Bahasa Daerah Masih Jadi Primadona dalam Opera Percakapan Masyarakat Indonesia
Bahasa daerah masih menjadi pilihan utama sarana komunikasi baik di dalam rumah maupun dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Keseharian masyarakat dalam situasi multikultural membuat bahasa daerah masih banyak digunakan.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·5 menit baca
Alkisah pada sebuah pertunjukan opera, ada beberapa penyanyi yang akan unjuk kebolehan di panggung. Adrenalin para penyanyi makin meninggi ketika tirai pertunjukan dibuka sesaat lagi. Di antara mereka ada satu penyanyi yang paling berdebar, sekaligus paling dinanti. Dialah sang primadona, si penyanyi utama.
Jika percakapan manusia Indonesia diibaratkan sebagai sebuah panggung opera, maka bahasa-bahasa yang dipakai dalam keseharian terasa seperti penyanyi-penyanyi yang akan tampil. Dalam kenyataannya, bahasa daerah masih tampil sebagai primadona dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Fakta ini tergambar dalam Statistik Kebudayaan 2021 yang dirilis oleh BPS pada 30 Juni 2022. Salah satu data yang dipaparkan adalah soal perilaku masyarakat Indonesia menggunakan bahasa dalam hidup sehari-hari. Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing diukur penggunaannya baik di dalam keluarga maupun dalam pergaulan.
Jika dilihat secara umum penggunaan bahasa daerah masih nampak signifikan digunakan baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan apabila dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Untuk percakapan dalam keluarga, bahasa daerah masih paling banyak digunakan masyarakat Indonesia yaitu sebesar 73,07 persen. Sementara bahasa Indonesia digunakan hanya sekitar 26,75 persen saja di dalam rumah. Bahasa asing lebih sedikit lagi, tidak sampai 1 persen.
Angka ini agaknya bisa dimaklumi sebab komunikasi menuntut kenyamanan dan kedekatan personal antara pihak-pihak yang terlibat dalam obrolan. Bahasa daerah menyediakan kenyamanan dan kedekatan tersebut jika bahasa daerah merupakan bahasa pertama. Akhirnya tujuan berkomunikasi pun lebih mudah “sampai” karena percakapan tidak berjarak.
Menariknya, jika bergeser ke luar rumah yaitu dalam pergaulan, terjadi penurunan penggunaan bahasa daerah sekaligus peningkatan pemakaian bahasa Indonesia. Dalam pergaulan sebesar 60,57 persen bahasa daerah digunakan, sementara 39,31 persen bahasa Indonesia dituturkan.
Situasi multikultural
Data di atas menggambarkan kenyataan keseharian masyarakat Indonesia yang hidup dalam situasi multikultural, namun tidak kehilangan daya adaptif dalam berbahasa. Penurunan penggunaan bahasa daerah dan peningkatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ini menggambarkan secara tepat sifat manusia Indonesia dalam menghargai inklusivitas berbahasa di tengah pergaulan.
Di dalam rumah kemungkinan besar suku dan bahasanya sama, namun dalam pergaulan suku dan bahasa lebih beragam. Bahasa Indonesia menjembatani keberagaman tersebut dalam pergaulan. Hal yang berikutnya patut dicermati, tatkala data seluruh Indonesia ini diteliti berdasarkan provinsi.
Nampaknya komposisi sosial sebuah provinsi memengaruhi jumlah bahasa daerah dituturkan. Masih dari data yang sama, lima provinsi yang penduduknya menuturkan bahasa daerah dalam pergaulan dengan presentase tertinggi berturut-turut, yakni Sumatera Selatan (88,91), Kalimantan Selatan (87,21), Sumatera Barat (86,97), Kep. Bangka Belitung (85,09), dan Jawa Tengah (84,39)
Sementara di kutub seberang, lima provinsi dengan presentase terendah penggunaaan bahasa daerah dalam pergaulan berturut-turut, DKI Jakarta (1,36), Kalimantan Utara (7,81), Papua Barat (8,83) Kepulauan Riau (10,25) dan Kalimantan Timur (11,21). Lima provinsi ini sekaligus menjadi wilayah tempat bahasa Indonesia dituturkan paling banyak dalam pergaulan.
