Energi Fosil Terus Membayangi Gejolak Ekonomi Dunia
Krisis energi di sejumlah negara membuat ekonomi dunia bergejolak. Dalam jangka panjang, pengembangan energi baru terbarukan dapat menjadi solusi menahan dampak gejolak energi global.

Instalasi pengolahan minyak milik perusahaan energi Rusia Gazprom di tenggara Moskwa, Rusia, 28 April 2022. UE memutuskan menjatuhkan sanksi baru, larangan impor minyak mentah dan sulingan Rusia mulai enam bulan ke depan. (Photo by Natalia KOLESNIKOVA / AFP)
Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber energi fosil membuat situasi dunia selalu diliputi ketidakpastian. Kepemilikan sumber energi fosil yang tidak merata membuat setiap gejolak energi di suatu kawasan dunia dapat berimbas ke wilayah lainnya. Beralih ke sumber energi baru terbarukan harus segera dilakukan untuk mengurangi gejolak energi global.
Tingginya ketergantungan dunia terhadap energi fosil terlihat dari laporan Badan Energi Internasional (IEA) 2022. Hingga tahun lalu, konsumsi energi final di seluruh dunia masih dominan mengandalkan sumber fosil. Rinciannya terdiri dari 10,51 persen dari batubara, sekitar 42 persen dari minyak bumi, sebanyak 15,40 persen dari gas alam, dan 20 persen berupa elektrifikasi. Jadi, secara akumulatif konsumsi energi final yang menggunakan sumber fosil mencapai 88 persen.
Tingginya ketergantungan itu membuat sektor energi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kondisi ekonomi dunia. Begitu juga sebaliknya, setiap ada guncangan ekonomi dapat berimbas pada perubahan harga energi secara tiba-tiba. Eratnya hubungan ini menyebabkan dinamisasi perubahan perekonomian linear dengan perubahan harga komoditas energi.
Setiap terjadi gejolak harga energi akan menimbulkan dampak secara global dengan berbagai tingkatan efek sesuai dengan karakteristik suatu negara. Negara yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi relatif lebih tahan dengan gejolak peningkatan harga energi. Sebaliknya, negara yang tingkat kesejahteraannya relatif rendah cenderung akan semakin berat menghadapi tekanan harga energi global. Akibatnya, dampak makro ekonomi yang tercipta di setiap negara memiliki kecenderungan yang berbeda-beda.
Negara maju yang memiliki tingkat pendapatan tinggi cenderung mampu mengendalikan gejolak harga energi dunia tersebut dengan berbagai pendekatan. Baik itu kebijakan fiskal maupun moneter sehingga mampu menjaga sejumlah indikator ekonomi makro secara baik. Di antaranya mampu menjaga tingkatan inflasi secara sehat sehingga tetap menjaga dinamisasi pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan.
Berbeda halnya dengan negara dengan tingkatan ekonomi lebih rendah. Pada umumnya akan mengalami gejolak yang akhirnya mengganggu sejumlah target indikator makroekonomi domestik. Negara-negara kelas upper middle income, middle income, lower middle income, dan lower income umumnya akan mengalami lonjakan inflasi yang relatif tinggi.
Kenaikan harga-harga secara umum ini akhirnya menurunkan daya beli masyarakat sehingga menyebabkan pendapatan sektor produksi berkurang. Menurunnya penjualan itu akan berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja sehingga memicu pertambahan pengangguran dan kemiskinan.
Perbedaan dampak antara negara maju dan negara pada kelas di bawahnya tersebut, salah satunya karena pola konsumsi energi yang juga berbeda. Umumnya, negara-negara maju sudah menggunakan bauran energi dari sumber energi baru terbarukan (EBT) yang cenderung lebih besar dari negara-negara berkembang.
Penggunaan sumber EBT yang relatif besar itu sesuai dengan karakteristik negara-negara maju yang mayoritas sudah bergeser tumpuan ekonominya ke sektor jasa. Hal ini menyebabkan konsumsi energi relatif tidak sebesar pada saat bertumpu pada sektor industri.
Situasi itu membuat negara-negara maju memiliki keleluasaan untuk mengembangkan sumber EBT jauh lebih masif lagi. Selain mampu mereduksi emisi karbon secara lebih efektif, pengembangan sumber energi dari EBT itu kian memperkuat ketahanan energi di negara-negara kaya.
