Analisis Litbang “Kompas” : Soliditas Pemilih Menjadi Tumpuan Elektoral PKB
Partai Kebangkitan Bangsa akan bertumpu pada soliditas dan loyalitas pemilihnya. Pilihan calon presiden dari pemilih partai ini tidak langsung berkaitan dengan dukungan PKB di pemilihan presiden.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
Suara pemilih nahdliyin dan kekuatan figur tokoh menjadi modal bagi Partai Kebangkitan Bangsa untuk mengarungi pertarungan politik menuju Pemilihan Umum 2024. Meskipun demikian, belum ada figur yang cukup kuat di partai ini yang mampu menggantikan Abdurrahman Wahid, sosok yang pernah menjadi magnet elektoral bagi partai berlambang bola dunia dengan sembilan bintang ini.
Perbincangan soal sosok dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sempat menghangat ketika akhir Juni lalu di sosial media ramai dengan saling sindir antara Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dengan Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid.
Polemik ini pun memicu perhatian warganet. Awalnya, Yenny mengkritik langkah politik Muhaimin yang cenderung memaksakan diri berlaga di pemilihan presiden, meskipun elektabilitasnya masih rendah.
Suara pemilih nahdliyin dan kekuatan figur tokoh menjadi modal bagi Partai Kebangkitan Bangsa untuk mengarungi pertarungan politik menuju Pemilihan Umum 2024.
Pernyataan Yenny ini pun ditanggapi Muhaimin di akun twitternya. "Yeni itu bukan PKB, bikin partai sendiri saja gagal lolos, beberapa kali pemilu nyerang PKB enggak ngaruh, PKB malah naik terus suaranya," tulis Cak Imin di akun twitternya @cakimiNOW.
Seperti dikutip pada Jumat (24/6/2022), Muhaimin juga menilai Yenny tidak berhak mengatur dirinya dan memintanya urus nasib partainya sendiri. "Jadi ngapain ikut - ikut ngatur PKB, hidupin aja partemu yang gagal itu. PKB sudah aman nyaman kok," cuit Muhaimin.
Perang sindir kedua tokoh yang sama-sama dibesarkan di kalangan Nahdlatul Ulama ini tak kunjung berhenti. Yenny pun membalas cuitan Muhaimin, bahkan menyindirnya karena menyebut sang ketua umum PKB ini "mengambil" partai orang lain. “Hahaha inggih Cak. Tapi ndak usah baper to, Cak. Dan memang benar, saya bukan PKB Cak Imin. Saya kan PKB Gus Dur. Cak Imin juga belum tentu lho bisa bikin partai sendiri.. kan bisanya mengambil partai punya orang lain. Peace, Cak” cuit Yenny.
Sontak, perang cuitan kedua tokoh ini mengajak warganet kembali pada memori konflik antara kubu Muhaimin dengan kubu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Muhaimin pernah mengajukan gugatan terkait keabsahan pemecatannya oleh PKB Gus Dur dan memenangkan kasus ini di pengadilan. Sebuah konflik panjang yang pada akhirnya berdampak pada dinamika elektoral PKB di pemilu.
Dampak tersebut dirasakan PKB setelah Pemilu 2004. Pasca peralihan kekuasaan PKB, dari Gus Dur ke Muhaimin tahun 2005, raihan elektoral PKB jeblok. Di Pemilu 2009 suara PKB menurun separuh, yakni mencapai 4,9 persen.
Padahal di dua pemilu sebelumnya (1999 dan 2004) suaranya selalu di atas 10 persen, bahkan menduduki urutan ketiga partai dengan meraih suara terbanyak di pemilu. Faktor konflik PKB dan abstainnya Gus Dur di Pemilu 2009 sedikit banyak memengaruhi jebloknya suara PKB.
Namun, setelah Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009, kekuatan PKB di bawah kendali Muhaimin kembali menemukan momentumnya. Perjalanan waktu sedikit banyak telah melupakan banyak orang soal konflik di internal PKB tersebut.
Hal ini terbukti pada Pemilu 2014, PKB sukses bangkit kembali dengan meraih suara mencapai 9 persen. Bahkan, di Pemilu 2019 lalu PKB relatif stabil bertengger di angka yang sama dengan raihan kursi DPR mencapai 58. Sebuah pencapaian kursi paling banyak sejak PKB mengikuti pemilu.
Mau tidak mau, harus diakui, peran Muhaimin melakukan konsolidasi di internal PKB dengan tetap menjaring pemilih tradisional dari warga nahliyin, sukses membawa partai ini stabil bertengger di papan menengah atas dari partai-partai politik lainnya.
