Sembari bertahan hidup serta menghadapi stigma, diskriminasi, hingga perlakuan buruk, para transpuan sangat berharap mereka diterima dan menerima hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·6 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sejumlah transpuan berdiri di pinggir jalan di kawasan Klender, Jakarta Timur, Sabtu (23/7/2022) dini hari. Sejumlah transpuan kerap mejeng di sini untuk menjajakan diri.
Tidak mudah menjalani kehidupan sebagai transpuan. Survei Litbang Kompas pada kelompok minoritas ini mengungkap bahwa kurangnya penerimaan, diskriminasi, hingga kesulitan ekonomi menjadi tantangan terberat hidup mereka. Besar harapan para transpuan agar mereka diterima dan mendapatkan perlakuan serta hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.
Adalah keputusan yang sangat besar ketika seseorang memutuskan dan mengubah jalan hidupnya menjadi transpuan. Para transpuan yang mengubah identitas diri dari laki-laki menjadi perempuan ini sadar bahwa ada konsekuensi besar menanti saat mereka mengambil keputusan itu.
Apalagi, sebagian besar dari para transpuan ini harus menghadapi pergolakan batin sejak usia muda. Mereka menganggap dirinya memiliki identitas yang berbeda dari kondisi biologisnya, tetapi sekaligus memiliki rasa takut atau malu mengungkapkannya kepada orang-orang di sekitar.
Survei yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 76 responden transpuan di 11 provinsi di Indonesia menunjukkan, 94,7 persen responden menyadari adanya perbedaan ekspresi jender pada dirinya pada usia kurang dari 18 tahun. Hanya, yang berani berterus terang jauh lebih sedikit. Hanya 65,8 persen responden yang mengungkapkan identitas dirinya adalah transpuan ketika berusia kurang dari 18 tahun.
Sejak saat itulah, dengan identitas barunya, mereka menjadi kurang diterima keluarga hingga masyarakat. Orang-rang terdekat, seperti keluarga, saudara, ataupun kerabat, kurang menerima keberadaan mereka. Hal ini diungkapan oleh sekitar 32 responden transpuan. Bahkan, ada 14,5 persen responden lainnya yang benar-benar tidak diterima oleh keluarga dengan identitas barunya itu.
Di lingkup lebih luas lagi, yakni komunitas masyarakat, penerimaan terhadap transpuan semakin rendah lagi. Sebanyak 51,4 persen responden mengaku masyarakat kurang menerima keberadaan mereka. Bahkan, empat dari sepuluh responden merasa bahwa masyarakat tidak menerima keberadaannya sama sekali.
Menurut responden yang rata-rata sudah menjalani hidup sebagai transpuan selama puluhan tahun itu, hal tersebut merupakan kendala terberat yang harus mereka hadapi.
Mereka menyadari, hal itulah yang harus dihadapi demi hidup puas dan tenang atas pilihan hidupnya menjadi seorang transpuan.
Seperti digambarkan dalam hasil Survei Arus Pelangi pada 2013 terhadap 119 transjender waria, 75,7 persen merasa puas atas hidupnya saat ini. Kepuasan hidup itu mereka rasakan berkaitan dengan keberhasilan mereka menemukan dan menjalani hidup sesuai dengan identitas diri mereka yang sebenarnya.
Meski demikian, kepuasan hidup itu juga diliputi dengan keresahan dan pergolakan batin ataupun fisik yang harus mereka hadapi sepanjang hidup. Dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya menimbulkan beragam stigma, sikap, dan penerimaan yang sering kali membuat transpuan tersingkirkan. Hal ini menjadi tantangan hidup sehari-hari kelompok transpuan itu di hampir sepanjang masa hidupnya.
Tantangan keseharian
Terkait stigma negatif, survei Litbang Kompas menemukan, sebanyak 86,8 persen responden transpuan memiliki pengalaman penilaian buruk dari masyarakat. Cap buruk di sekitar lingkungan transpuan sering kali tidak logis dan dibuat-buat seolah hanya untuk menyalahkan pilihan hidup mereka. Misalnya, seperti tuduhan sebagai pembawa bencana, pembawa sial, hingga aib masyarakat.
Selain stigma buruk itu, sejumlah perlakuan diskriminasi juga kerap mereka hadapi. Tujuh dari sepuluh responden mengaku pernah mendapatkan perlakuan tersebut, baik itu di lingkungan tempat tinggal maupun di sektor pelayanan atau fasilitas publik. Di lingkungan tempat tinggal, mereka acap kali dikucilkan dan bahkan diusir. Di layanan publik, transpuan sering kali tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan masyarakat pada umumnya.
Tidak cukup itu saja, perlakuan buruk kaum transpuan juga menjalar hingga tindak kekerasan. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga seksual. Mayoritas responden transpuan atau hampir 70 persen menyatakan pernah mengalami sejumlah tindak kekerasan itu.