Karakteristik negara maju itu berbeda jauh dengan negara-negara berkembang yang sebagian besar sedang giat-giatnya membangun perekonomian dengan menciptakan sektor-sektor industri. Hal ini tentu saja membutuhkan asupan energi yang sangat besar guna menopang maksimalisasi produksi barang dan jasa. Penggunaan energi fosil sangat vital dalam menunjang keberhasilan pembangunan industrialisasi itu.
Akibatnya, kebutuhan energi fosil, baik itu minyak bumi, gas alam, maupun batubara sangat penting untuk menciptakan kesejateraan masyarakat yang lebih baik. Pada fase ini biasanya menghasilkan emisi karbon yang semakin besar dan kian polutif. Ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil ini membuat ketahanan energi dan perekonomian di negara-negara berkembang relatif rentan terhadap situasi energi global. Terutama bagi negara-negara yang minim sumber daya energi fosil sehingga harus mengimpor energi dalam skala besar.
Dampak ekonomi
Berdasarkan data IEA dan World Bank pada 2000-2021 mengindikasikan ada keterikatan antara harga energi dengan dampak inflasi dan juga pertumbuhan ekonomi suatu negara. Negara maju memiliki tingkatan inflasi tahunan rata-rata di bawah inflasi dunia. Sebaliknya, untuk negara-negara berkembang tingkat inflasinya di atas rata-rata dunia.
Secara umum, inflasi yang terjaga dapat mendorong kemajuan ekonomi, sedangkan inflasi yang terlalu tinggi justru mengoreksi pertumbuhan menjadi lebih lambat. Kondisi ini terjadi secara umum, baik itu negara maju maupun negara-negara berkembang
Pada 2000-2021, ada beberapa kali peristiwa lonjakan harga energi. Salah satu yang paling signifikan terjadi pada kurun 2007-2008 dengan kenaikan harga energi rata-rata lebih dari 30 persen. Harga batubara naik sekitar 71 persen, gas alam sekitar 45 persen, dan minyak bumi kisaran 34 persen.
Lonjakan harga energi ini merupakan ekses dari krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat (AS). Kebijakan pemerintah AS untuk memulihkan kondisi perekonomiannya dengan memperkuat nilai mata uang dollar menyebabkan harga-harga barang di pasaran global turut naik. Salah satunya yang terdongkak naik secara signifikan adalah harga energi.
Peningkatan harga energi itu berimbas besar pada laju inflasi yang meroket tajam hingga 8,95 persen atau tertinggi selama dua dekade ini. Lonjakan inflasi ekstrem itu menyebabkan inflasi di negara-negara berkembang jauh lebih tinggi lagi menjadi di atas 10 persen. Bahkan, inflasi di negara lower income mencapai 12,25 persen.
Untuk negara-negara maju besaran inflasinya relatif terkendali lebih baik dengan besaran 4,52 persen. Meskipun demikian, inflasi di negara maju itu tetap tergolong tinggi karena umumnya inflasi di negara maju lebih kurang maksimal pada kisaran 2 persen.
Kenaikan harga-harga secara umum akibat inflasi di sebagian besar kawasan dunia itu menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Akibatnya, konsumsi barang dan jasa berkurang sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Laju produk domestik bruto (GDP) global yang sebelumnya di kisaran 4 persen anjlok menjadi sekitar 2 persen.
Pertumbuhan ekonomi negara maju tak lebih dari 1 persen. Padahal, sebelumnya berkisar di atas 2 persen. Kondisi serupa terjadi pada negara kelas upper middle yang turun hingga kisaran 6 persen dari sebelumnya yang rata-rata lebih dari 8 persen. Negara middle income turun menjadi 5 persen dari sebelumnya juga di atas 8 persen. Untuk negara-negara lower middle income dan juga lower income, pertumbuhannya menjadi pada kisaran 4-5 persen dari rata-rata sebelumnya yang lebih dari 6 persen setahun.
Peningkatan laju inflasi dan penurunan laju GDP itu menunjukkan kompleksnya hubungan sebab-akibat perekonomian makro dunia dengan komoditas energi. Tanpa ada permasalahan suplai energi seperti pada kasus tahun 2007-2008 itu saja dapat membuat turbulensi harga energi yang menurunkan kemajuan perekonomian secara global.
Dapat dibayangkan, apabila ada kendala suplai penyediaan energi oleh sejumlah negara produsen, dampak yang ditimbulkan dapat lebih ekstrem lagi. Inflasi dapat meningkat jauh lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi kian tertekan sehingga berpotensi terjadi stagflasi yang mengarah pada resesi ekonomi apabila gagal teratasi.
