Tren Partisipasi Perempuan dalam Investasi Hijau
Tren investasi berbasis ramah lingkungan dan berkelanjutan (green investment) semakin dilirik kaum perempuan. Partisipasi perempuan dalam sektor keuangan membawa angin segar dalam proses transformasi menuju ekonomi hijau
Di Indonesia, instrumen investasi atau pembiayaan hijau berkembang dalam lima tahun terakhir. Paling tidak ada dua instrumen investasi hijau yang sampai saat ini rutin diterbitkan pemerintah setiap tahunnya, yaitu sukuk global hijau (global green sukuk) dan sukuk hijau ritel (retail green sukuk).
Dalam istilah ekonomi, sukuk ritel dan sukuk global disebut surat berharga negara (SBN). Label “hijau” disematkan karena seluruh hasil penerbitan digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek ramah lingkungan dan berkelanjutan. Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan sukuk hijau ritel dengan debut pertamanya pada November 2019.
Partisipasi perempuan dalam investasi hijau cukup tinggi dan terus tumbuh dari tahun ke tahun. Sejak sukuk hijau ritel diterbitkan, misalnya, persentase investor perempuan selalu mendominasi ketimbang laki-laki (57 persen). Tercatat sekitar 7.400 perempuan berinvestasi di instrumen sukuk hijau ritel setiap tahun selama periode 2019-2021.
Selama periode itu, pemerintah telah tiga kali menerbitkan sukuk hijau ritel senilai total Rp 11,9 triliun. Jika dicermati, persentase investor perempuan yang membeli sukuk hijau ritel konsisten meningkat dari 55,13 persen tahun 2019 (seri ST006) menjadi 57,24 persen tahun 2020 (seri ST007) dan 58,5 persen tahun 2021 (ST008).
Selain sukuk hijau ritel, ada juga instrumen investasi sukuk global hijau atau dikenal juga obligasi hijau. Namun, obligasi hijau hanya diperuntukkan bagi investor institusi, baik asing maupun domestik. Perempuan bisa ikut ambil bagian dengan mewakili institusi masing-masing, tidak perseorangan seperti sukuk hijau ritel.
Tren global
Partisipasi perempuan dalam investasi hijau juga menjadi tren global. Dalam laporan
perusahaan perbankan investasi dan jasa keuangan UBS disebutkan, mayoritas perempuan (71 persen) mempertimbangkan aspek keberlanjutan saat berinvestasi. Preferensi perempuan untuk memilih investasi berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dua kali lebih tinggi dari laki-laki.
Investasi hijau pun menjadi bagian dari isu keuangan berkelanjutan yang diangkat dalam pertemuan ketiga menteri keuangan dan gubernur bank sentral (3 FMCBG meeting) negara anggota G20 pada 15-16 Juli 2022. G20 sepakat meningkatkan instrumen keuangan yang terjangkau dan inklusif untuk mendukung target nol emisi.
Jika animo investor perempuan ini dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin persoalan gap antara ketersediaan dan kebutuhan pendanaan dapat teratasi. Untuk menuju ekonomi hijau, estimasi dana yang dibutuhkan Indonesia menurut perhitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahunnya.
Baca Juga: Transisi Ekonomi Hijau Butuh Investasi Besar
Estimasi itu mengacu pada target penurunan emisi karbon hingga 2030 dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC). Indonesia menargetkan penurunan gas emisi rumah kaca menjadi 29 persen dengan upaya sendiri sampai dengan 41 persen dengan bantuan internasional.
Masalahnya, ada gap yang besar antara kebutuhan dan ketersediaan pendanaan dalam negeri. Setiap tahun, rata-rata anggaran perubahan iklim yang dialokasikan dalam APBN hanya sekitar 4 persen, sementara kebutuhan mencapai 17-18 persen. Karena itu, peranan perempuan dalam investasi hijau diperlukan untuk memperkecil gap tersebut.
Literasi dan inklusi
Peranan perempuan dalam pasar keuangan sejalan dengan peningkatan literasi dan inklusi keuangan. Berdasarkan hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada perbaikan tingkat literasi keuangan perempuan dari 25,5 persen (2016) menjadi 36,13 persen (2019), sementara inklusi keuangan dari 66,2 persen (2016) menjadi 75,15 persen (2019).
Jika dibandingkan menurut gender, peningkatan literasi dan inklusi keuangan perempuan juga lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini mengindikasikan ekonomi Indonesia sudah semakin inklusif dibarengi pemahaman literasi keuangan yang membaik pada kelompok perempuan.
Kendati ada perbaikan (peningkatan) dari sisi literasi dan inklusi keuangan, tetapi nilai investasi perempuan relatif masih kecil. Berdasarkan statistik pasar modal Indonesia, investor perempuan per Juni 2022 berjumlah 2.137.427 orang (38,13 persen dari total investor) dengan akumulasi aset sebesar Rp 202,82 triliun.
Perbaikan inklusi keuangan perempuan juga terekam dalam survei Litbang Kompas, Juni 2022. Secara nasional, sebesar 38,8 persen responden perempuan menilai, mendapatkan modal usaha semakin mudah dan cukup mudah. Kemudahan akses modal yang dirasakan perempuan hampir sama dengan laki-laki (38,6 persen).
Dari sisi jumlah penduduk, perempuan menyimpan potensi besar bagi perekonomian masa depan. Hampir separuh jumlah penduduk Indonesia tahun 2021 adalah perempuan (49,4 persen). Perempuan usia produktif dari generasi Y (26-41 tahun) dan generasi X (42-57 tahun) mendominasi.
Jumlah perempuan usia produktif yang besar juga disertai perbaikan kualitas manusia. Secara umum, IPM perempuan memang masih di bawah laki-laki, tetapi laju peningkatan lebih tinggi. Dalam enam tahun terakhir, 2016-2021, rata-rata peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 0,63 persen per tahun, lebih tinggi dari laki-laki sebesar 0,53 persen.
Kendati partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi terus tumbuh dan potensinya besar, tetapi kesenjangan masih jadi persoalan. Berkaca pada indeks kesetaraan gender (global gender gap), posisi Indonesia merosot 16 peringkat menjadi peringkat ke-101 tahun 2021. Secara spesifik, partisipasi perempuan dalam ekonomi peringkat ke-99, pendidikan ke-107, kesehatan ke-76, dan peran politik ke-92.
Padahal, menurut Laporan McKinsey Research Institute, pemberian kesempatan yang sama bagi perempuan akan meningkatkan nilai tambah produk domestik bruto (PDB) global hingga 12 triliun atau 11 persen pada tahun 2025. Kesetaraan juga membuka 230 juta pekerjaan baru bagi perempuan di dunia.
Transformasi menuju ekonomi hijau tidak bisa mengesampingkan peranan perempuan. Perempuan bukan lagi pelengkap, tetapi pemain utama dalam keberlanjutan perekonomian Indonesia. “When women and girls can reach their full potential, they do better, economies do better, and that is to the benefit of everyone,” ujar Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional atau IMF. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Pembiayaan Jadi Hambatan Investasi Ekonomi Hijau