Semua perlakuan itu bermula dari kurangnya tingkat penerimaan bagi transpuan. Hal tersebut kemudian menjalar menjadi permasalahan lain. Penolakan dari lingkungan keluarga dan tempat asal, misalnya, membuat mereka pergi dari rumah di usia muda. Otomatis pendidikan mereka terhenti sehingga modal keterampilan yang dimiliki masih sangat minim.
Alhasil, sebagian dari mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Ditambah dengan segenap penilaian buruk yang tertuju kepadanya, kaum transpuan ini menghadapi berbagai tantangan berat dalam menjalani kehidupan ini. Mereka sulit mengakses sektor-sektor formal yang menawarkan kesejahteraan lebih baik. Dengan sangat terpaksa, para transpuan ini menyambung hidup dengan bekerja di sektor informal, seperti usaha salon, berdagang, mengamen, hingga menjadi pekerja seks komersial.
Usaha-usaha itu umumnya menghasilkan pendapatan yang tidak menentu dan tergolong rendah. Selain itu, pekerjaan tersebut juga berisiko tinggi. Pengamen atau pekerja seks, misalnya, rentan mengalami gangguan kesehatan dan berpotensi terpapar penyakit menular berbahaya. Belum lagi harus sering bersitegang dengan razia satuan polisi PP dan adanya gangguan preman.
Berbagai penilaian buruk dan kesulitan tersebut kian bertambah berat bebannya ketika sejumlah hak sebagai warga negara Indonesia sulit diperoleh. Transpuan sering kali tidak mendapatkan hak dan akses yang sama pada fasilitas publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan keagamaan. Masih ada bentuk perlakuan berbeda dan penolakan dari aparatur ataupun orang-orang yang melayani mereka.
Hingga saat ini, para transpuan harus bertahan dari tindak represif yang membuat mereka tidak bebas bergerak dan berekspresi. Ekspresi yang dimaksud berkaitan dengan penampilan dan kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari. Hal ini juga dialami komunitas transpuan dan lembaga atau organisasi yang menyuarakan isu transpuan.
Harapan transpuan
Berbagai kendala tersebut mau tidak mau harus dihadapi transpuan. Tidak banyak hal yang dapat dilakukan untuk dapat mengatasi semua tantangan itu. Namun, transpuan akan terus berupaya dan berjuang untuk dapat diterima di masyarakat.
Memupuk semangat dari kepuasan batin atas kebebasan mengekspresikan identitas diri yang sesungguhnya menjadi cara mereka bertahan hidup. Bergabung bersama komunitas dan hidup saling menguatkan sesama transpuan juga menjadi upaya mereka menghadapi tekanan lingkungan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Riri dan Betty (depan), transpuan yang memilih berprofesi sebagai pekerja seks komersial, berangkat ke lokasi mangkal dari tempat kos mereka di kawasan Jatinegara Kaum, Jakarta, Jumat (22/7/2022). Kehidupan sebagian transpuan erat dengan dunia malam. Beberapa dari mereka akhirnya positif HIV dan harus mengonsumsi obat seumur hidup, sementara yang lainnya meninggal.
Inilah yang menjadi semangat Betty (46), seorang transpuan asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang sudah lama merantau ke Jakarta. Betty menjadi petugas lapangan berbagai proyek pencegahan dan penanganan HIV/AIDS dari sejumlah lembaga, seperti UNAIDS.
Ia bertugas mengajak dan mengingatkan teman-teman sesama transpuan, terutama yang bekerja sebagai pekerja seks, untuk rutin meminum obat HIV dan memeriksakan kesehatannya ke fasilitas kesehatan. Tidak jarang pula ia memberikan edukasi dan mengingatkan teman-temannya untuk berpenampilan dan bersikap sopan kepada masyarakat agar mereka tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi.
Menurut dia, layanan kesehatan khususnya yang menangani HIV/AIDS sudah semakin baik. Memang pada awalnya ada perlakuan kurang baik dari petugas layanan kesehatan. Namun, dengan adanya dukungan dari lembaga dan komunitas, sistem layanan dan penerimaan terhadap transpuan di fasilitas kesehatan, khususnya bagian penanganan HIV/AIDS, semakin baik.
Penerimaan dan kesetaraan hak sebagai manusia serta warga negara adalah keinginan yang sangat diharapkan para transpuan. Hal ini setidaknya menjadi harapan sekitar 60 persen responden transpuan. Tidaklah berlebihan jika mereka mengharapkan hal tersebut mengingat beratnya tantangan yang harus mereka hadapi sehari-hari.
Transpuan hanya butuh diterima di lingkungan layaknya warga masyarakat lain, tanpa adanya stigma, diskriminasi, dan perlakuan negatif. Dengan penerimaan itu, mereka berharap hal tersebut berlanjut pada persamaan pemenuhan hak sebagai manusia dan warga negara Indonesia. Meskipun berbeda, itulah diri mereka, para transpuan yang juga layak hidup aman dan sejahtera di bumi pertiwi ini. (LITBANG KOMPAS)