Mitigasi penurunan
Peristiwa lonjakan harga energi pada 2007-2008 itu berpotensi berulang lagi tahun ini. Invasi Rusia ke Ukraina membuat harga energi melambung sangat tinggi. Untuk minyak bumi, misalnya, ada kemungkinan selama tahun 2022 harganya melompat naik di atas 50 persen dari tahun 2021 lalu. Pasalnya, harga minyak bumi saat ini rata-rata sudah lebih dari 100 dollar AS per barrel.
Laju kenaikan itu tentu sangat mengkhawatirkan karena dengan peningkatan sekitar 34 persen saja seperti kasus tahun 2007-2008 dampaknya sangat besar bagi perekonomian makro dunia. Inflasi meningkat, ekonomi lesu, dan pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Besarnya pengaruh minyak bumi bagi perekonomian global disebabkan oleh besarnya dominasi konsumsi minyak bumi di antara sumber-sumber energi lainnya. Konsumsi final minyak bumi dunia setiap tahun rata-rata lebih dari 42 persen. Oleh sebab itu, semua negara perlu menyiapkan langkah mitigasi ancaman penurunan perekonomian akibat lonjakan harga minyak bumi tersebut.

Pompa angguk minyak mentah di Midland, Texas, 5 Juli 2022.
Menurut proyeksi dari IMF, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan terus mengalami penurunan. Diproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 turun menjadi 3,2 persen dan tahun 2023 susut lagi lebih rendah menjadi 2,9 persen. Untuk negara maju diperkirakan besaran penurunannya akan lebih ekstrem lagi, yakni turun menjadi 2,5 persen pada 2022 dan mengecil lagi menjadi 1,4 persen pada 2023.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ini salah satunya karena meningkatnya harga energi akibat peperangan sehingga mengganggu rantai pasok sejumlah komoditas penting. Gangguan distribusi dan mahalnya harga energi menyebabkan harga-harga komoditas secara umum turut mengalami peningkatan.
Kondisi itu harus disikapi secara waspada, terutama bagi negara-negara dengan kelas ekonomi lebih rendah, seperti halnya Indonesia. Langkah penguatan perekonomian negara-negara maju kemungkinan besar akan berdampak pada pelemahan ekonomi negara-negara berkembang. Seperti pada kasus tahun 2007-2008, hampir semua kelas negara berkembang akan turut terdampak. Namun, yang mengalami tekanan terberat pada kasus ini adalah kelompok negara lower middle income dan lower income dengan laju inflasi tertinggi dan pertumbuhan ekonomi yang anjlok signifikan.
Indonesia
Indonesia sebagai kelompok negara lower middle income patut meningkatkan kewaspaan terkait dengan kondisi ekonomi global saat ini. Jangan sampai proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan 5,3 persen pada tahun ini terkoreksi sangat dalam akibat tekanan global dan penyesuaian kebijakan ekonomi negara-negara maju. Perlu penguatan kebijakan dalam negeri agar Indonesia dapat seminimal mungkin terimbas tekanan ekonomi global saat ini.

Logo Bank Indonesia
Ada sejumlah langkah kebijakan yang telah dipersiapkan. Salah satunya berasal dari Bank Indonesia (BI) yang terus berupaya memperkuat bauran kebijakan moneter melalui stabilitas nilai tukar rupiah serta penguatan operasi moneter dan suku bunga. Selain itu, BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengelola tekanan inflasi dari sisi suplai dan mendorong produksi serta mendukung ketahanan pangan. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal terus ditingkatkan guna menjaga stabilitas makro ekonomi Indonesia.
Langkah kebijakan itu merupakan upaya preventif agar ancaman penurunan pertumbuhan ekonomi global itu tidak memberi tekanan yang berat bagi kondisi perekonomian Indonesia. Untuk memaksimalkan upaya-upaya preventif terkait gejolak ekonomi dunia akibat perubahan harga energi itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk segera mengakselerasi peningkatan bauran EBT.
Target EBT yang sudah direncanakan harus dikejar capaian realisasinya. Transisi energi menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera dilakukan. Tidak hanya demi mereduksi emisi karbon, tetapi juga untuk melindungi Indonesia dari tekanan global akibat fluktuasi harga energi. (LITBANG KOMPAS)