Perang Ukraina-Rusia Mengakslerasi Transisi Energi Di Eropa
Eropa telah mempersiapkan sejumlah upaya mereduksi ketergantungan gas alam dari Rusia. Salah satunya dengan melakukan substitusi sumber energi baru terbarukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil.
Oleh
Budiawan Sidik A
ยท6 menit baca
STEFAN SAUER/DPA VIA AP
Tampilan sistem pipa dan perangkat penutup di stasiun penerima gas dari pipa Nord Stream 1 Laut Baltic dari stasiun transfer OPAL (Ostsee-Pipeline-Anbindungsleitung - Baltic Sea Pipeline Link) gas pipa jarak jauh di Lubmin, Germany, 21 Juni 2022. (Stefan Sauer/dpa via AP,file)
Invasi militer Rusia ke Ukraina mendorong percepatan transisi energi di kawasan Eropa. Sanksi ekonomi dan embargo impor migas dari Rusia membuat kawasan Eropa harus segera membenahi aliran suplai energinya dan mengakselerasi penyediaan energi terbarukan.
Berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA), konsumsi energi di wilayah Eropa sebagian besar masih mengandalkan dari energi fosil. Pada kurun 2009-2019, konsumsi energi dari fosil menguasai hampir 70 persen kebutuhan energi di Eropa. Sebagian besar energi fosil itu sekitar 60 persennya berupa produk minyak bumi, 8 persen batubara, dan 31 persen adalah gas alam.
Angka ini belum termasuk penggunaan energi listrik yang hampir 50 persennya bersumber dari pembangkitan energi fosil. Artinya, ketergantungan Eropa terhadap energi fosil sangatlah besar, hampir mencapai 80 persen.
Di sisi lain, besarnya konsumsi energi fosil itu menunjukkan bahwa konsumsi energi yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) di Eropa juga terbilang masih minim, yakni berada pada kisaran 20 persen. EBT di kawasan Eropa ini bentuknya beraneka rupa. Di antaranya berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga angin (PLTB), pembangkit panas bumi (PLTP), pembangkit air (PLTA), pembangkit energi gelombang laut, nuklir (PLTN), pembangkit dari sumber limbah, dan biofuel.
Hampir semua sumber EBT itu digunakan untuk membangkitkan listrik. Hal ini untuk mengimbangi suplai energi listrik yang berasal dari pembangkitan fosil yang proporsinya juga mendekati 50 persen. Terdiri dari pembangkit batubara (PLTU) sebesar 28,5 persen; minyak bumi 4,6 persen, dan gas alam (PLTG) sekitar 16,5 persen.
Di masa mendatang, pembangkitan fosil itu akan terus direduksi kapasitas produksinya dan perlahan-lahan digantikan dengan sumber pembangkitan dari EBT. Hal ini sejalan dengan rencana global yang ingin mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada tahun 2050. Hanya saja, untuk melakukan transisi itu tidaklah mudah.
Pasalnya, pembangkitan fosil itu memiliki stabilitas suplai energi yang tinggi sehingga sangat diperlukan sebagai sumber pembangkitan base load yang andal sehingga sebagian akan dipertahankan dengan sejumlah tambahan aplikasi teknologi. Tujuannya, agar emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit fosil itu tidaklah terlalu besar.
Menurut laporan World Nuclear Association, jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit energi fosil terbesar berasal dari PLTU. Untuk memproduksi 1 kilowatt hour (kWh) listrik dari PLTU akan menghasilkan emisi karbon sebesar 820 gram CO2.
Selanjutnya, disusul oleh biomass cofiring PLTU sekitar 740 gram CO2 per kWh dan pembangkitan dari gas alam (PLTG) sebesar 490 gram CO2 per kWh. Untuk emisi karbon dari pembangkit tenaga diesel (PLTD) dari minyak bumi angkanya tidak berbeda jauh dengan pembangkitan PLTU. Dari diskripsi ini menunjukkan bahwa PLTG menghasilkan emisi karbon terendah dari jenis pembangkit fosil lainnya.
Oleh sebab itu, penggunaan PLTG di sejumlah negara terus ditingkatkan guna menghasilkan energi yang sedikit lebih bersih. Di sejumlah kawasan negara maju, peningkatan PLTG ini bersamaan dengan peningkatan kapasitas energi dari sumber EBT. Eropa sebagai salah satu kawasan percontohan transisi menuju target emisi nol bersih 2050 juga menggunakan PLTG sebagai salah satu medium transisi energinya. Permintaan gas alam di Eropa rata-rata per tahun mencapai 564 miliar kubik meter (BCM) atau menduduki peringkat kedua di dunia setelah AS yang mencapai 880 BCM setahun.
Pasokan terkendala
Sayangnya, permintaan gas alam yang besar di kawasan Eropa itu sebagian mengalami kendala pasokan untuk saat ini. Sanksi ekonomi dan juga embargo energi sekutu NATO kepada Rusia membuat pengiriman komoditas energi termasuk gas alam ke sejumlah negara Eropa dihentikan. Berhenti atau berkurangnya pasokan energi ini berpotensi mendorong kenaikan harga energi yang dapat berimbas pada kenaikan harga komoditas lainnya. Tidak hanya di kawasan Eropa, tetapi juga secara global sebagai akibat adanya penyesuaian kesetimbangan baru di pasar internasional.
