Tekanan Daya Beli Masyarakat di Tengah Lonjakan Inflasi
Daya beli masyarakat kian tertekan akibat inflasi yang kian melonjak. Bantuan pemerintah melalui skema perlindungan sosial menjadi salah satu jawaban di tengah turunnya pendapatan riil para pekerja.
Inflasi yang terus melaju menjadi ancaman bagi ketahanan ekonomi masyarakat. Komposisi pekerja informal yang kian mendominasi serta upah riil pekerja yang kian menurun membuat posisi masyarakat secara umum kian tertekan.
Baru saja menapaki tangga pemulihan, kini daya beli masyarakat kembali terguncang. Sebelumnya, daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, tergerus lantaran pandemi Covid-19 yang melanda dunia membuat pendapatan berkurang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata upah buruh turun sebesar 5,15 persen pada Agustus 2020.
Saat itu, efek kejut yang muncul akibat pandemi cukup besar. Pengurangan jam kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana akibat sepinya dunia usaha. Pembatasan aktivitas guna mencegah penularan virus berdampak pada penurunan permintaan yang berujung pada turunnya geliat industri. Pada periode yang sama, lebih dari 29 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi. Jumlah penganggur melonjak 37,6 persen menjadi 9,77 juta orang. Tak ayal, daya beli masyarakat pun terganggu.
Lesunya aktivitas ekonomi masyarakat saat itu salah satunya tergambar dari cukup rendahnya laju inflasi. Inflasi tinggi memang tidak baik bagi perekonomian. Namun, inflasi yang terlalu rendah juga mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi sedang tidak optimal.
Sejak Juli 2020, tingkat inflasi kurang dari 2 persen. Rata-rata laju inflasi hingga Desember 2021 hanya sebesar 1,56 persen. Padahal, pemerintah telah menetapkan target inflasi sebesar 3 ± 1 persen. Dengan kata lain, kondisi ideal terjadi jika inflasi berada pada kisaran 2-4 persen.
Inflasi melonjak
Setelah dua tahun melanda, kondisi ekonomi pun berangsur pulih seiring meredanya pandemi dan kembali tingginya mobilitas masyarakat. Meski masih cukup tinggi, angka pengangguran berkurang menjadi 8,4 juta orang pada Februari 2022. Tingkat upah pun perlahan naik menjadi Rp 2,89 juta per bulan. Sederet perbaikan itu kemudian membuat permintaan masyarakat kembali meningkat.
Inflasi kembali berada di kisaran target yang diharapkan setelah satu setengah tahun tidak sesuai ekspektasi yang diskenariokan. Pada Januari 2022, besaran inflasi mencapai 2,18 persen dan berlanjut merangkak secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya.
Sayangnya, inflasi itu terus meningkat hingga kembali keluar target yang direncanakan. Kali ini melebihi target pemerintah. Bulan Juni, laju inflasi tahunan melambung cukup tinggi, hingga mencapai 4,35 persen. Besaran ini merupakan yang tertinggi selama pandemi. Bahkan, jika dirunut ke belakang merupakan inflasi terbesar sejak Juni 2017.
Secara bulanan, inflasi bulan Juni mengalami lonjakan indeks harga konsumen sebesar 0,61 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, kelompok makanan, minuman, dan tembakau memberikan sumbangan paling besar pada inflasi, yakni 0,47 dari 0,61 inflasi bulanan. Cabai, bawang merah, ayam ras, tomat, dan kebutuhan pangan lain menjadi komoditas yang menyumbang inflasi.
Kenaikan harga beberapa komoditas tersebut lantaran produksi tidak optimal akibat cuaca yang tak menentu. Kenaikan harga pupuk dan pakan ternak juga disinyalir menjadi penyebab kenaikan harga.
Setelah makanan, kelompok transportasi menjadi penyumbang inflasi terbesar kedua. Hal ini tak lepas dari gejolak ekonomi global yang berimbas pada meningkatnya harga minyak dunia. Akibatnya, harga energi dalam negeri pun ikut mahal karena ketergantungan Indonesia akan minyak impor masih tinggi (net importer).
Pekerja informal
Kondisi tersebut kembali menekan daya beli masyarakat. Bagaimana tidak, kendati berangsur pulih, struktur ekonomi masyarakat belum sepenuhnya kuat. Apalagi, kini jumlah pekerja informal di Tanah Air kian mendominasi.
Pekerja formal mencakup status berusaha dengan dibantu buruh tetap atau karyawan. Contoh pekerja formal adalah pekerja di bidang jaminan sosial, administrasi pemerintahan, jasa pendidikan, dan penyediaan akomodasi. Sementara pekerja informal berstatus berusaha sendiri atau pekerja bebas di sejumlah bidang, seperti pertanian dan nonpertanian, pedagang kaki lima, tukang becak, pengojek daring, hingga buruh serabutan.
