Jarak yang jauh diyakini bukan menjadi alasan bagi kegagalan sebuah hubungan. Hubungan jarak jauh justru memberikan dukungan bagi kelanggenggan sebuah komitmen dari ikatan antar-pasangan.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Tak jarang, pejuang hubungan jarak jauh atau long distance relationship memutuskan untuk menyerah karena peliknya komunikasi yang hanya dimediasi teknologi. Hampir tidak adanya interaksi dan kontak fisik secara langsung perlahan turut merenggangkan hubungan. Namun, studi justru menyebutkan, hubungan jarak jauh memiliki kualitas yang layak untuk diperjuangkan.
Seperti istilahnya, long distance relationship (LDR) adalah ikatan yang terjalin antarorang yang berjauhan secara geografis. Jarak ini mengurangi atau bahkan meniadakan interaksi dan kontak fisik secara langsung. Dasar dari relasi romantis ini ialah ikatan emosional yang dipertahankan melalui kasih sayang, kesetiaan, dan kepercayaan.
Meski memberatkan, masyarakat Indonesia justru optimistis bahwa long distance relationship mempunyai peluang keberhasilan yang sama dengan hubungan yang tak terpisah jarak. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2022 merekam, enam dari 10 responden yakin bahwa hubungan LDR akan bertahan.
Rasa percaya pada keberhasilan LDR kebanyakan disampaikan oleh kalangan muda. Misalnya saja, mayoritas (81,6 persen) dari responden usia 17 hingga 24 tahun tidak setuju pada anggapan umum bahwa hubungan jarak jauh akan kandas di tengah jalan. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh lebih sedikit responden dari kelompok usia lain, yakni kurang dari 60 persen.
Sejumlah penelitian dari khazanah ilmu psikologi mengungkap adanya manfaat dari hubungan jarak jauh. Theodore T dalam The Psychology of Long Distance Relationship (2021) menyebut hubungan jarak jauh dapat secara positif memengaruhi pola pikir dan kehidupan secara umum.
Rasa percaya pada keberhasilan LDR kebanyakan disampaikan oleh kalangan muda.
Dengan kadar kepercayaan dan komitmen yang tepat antar-kedua belah pihak, LDR bahkan memiliki kemungkinan sukses yang lebih tinggi daripada hubungan pasangan yang hidup bersama.
Keuntungan berjarak fisik dengan pasangan juga diungkap Gary W. Lewandowski dalam ”Stronger Than You Think: The 10 Blind Spots That Undermine Your Relationship” (2021).
Memiliki waktu dan ruang untuk diri sendiri adalah perilaku yang sehat dalam hubungan romantis. Rasa hilangnya jati diri dapat muncul jika hampir semua kegiatan dilakukan bersama pasangan. Berjarak juga berarti menciptakan kesempatan untuk merindu.
Jurnalis Jo Piazza (2018) lewat pengumpulan gagasan mengenai relasi jarak jauh menyebut pasangan long distance relationship cenderung memiliki tingkat kepuasan dan tingkat dedikasi lebih tinggi serta lebih sedikit merasa terjebak.
Psikoterapis sekaligus kolumnis Lori Gottlieb turut menjelaskan bahwa manfaat terbesar pasangan LDR adalah lebih banyaknya waktu untuk bercakap dan belajar saat menjalin hubungan jarak jauh yang cenderung berbanding terbalik saat pasangan berdekatan (Kompas, 10 April 2021).
Tidak berlebihan jika menyebut hubungan jarak jauh bersama pasangan bisa sangat melelahkan. Namun, menjalani dan memahami proses untuk menjaga long distance relationship memunculkan manfaat dalam tiap diri individu yang berjarak.
Hal ini menjadi penting mengingat satu dari 10 keluarga di Indonesia berada dalam relasi jarak jauh atau LDR. Tidak hanya terpisah dengan pasangan, responden juga terpisah jarak dengan orangtua ataupun anak.