Kawasan Eropa merupakan kawasan yang paling terdampak atas terhentinya pasokan energi khususnya gas alam dari Rusia. Berdasarkan laporan bp Statistical Review of World Energy 2022 suplai impor energi dari Rusia ke Eropa tergolong sangat besar. Khusus untuk komoditas gas alam, proporsi impornya mencapai 37 persen dari total konsumsi Eropa.
Tingginya ketergantungan impor gas alam dari Rusia itu disebabkan adanya ketimpangan antara sisi produksi dengan sisi konsumsi. Produksi gas alam di Eropa rata-rata per tahun hanya sebesar 226 BCM, tetapi permintaannya mencapai 564 BCM. Artinya, setiap tahun terjadi defisit permintaan hingga sekitar 338 BCM. Defisit ini merupakan yang terbesar di antara kawasan lainnya di dunia.
Untuk menutup kekurangan itu didatangkan sebagian pasokan gas alam dari Rusia. Selain karena lokasi geografisnya yang berdekatan, Rusia termasuk salah negara produsen energi terbesar di dunia. Khusus untuk gas alam, negara Beruang Merah ini setiap tahun selalu memiliki surplus gas alam hingga 245 BCM. Surplus ini merupakan yang terbesar di seluruh kawasan dunia sehingga wajar apabila Eropa akhirnya memiliki ketergantungan energi yang cukup besar dari Rusia.
Ketergantungan yang besar itu akhirnya harus dibayar mahal ketika Eropa dan negara-negara NATO melakukan sanksi ekonomi dan embargo impor energi kepada Rusia. Berdasarkan laporan dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sejumlah negara-negara di dunia saat ini dalam kondisi tekanan inflasi yang terus meningkat.
Laporan OECD pada Mei 2022, terjadi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi year on year sebesar 9,6 persen. Kenaikan inflasi ini merupakan yang paling tinggi di negara-negara OECD sejak Agustus 1988. Bisa dikatakan bahwa imbas embargo itu justru menjadi bumerang yang memicu kerawanan ekonomi di negara OECD yang mayoritas berada di kawasan Eropa. Terganggunya suplai energi berpotensi besar menimbulkan gejolak ekonomi yang mendorong kenaikan harga energi dan juga komoditas lainnya secara luas.
Akselerasi transisi
Efek berganda yang ditimbulkan dari kelangkaan suplai energi itu telah diperhitungkan secara baik oleh lembaga-lembaga penting di kawasan Eropa seperti OECD dan IEA. Oleh sebab itu, ada sejumlah langkah yang telah dipersiapkan Eropa untuk mereduksi ketergantungan gas alam dari Rusia. Salah satunya dengan melakukan substitusi sumber energi baru terbarukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil.
Sejumlah alternatif pilihan energi telah direncanakan untuk ditingkatkan produksi energinya secara masif. Di antaranya adalah dengan mempercepat penyebaran pembangunan PLTB dan PLTS di sejumlah negara Eropa.
AFP/ANDY BUCHANAN
Turbin angin yang dioperasikan ScottishPower Renewables berada di Ladang Angin Whitelee, Eaglesham Moor, Glasgow, Skotlandia, 17 Januari 2022. (Photo by Andy Buchanan / AFP)
Selain itu, juga memaksimalkan pembangkitan energi yang rendah emisi CO2 seperti reaktor nuklir, pembangkit bioenergi, serta diversifikasi sumber energi yang bersifat dekarbonisasi. Upaya demikian diharapkan mampu meningkatkan konsumsi energi final yang berwujud elektifikasi yang bersumber dari EBT. Tentu saja, upaya ini memerlukan biaya yang relatif mahal dan waktu instalasi yang relatif tidak sebentar.
Jadi, dalam fase transisi beradaptasi dengan minimnya pasokan gas alam itu juga disertai dengan sejumlah imbauan kepada masyarakat untuk berhemat energi dan melakukan beberapa penyesuaian. Di antaranya dengan mengatur suhu ruangan secara lebih hemat, mengganti tungku pemanas (masakan) dari gas dengan tungku pemanas dari listrik, dan efisiensi energi pada gedung-gedung dan perkantoran. Selain itu, pemerintahan di sejumlah negara-negera Eropa juga memberikan perlindungan kepada konsumen energi listrik agar tidak terdampak kenaikan harga energi.
Apabila rencana tersebut berhasil maka secara tidak langsung kawasan Eropa telah melakukan transisi energi secara akseleratif. Masyarakat akan semakin terbiasa untuk menggunakan peralatan listrik yang bersumber dari pembangkit energi dari EBT. Selain mengurangi ketergantungan pada pasokan energi fosil khususnya gas alam dari Rusia, kawasan Eropa menjadi kian โbersihโ karena semakin banyak menggunakan sumber energi yang minim emisi karbon. (LITBANG KOMPAS)