNPB, tren jumlah kejadian bencana terpantau meningkat setiap tahunnya. Makin banyaknya kejadian bencana, maka risiko berkurangnya tanaman obat juga meningkat.
Upaya konservasi
Kekayaan tanaman obat di Indonesia perlu dipertahankan di tengah krisis iklim yang terus memburuk setiap tahunnya. Ada dua skema pelestarian spesies tanaman yang dapat dilakukan, yaitu konservasi in situ dan ex situ. Perbedaan skema konservasi ini terletak pada pemindahan spesies dari habitat aslinya atau tidak.
Konservasi ex situ merujuk pada pelestarian keanekaragaman hayati di luar habitat asli tumbuhan atau hewan. Spesies tersebut dibawa keluar dari habitatnya dan dimasukkan ke dalam habitat baru yang lebih terkontrol. Contoh konservasi ex situ adalah kebun raya, kebun binatang, dan taman safari.
Sementara konservasi in situ merupakan upaya pelestarian yang dilakukan dengan cara menjaga habitat aslinya, artinya tidak ada proses pemindahan spesies. Bentuk konservasi ini ialah cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, dan hutan lindung.
Untuk kasus tanaman obat, konservasi in situ menjadi pilihan prioritas. Pasalnya, mampu melindungi tiga hal sekaligus, yaitu ekosistem alam dan sosial, habitat alami, serta populasi tanaman. Untuk konservasi ex situ, lebih cocok dilakukan dengan tujuan mengumpulkan spesies prioritas atau langka, terlebih ada tantangan deforestasi.
Apabila upaya konservasi tersebut berhasil dilakukan, Indonesia telah berkontribusi dalam perlindungan sedikitnya 10 persen keberagaman biodiversitas tumbuhan obat global. Implikasinya sangat besar, mulai dari ekologi terjaga hingga jaminan kesehatan masyarakat lokal.
Sayangnya, ada catatan penting di balik upaya konservasi tanaman obat itu, yakni ada tantangan besar berupa krisis iklim. Degradasi lingkungan akibat perubahan iklim menjadi salah satu simpul terkuat dalam memperburuk sejumlah upaya konservasi. Dengan kondisi lingkungan yang kian buruk, akan relatif mudah mendorong perburukan faktor-faktor lain sehingga kian sulit melestarikan sejumlah spesies baik tanaman ataupun hewan yang statusnya terancam.
Oleh karena itu, upaya penanganan krisis iklim tidak dapat dipandang sebelah mata apabila Indonesia tidak ingin kehilangan ratusan hingga ribuan spesies tanaman obat. Komitmen pemerintah pusat dan kerja sama dengan sejumlah lembaga perlu terus diperkuat. Selain mengatasi krisis iklim, kerja sama ini juga berperan dalam melestarikan lingkungan secara luas. Salah satunya untuk menyelamatkan dan melindungi biodiversitas tumbuhan obat-obatan Indonesia yang menyumbang sekitar 10 persen keberagaman tanaman obat dunia. (LITBANG KOMPAS)