Merujuk data BPS, proporsi pekerja informal tahun 2022 hampir mencapai 60 persen. Sisanya, sekitar 40 persen adalah pekerja formal. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sejumlah perbaikan yang tengah dibenahi kembali berjalan mundur. Pasalnya, tahun 2019, proporsi pekerja formal sempat mencapai 44,12 persen.
Dengan banyaknya status pekerja informal, ada kemungkinan daya tahan ekonomi masyarakat relatif kurang kokoh. Rawan terhadap guncangan atau gejolak ekonomi lantaran pendapatan yang tidak pasti. Apalagi, beberapa waktu terakhir, pendapatan sesungguhnya yang mereka terima cenderung menurun.
Merujuk publikasi terbaru dari BPS, upah nominal harian buruh tani secara nasional naik sebesar 0,18 persen pada Juni 2022. Rata-rata upah nominal harian yang diterima buruh tani menjadi Rp 58.337, dari sebelumnya Rp 58.232 per hari. Hanya, upah riil buruh tani lebih rendah, yakni Rp 51.974 secara harian. Nilai yang lebih kecil itu justru mengalami penurunan 1,03 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Sebagai informasi, upah nominal merupakan rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa atas pekerjaan yang dilakukan. Adapun upah riil menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh.
Gambaran melemahnya daya beli kelompok masyarakat di bidang pertanian juga tampak dari semakin turunnya nilai tukar petani (NTP). Juni 2022, NTP hanya sebesar 105,96. Meski lebih tinggi daripada bulan sebelumnya, tren NTP tahun 2022 cenderung turun. Padahal, pada awal tahun, NTP sudah mampu menyentuh level di atas 108, bahkan menembus angka 109,29 pada bulan Maret.
Tak hanya oleh kalangan pekerja sektor pertanian, kelompok buruh bangunan pun merasakan hal yang sama. Upah nominal buruh bangunan (tukang, bukan mandor) pada Juni 2022 naik tipis, yakni 0,03 persen, sedangkan upah riil mereka merosot lebih dalam, sebesar 0,58 persen.
Kondisi tersebut membuat upah nominal dan upah riil kian berjarak. Bahkan, tren dari gap tersebut kian melebar. Upah nominal semakin naik, tetapi upah riil yang diterima cenderung menurun, setidaknya dalam satu tahun terakhir. Tampak bahwa kenaikan harga secara agregat yang kini tengah terjadi menekan daya beli masyarakat kalangan bawah.
Upah turun
Kendati pendapatan yang diterima lebih pasti, kelompok pekerja formal turut merasakan tekanan inflasi. Bagi kelompok pekerja atau buruh secara umum, upah yang diterima tergolong cukup rendah. Masih belum lepas dari tekanan pandemi, sistem pengupahan baru membuat kenaikan upah minimum relatif lebih kecil.
Tahun 2022, kenaikan upah minimum hanya sebesar 1,09 persen. Dengan tingkat inflasi yang terjadi saat ini, kenaikan upah tersebut tidak mampu untuk menopang semua kebutuhan yang telah dikonsumsi sebelumnya.
Meskipun terjadi kenaikan upah pada tahun 2022 ini, besarannya masih jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan pada masa sebelum pandemi. Tahun 2014, misalnya, kenaikan upah minimum pernah mencapai 22,2 persen. Bahkan, rata-rata kenaikan upah minimum sepanjang tahun 2012-2020 sebesar 12,15 persen.
Jauhnya perbedaan kenaikan upah tersebut lantaran pemerintah menggunakan sistem pengupahan yang berbeda. Tahun ini, pemerintah menggunakan rumus baru dalam menentukan upah minimum yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015. Perubahan skema ini tak lepas dari penerapan Undang-Undang Cipta Kerja.
Kini, uluran tangan pemerintah menjadi satu-satunya jalan agar daya beli masyarakat tidak kian tertekan. Alokasi subsidi energi sebagai shock absorber rasanya harus diimbangi dengan alokasi bantuan sosial yang memadai.
Untuk menjaga daya beli, bantuan sosial dapat diprioritaskan untuk masyarakat terbawah, seperti penduduk miskin. Menurut catatan BPS pada Maret 2022, masih terdapat 26,16 juta penduduk di Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kelompok rentan miskin pun dapat menjadi salah satu sasaran bantuan. Pasalnya, kendati jumlah penduduk miskin menurun dibandingkan September 2021, sekitar dua pertiga dari total penduduk Indonesia masih masuk kelompok rentan miskin.
Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 431,5 triliun dalam APBN 2022. Namun, hingga pertengahan tahun ini (semester I), realisasinya baru mencapai Rp 188,2 triliun. Dengan kata lain, serapannya belum mencapai separuh dari alokasi anggaran.
Mengingat tekanan harga global dan dalam negeri yang masih mengancam, percepatan penyaluran bantuan dalam beragam skema menjadi suatu keharusan. Upaya tersebut perlu segera dilakukan agar daya beli masyarakat tidak semakin tertekan, mengingat masyarakat sebagai konsumen yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. (LITBANG KOMPAS)