Artinya, ada faktor perpindahan penduduk ke suatu wilayah dapat berpengaruh terhadap penuturan bahasa daerah di daerah tersebut. Di provinsi-provinsi yang perpindahan penduduknya relatif lebih kecil dan cenderung homogen, maka bahasa digunakan secara dominan. Sementara di wilayah yang cenderung heterogen dengan pendatang yang lebih besar maka bahasa Indonesia mengambil tempat.
Tantangan bahasa daerah
Selain dilihat berdasarkan provinsinya, penuturan bahasa di Indonesia dari Statistik Kebudayaan 2021 dapat dipandang pula berdasarkan usia penuturnya. Dengan kaca mata ini, bahasa daerah mulai menemukan tantangannya sebagai primadona.
Nampak kecenderungan bahwa semakin tua usia penduduk, semakin tinggi pula pemakaian bahasa daerah dalam pergaulan. Sebaliknya semakin muda usianya, cenderung makin rendah pula penggunaan bahasa daerah.
Batas tengahnya adalah di sekitar penduduk berusia 16-30 tahun yang menggunakan bahasa daerah sekitar 55,84 persen dalam pergaulan. Lebih tua dari usia ini, mereka yang berusia 45-59 tahun, sebesar 67,07 persen menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan. Sementara itu 76,78 persen dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun menggunakan bahasa daerah.
Bergeser ke penduduk dengan rentang usia lebih muda, bahasa Indonesia dan bahasa daerah berselisih tidak lebih dari satu persen. Dalam pergaulan, bahasa daerah digunakan oleh mereka yang berusia 7-18 tahun sebesar 49,64 persen. Sebaliknya, sebesar 50,25 persen penduduk dalam rentang usia ini menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan. Posisi penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia pada generasi berusia 7-18 tahun berada dalam posisi seimbang.
Pergeseran ini memberi tantangan bagi bahasa daerah, apakah tetap akan mengambil peran signifikan dalam panggung percakapan manusia Indonesia, atau malah akan menyusut jika generasi yang lebih muda lagi lahir di masa depan. Di sisi lain, penduduk muda Indonesia saat ini nampaknya memiliki pilihan yang leluasa untuk menggunakan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia dalam pergaulan.
Secara tidak langsung, nasib bahasa daerah ada di tangan generasi muda ini. Jika tren penurunan terus berlanjut pada generasi berikutnya maka modernisasi dan globalisasi nampaknya menyisihkan bahasa daerah sebagai primadona. Akan tetapi, jika kondisi seimbang antara penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam pergaulan malah terus stabil, maka kemampuan adaptif manusia Indonesia yang berciri multikultural berada pada posisi matang.
Posisi bahasa daerah sebenarnya masih menguntungkan untuk tetap lestari jika perilaku berbahasa dalam pergaulan di atas dilengkapi dengan data pemakaian bahasa daerah di dalam rumah. Pada generasi usia 7-18 tahun, bahasa daerah masih digunakan sebesar 68,86 persen di rumah. Maka kencederungan menurunnya pemakaian bahasa daerah dalam pergaulan pada rentang usia ini agaknya lebih disebabkan faktor adaptasi dalam bergaul dibandingkan keengganan memakai bahasa daerah.
Ratusan bahasa
Yang perlu diingat kembali, bahasa Indonesia adalah satu bahasa sementara bahasa daerah berjumlah ratusan. Dari pemetaan bahasa di Indonesia yang dilakukan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud sejak 1991 hingga 2019, terdapat 718 bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi. Daerah pengamatannya sebanyak 2.560 di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, ratusan bahasa daerah ini perlulah kembali dipahami sebagai kekayaan asli bangsa Indonesia yang patut dibanggakan. Tak hanya itu, penting pula dicatat bahwa bahasa daerah termasuk dalam warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) yang sifatnya tidak dapat dipegang.
Karena sifatnya yang abstrak, maka pelestariannya bergantung pada perilaku manusianya. Pewarisannya berlangsung dari generasi ke generasi. Dengan begitu, putusnya pewarisan antargenerasi menjadi titik punahnya bahasa daerah sebagai warisan takbenda.
Akhirnya, sebagai primadona, taji bahasa daerah dalam opera percakapan manusia Indonesia masih tajam paling tidak hingga saat ini. Lebih dari itu, perilaku berbahasa manusia Indonesia dalam bertutur bahasa daerah dan bahasa Indonesia menunjukkan sikap inklusif yang berciri multikultural. Sebab, soal bahasa adalah soal identitas. (LITBANG KOMPAS)