Tidak heran kemudian menjelang Pemilu 2024 ini, Muhaimin cukup percaya diri untuk maju menjadi calon presiden dari PKB, meskipun potensi elektoralnya di bursa calon presiden, relatif masih rendah.
Di titik inilah saling sindir antara Muhaimin dan Yenny menjadi ujian kembali bagi PKB. Apakah PKB mampu meraih insentif elektoral dari kekuatan sosok yang menjadi penopangnya, seperti halnya yang pernah dilalui ketika masih ada Gus Dur?
Hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2022 merekam, pertimbangan tokoh partai yang menjadi alasan memilih partai ini relatif cukup besar. Sebanyak 25,4 persen responden yang memilih PKB mengaku sosok tokoh partai menjadi pertimbangan mengapa mereka memilih partai ini.
Namun, survei memang tidak secara langsung menemukan relasi yang kuat, apakah sosok tersebut adalah ketua umum dari PKB. Sebab, jika mengacu pilihan presiden yang diharapkan, nama Muhaimin belum masuk radar dari responden pemilih PKB ini.
Sebagian besar pilihan calon presiden dari pemilih PKB masih berkutat dari nama-nama yang selama ini mendominasi elektabilitas capres, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Bahkan, untuk nama-nama calon wakil presiden pun, nama Muhaimin belum masuk radar pemilih PKB.
Gejala ini juga diperkuat oleh potensi resistensi dari kelompok responden yang enggan memilih partai ini. Sebanyak 13, 3 persen dari mereka beralasan karena tidak ada tokoh yang berpengaruh dari PKB, sehingga mereka tidak memilih partai ini di pemilu nanti. Menariknya, di angka yang sama menyebutkan, ketidaksukaan mereka pada tokoh PKB saat ini yang membuat mereka menghindari memilih partai ini.
Hal ini makin menguatkan sinyal bahwa kekuatan PKB memang tidak lagi bertumpu pada kekuatan figur. Tumpuan PKB boleh jadi lebih pada ikatan emosional pemilih dengan akar historis partai ini yang didirikan oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama.
Sebanyak 31,3 persen responden mengakui, pertimbangan ideologi banyak melandasi pilihan mereka terhadap PKB. Apalagi hasil survei juga merekam, mayoritas responden (81,5 persen) pemilih partai ini adalah mereka yang mengaku warga nahdliyin.
Tumpuan pemilih yang solid ini makin menguat jika kita lihat dari loyalitas pemilih PKB. Hasil survei Litbang “Kompas” merekam, PKB memiliki loyalitas pemilih yang relatif kuat. Rata-rata tingkat loyalitas dari responden pemilih partai ini berada di atas 70 persen.
Loyalitas pemilih ini diukur dari konsistensi pilihan responden pemilih di Pemilu 2019 dengan pilihan mereka jika pemilu dilakukan saat survei digelar. Jika dibandingkan di antara survei Januari 2022 dan Juni 2022, loyalitas responden pemilih PKB mengalami kenaikan, yakni 78,4 persen di Januari lalu menjadi 81,6 persen di survei Juni.
Potensi loyalitas pemilih PKB inilah yang sebenarnya menjadi kekuatan partai ini menghadapi kontestasi di Pemilu 2024 nanti. Jika mengacu rekam jejak di pemilu, kemampuan Muhaimin merawat loyalitas dan soliditas pemilih setelah tidak ada figur Gus Dur, sedikit banyak memberikan insentif bagi elektoral partai, sehingga mampu kembali di saat partai ini awal berdiri di Pemilu 1999.
Pemilu 2024 nanti akan menjadi ujian bagi kepemimpinan Muhaimin Iskandar, apakah mampu kembali mempertahankan soliditas dan loyalitas pemilih PKB atau justru mengubah orientasi pilihan mereka terhadap partai ini.
Setidaknya, perang opini di sosial media antara Muhaimin dan Yenny Wahid, serta dinamika hubungan Muhaimin dengan PBNU, sedikit banyak akan menjadi faktor yang memengaruhi sejauhmana potensi elektoral PKB di Pemilu 2024 nanti.
Kondisi ini juga akan berpengaruh pada langkah politik PKB, terutama dalam upaya pengajuan calon presien nanti. Upaya Muhaimin menjadi sosok calon presiden, seperti pertemuan PKB dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu juga akan kita lihat hasilnya dalam beberapa bulan ke depan sampai memasuki masa pendaftaran calon presiden di tahun depan.
Pada akhirnya potensi elektoral PKB masih akan mengandalkan soliditas pemilihnya tanpa melihat apakah sosok partai akan menjadi calon presiden atau tidak. (LITBANG KOMPAS)