Di tengah segala keterbatasan, transpuan terus berjuang melangsungkan kehidupan dengan berbagai karya dan keterampilannya. Mereka hanya butuh diterima agar dapat menjalani hidup secara lebih baik.
Oleh
Yoesep budianto
·6 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Transpuan mengamen di warung-warung lesehan di bawah di bawah Jembatan Layang Janti, DI Yogyakarta, Rabu (20/7/2022) malam. Sebagian transpuan pengamen di Yogyakarta sudah berusia di atas 60 tahun.
Kehadiran transpuan di tengah masyarakat Indonesia telah berlangsung sejak lama. Hanya saja, hal ini tidak menjamin adanya penerimaan yang setara bagi mereka hingga kini. Di tengah segala keterbatasan, transpuan terus berjuang melangsungkan kehidupan dengan berbagai karya dan keterampilannya.
Mendefinisikan transpuan tidak sebatas melihat dari perubahan fisik, cara berpakaian, atau perilaku keseharian dari laki-laki ke perempuan. Setiap transpuan menyimpan harapan dan tekad untuk berkarya dengan keterampilannya tanpa merasa ada batasan pada penampilan fisiknya.
Hanya saja, secara umum dalam masyarakat Indonesia, adanya tampilan perbedaan antara identitas atau ekspresi jender dengan jenis kelamin yang dimiliki seseorang sejak lahir masih menjadi sesuatu yang tabu. Kondisi demikian mendorong munculnya sikap diskriminasi dan stigmatisasi terhadap transpuan. Banyak dari mereka yang mendapat hinaan dan kekerasan oleh orang lain, bahkan juga dari orang terdekatnya.
Bentuk diskriminasi terhadap transpuan sangat beragam dan berlangsung secara kontinu. Banyak dari kaum transpuan yang terpaksa putus sekolah dan tidak mendapatkan jaminan kesehatan dasar secara layak. Bahkan, sebagian dari mereka harus pergi dari tempat tinggalnya karena tidak ada perlindungan di kampung halamannya. Akibatnya, muncul ”diskriminasi” baru berupa pembatasan akses layanan kependudukan karena memang sebagian di antara mereka sulit mengurus identitas karena tidak memiliki bekal administrasi yang dibutuhkan.
Selain sejumlah diskriminasi tersebut, para transpuan juga rentan mengalami kekerasan dan stigmatisasi. Berdasarkan laporan penelitian Arus Pelangi tahun 2013, hampir sembilan dari 10 transpuan mengalami tindak kekerasan. Bentuknya berupa kekerasan psikis dan kekerasan seksual.
Banyaknya tekanan dan kekerasan yang dirasakan sejak perkembangan hidupnya membuat sebagian besar transpuan memiliki tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan yang rendah. Peluang putus sekolah transpuan terbilang tinggi sehingga kesempatan mendapatkan pekerjaan layak menjadi sangat minim. Hal ini berimbas pada rendahnya tingkat penghasilan dan terbatasnya akses layanan kesehatan. Singkatnya, transpuan lekat dengan kenestapaan dan kemiskinan. Kondisi ini menggambarkan betapa lemahnya posisi transpuan di dalam sistem sosial masyarakat Indonesia.
Meskipun demikian, banyaknya tekanan dan keterbatasan yang melingkupi kehidupan para transpuan nyatanya tak membuat mereka patah arang. Banyak dari mereka yang berjuang dan menembus batas sosial yang diciptakan untuk membatasi transpuan. Beberapa transpuan terus berupaya mengasah talentanya untuk dikembangkan demi kebaikan bersama, baik untuk kalangan transpuan maupun untuk masyarakat yang lebih luas lagi.
Langkah tersebut setidaknya untuk meningkatkan penerimaan transpuan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Merekonstruksi sistem sosial terkait penerimaan itu tidaklah mudah, tetapi masih memungkinkan untuk dibenahi. Apalagi, apabila dirunut secara kultur budaya, sebenarnya bangsa Indonesia cukup lekat dengan sosok transpuan. Banyak peninggalan sejarah yang menyebutkan peran sentral transpuan di masyarakat.
Dalam jurnal ”Konstruksi Masyarakat Jawa Kuno terhadap Transgender Perempuan pada Abad Ke-9-14 M” tahun 2021 menyebutkan, sedikitnya ada 17 prasasti yang memuat keberadaan dan peran transpuan. Mereka sering kali disebut sebagai ahli kesenian, penyanyi, dan ahli pengobatan.
Transpuan berperan
Ada sejumlah transpuan di Indonesia yang memiliki kiprah besar secara nasional. Salah satunya adalah Alegra Wolter yang berprofesi sebagai dokter. Di masa kecilnya, Alegra Wolter mengalami pengalaman dirundung hingga muncul depresi dan kejang. Perjuangan untuk mencapai pendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dokter itu merupakan proses panjang yang tidak mudah bagi Alegra.