Responden yang mengaku terpisah dari anggota keluarga terkasih ini mayoritas berusia di bawah 39 tahun dan berangkat dari masyarakat menengah ke bawah.
Dari gambaran demografi di atas, individu pejuang LDR umumnya masih berada pada usia produktif. Banyak faktor yang dapat digali dari gambaran jajak pendapat ini. Salah satunya ialah ketimpangan tenaga kerja dan lapangan kerja yang mengakibatkan individu harus meninggalkan keluarga demi memenuhi kebutuhan hidup.
Temuan ini juga menyumbang narasi penting dalam upaya penguatan fungsi keluarga demi menciptakan keluarga yang berketahanan. Keluarga yang terpisah jarak perlu melakukan upaya lebih untuk menghadirkan kasih sayang dan perlindungan.
Apalagi, masih ada sebagian kecil responden (0,7 persen) yang tidak pernah menunjukkan tindakan atau bahasa cinta kepada anggota keluarga. Fungsi keluarga perlu diberdayakan demi membentuk keluarga yang berketahanan (Kompas, 2 Juli 2022).
Brian G. Ogolsky dan Laura Stafford dalam ”A Systematic Review of Relationship Maintenance: Reflecting Back and Looking To The Future” (2022) mengulas salah satu temuan menarik dari Goldsmith dan Byyers (2013) yang menyebut relational continuity constructional units (RCCUs) introspektif memiliki peran esensial pada pasangan LDR yang sudah menikah.
Keluarga yang terpisah jarak perlu melakukan upaya lebih untuk menghadirkan kasih sayang dan perlindungan.
RCCUs introspektif yang dimaksud ialah sarana kelanjutan relational yang terjadi selama individu terpisah dengan pasangannya. Unit ini ditandai dengan kenangan tentang masa lalu bersama atau terlibat dalam sejumlah bentuk komunikasi yang dimediasi. Artinya, pasangan LDR yang sudah menikah mampu bertahan jika terus menjalin kehangatan khususnya saat periode terpisah jarak demi memperkuat keinginan untuk bertemu kembali.
RCCUs merupakan konsep yang diusulkan oleh S.J Sigman (1991), yang kemudian dipakai untuk mengukur perilaku individu dalam hubungan romantis jarak jauh. Selain introspektif, ada dua tipe lainnya, yakni prospektif (sebelum pemisahan) dan retrospektif (setelah pemisahan).
Jajak pendapat pada Februari 2020 pada 574 responden mahasiswa dan mahasiswi menunjukkan 8,9 persen menyatakan LDR sebagai alasan putus. Meski demikian, bukan berarti long distance relationship tidak patut diperjuangkan.
Masih menggunakan konsep RCCUs, Ellis dan Ledbetter (2015) menemukan bahwa penggunaan RCCUs menurunkan ketidakpastian relasional. Artinya, pejuang LDR perlu untuk menguatkan komitmen besama di awal sebelum terpisah jarak, mempertahankan hubungan di saat terpisah, dan refleksi hubungan saat bertemu kembali.
Menjalani hubungan jarak jauh justru menjadi petualangan teromantis asalkan tidak terjebak untuk menyabotase diri yang bakal merusak hubungan.
Brian dan Laura juga me-review temuan Ogolsky dan Bowers (2013) tentang kecenderungan wanita yang mengambil porsi lebih banyak melakukan pemeliharaan hubungan daripada pria. Temuan ini patut menjadi catatan demi menciptakan keseimbangan perhatian pada tiap individu yang menjalin hubungan.
Sementara itu, Aylorand Dainton (2004) menemukan adanya hubungan positif antara pemeliharaan dan interaksi rutin dengan panjang hubungan pada orang berusia 17 hingga 19 tahun.
Temuan dari riset di atas menunjukkan bahwa pejuang LDR berpeluang besar untuk berhasil menjaga hubungan. Menjalani hubungan jarak jauh justru menjadi petualangan teromantis asalkan tidak terjebak untuk menyabotase diri yang bakal merusak hubungan. (LITBANG KOMPAS)