Dikutip dari laman BBC, Alegra Wolter akan terus memperjuangkan sistem kesehatan di Indonesia agar lebih inklusif sehingga mampu menerima semua kelompok masyarakat. Dalam benaknya, ia memiliki impian agar para transjender bisa lebih nyaman untuk mengakses layanan kesehatan.
Selain Alegra Wolter yang berprofesi dokter, ada transpuan yang menekuni bidang industri kreatif di Indonesia, yaitu Dena Rachman. Setelah meninggalkan dunia tarik suara, Dena mulai menekuni bidang perancang busana dan model. Tak berhenti, dilansir dari akun pribadi Instagram @denarachman, ia memiliki wadah edukasi di Youtube yang dinamakan BEBI Talk yang membahas tentang transjender.
Transpuan lain yang memiliki sumbangsih dalam advokasi adalah Dania Joedodarmo yang aktif dengan nama akun Instagram @daniajoedo. Dania merupakan relawan kampanye di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, sekaligus personel band Tashoora.
Dilansir dari laman Kompas.id, Tashoora memiliki tujuan agar setiap lagu yang dibuat bersuara kritis melalui lirik-liriknya. Dilansir dari Youtube BEBI Talk, kiprah di dunia advokasi terbilang aktif. Dania sering ikut aktif dalam proses pendampingan hukum hingga ke kepolisian dan pengadilan.
Selain mereka bertiga, tentu saja ada banyak transpuan serupa di Indonesia yang mampu berkarya di level nasional hingga global. Hanya saja, sangat jarang yang terlihat ataupun terdengar karena minoritasnya kaum ini. Pada dasarnya, transpuan juga memiliki kemampuan berkarya yang imbang dengan masyarakat secara umum. Banyak sisi-sisi positif transpuan yang sebagian besar juga sudah diketahui khalayak.
Beberapa di antaranya terekam dari jajak pendapat Kompas pada awal Juli 2022. Sosok transpuan dianggap lebih dari separuh responden memiliki kepribadian riang, percaya diri, mandiri, tangguh, dan jiwa seni yang tinggi. Kerja keras transpuan untuk bertahan hidup dilihat oleh sedikitnya 65 persen responden sebagai sifat yang tangguh.
Bahkan, banyak stigma negatif yang ditujukan kepada transpuan ditolak masyarakat. Lebih dari 70 persen responden tidak setuju apabila transpuan disebut pembawa bencana. Berikutnya, sekitar 52 persen responden juga menolak jika transpuan menjadi perusak moral dan penyebar penyakit menular seksual.
Sayangnya, persepsi yang cenderung positif tersebut belum diimbangi penerimaan oleh keluarga. Berdasarkan laporan Profil Waria tahun 2018, lebih dari separuh transpuan memilih tinggal di kontrakan atau kos atau rumah sewa. Mereka memilih berjarak dengan keluarganya.
Masih minimnya penerimaan terutama dari keluarga terdekat mendorong transpuan pada jurang keterbatasan. Mereka tidak mampu menuntaskan pendidikan dasar dan berakhir dengan tertutupnya akses pekerjaan yang layak. Dengan sangat terpaksa, sebagaian dari mereka memilih turun ke ”jalanan” demi mencukupi hidup sehari-hari.
Ingin diterima
Sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat di Indonesia, transpuan berhak mendapatkan hak-hak dasarnya. Sebenarnya transpuan memiliki banyak harapan, tetapi yang paling diinginkan adalah penerimaan. Berdasarkan hasil survei Kompas pada akhir Juli 2022, harapan untuk penerimaan di semua aspek menjadi poin tertinggi.
Harapan berikutnya adalah keinginan untuk lepas dari diskriminasi dan stigmatisasi oleh masyarakat. Sedikitnya ada 86 persen responden transpuan yang mengaku pernah mengalami diskriminasi. Tentu saja perilaku buruk ini akan semakin memarjinalkan golongan transpuan.
Transpuan sangat menginginkan penerimaan luas oleh masyarakat. Apabila penerimaan telah didapatkan, progresivitas berkarya dan berusaha secara positif kaum transpuan relatif akan semakin baik. Kaitan antara penerimaan dan kemampuan berkarya terbilang erat sebab, saat seseorang merasa aman dan nyaman, ide dan eksekusi dapat dilakukan dengan fokus tanpa ada ketakutan dan kekhawatiran.
Problematika transpuan di Indonesia membutuhkan banyak kajian mendalam. Mulai dari pengenalan diri sendiri hingga rekonstruksi sistem sosial yang lebih terbuka dengan kelompok mereka. Ruang hidup untuk berkarya sudah sepatutnya diberikan secara optimal karena transpuan adalah individu yang juga memiliki potensi bakat yang tidak kalah dengan masyarakat pada umumnya. (LITBANG KOMPAS)