Membuka Ruang Penerimaan Transpuan
Sebagai kelompok yang dianggap berbeda dengan masyarakat pada umumnya, transpuan harus hidup berdampingan dengan stigma dan penerimaan yang beragam.
Keberadaan transpuan yang dinilai berbeda dari masyarakat pada umumnya menghadirkan ragam penerimaan di kalangan masyarakat. Alih-alih menerima, stigma hingga diskriminasi justru sering dialamatkan kepada kelompok marginal yang juga disebut waria itu.
Tindakan tersebut tak lepas dari masih beredarnya narasi bahwa transpuan adalah aib dan kelompok menyimpang yang dapat mendatangkan malapetaka. Hal tersebut tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas pada 5-7 Juli 2022.
Enam dari 10 responden mengungkapkan bahwa transpuan adalah orang yang menyimpang atau mengalami gangguan mental. Narasi negatif lain adalah perusak moral dan penyebar penyakit menular.
Namun, tidak semua persepsi yang muncul adalah narasi negatif. Sebagian responden mulai melihat keberadaan transpuan dalam konteks yang lebih rasional. Misalnya terkait anggapan transpuan sebagai pembawa bencana. Walau masih ada 30 persen responden yang meyakininya, temuan jajak pendapat memperlihatkan sisi kelompok respoden yang lebih besar justru menampik anggapan tersebut.
Persepsi ini tidak dapat dilepaskan dari aspek ilmiah bahwa fenomena alam, seperti bencana, sangat mungkin terjadi di Indonesia lantaran letak geografis Indonesia diimpit tiga lempeng benua dan berada di jalur cincin api. Demikian pula dengan anggapan transpuan sebagai orang dengan gangguan mental.
Sebagian responden (40,2 persen) mulai mengikis anggapan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah menghapus istilah tersebut pada Mei 2019. WHO kemudian mengklasifikasikannya sebagai ”ketidaksesuaian jender”. Klasifikasi ulang ini dimaksudkan untuk mengurangi stigma yang kerap ditujukan kepada transpuan.
Dua pertiga responden bahkan mengapresiasi ketangguhan dan kemandirian para transpuan di tengah minimnya penerimaan masyarakat. Enam puluh persen dari mereka juga menilai transpuan sebagai sosok dengan kepribadian periang.
Ragam penerimaan
Sejumlah persepsi tersebut pada akhirnya menghadirkan respons beragam dari masyarakat. Narasi negatif yang masih beredar di kalangan masyarakat membuat kelompok terbesar responden (46,8 persen) melabeli transpuan dengan citra buruk. Hanya 6,6 persen responden yang secara gamblang menyatakan citra transpuan adalah baik dan separuh responden lainnya lagi (45,2 persen) memilih bersikap netral.
Pada akhirnya, pilihan-pilihan respons demikian turut menghadirkan ragam penerimaan dari masyarakat. Sebagian menerima dan sebagian lainnya masih menolak.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa penolakan terhadap transpuan sudah muncul dari lingkup keluarga. Penolakan terjadi lantaran banyak keluarga tidak siap menerima ”perbedaan” yang melekat pada diri transpuan.
Hal itu juga terekam dalam jajak pendapat Kompas. Sekitar dua pertiga responden mengaku tidak menerima jika ada salah satu anggota keluarganya menjadi transpuan.
Merujuk buku Profil Waria yang disusun Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2020, keluarga mengharapkan anggotanya berperilaku sebagaimana jenis kelaminnya. Namun, dalam kenyataan, terdapat keberagaman ekspresi pada individu tertentu yang berbeda dengan jenis kelaminnya.
Penolakan itu tak jarang membuat transpuan enggan tinggal bersama keluarga mereka. Survei yang dilakukan Kompas melalui media daring 12-21 Juli 2022 menemukan, enam dari 10 responden transpuan lebih memilih tinggal di rumah sewa atau tempat kos hingga menumpang di rumah saudara atau teman.
Namun, kehadiran mereka di ruang-ruang yang lebih terbuka, yakni di tengah-tengah masyarakat, juga mendapat penerimaan beragam. Masih terdapat kelompok masyarakat yang enggan hidup berdampingan dengan transpuan.
Kendati demikian, bukan berarti semua orang menutup diri. Tiga dari 10 responden jajak pendapat mengaku bersedia tinggal di lingkungan yang sama dengan transpuan. Bahkan, kelompok milenial muda paling mendominasi. Mereka juga cukup vokal menerima transpuan sebagai rekan kerja. Hal itu ibarat membawa angin segar lantaran ada peluang keterbukaan dan penerimaan terhadap transpuan di masa mendatang.
Tak hanya dari sisi usia, perbedaan level pendidikan pun turut menentukan penerimaan masyarakat terhadap transpuan. Menurut hasil jajak pendapat, responden dengan level pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat penerimaan yang lebih tinggi pula pada transpuan.
Enam dari 10 responden dengan level pendidikan tinggi bersedia untuk bergaul dan bekerja bersama transpuan. Untuk level pendidikan rendah, hanya empat dari 10 responden yang bersedia berteman dan memiliki rekan kerja transpuan.
Timbal balik
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan yang lebih tinggi membuat wawasan lebih luas. Salah satunya terkait keberagaman jender. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin sistem pendidikan turut menghadirkan pemahaman dan penerimaan terkait keberagaman itu.
Apalagi, kini, dunia mulai lebih terbuka dengan isu keberagaman jender. Mengutip majalah National Geographic edisi Januari 2017 bertajuk ”Gender Revolution”, sebuah aplikasi kencan Tinder memperluas identifikasi jender hingga 40 pilihan. Sementara itu, Facebook menawarkan lebih banyak, yakni 50 pilihan.
Tanpa perlu menggali terlalu jauh, setidaknya tampak bahwa perbedaan pengetahuan tentang ketidaksesuaian ekspresi jender dengan pembagian dua jenis kelamin itu mengemuka secara nyata. Harapannya, pemahaman yang lebih luas dapat membuka ruang penerimaan, salah satunya terhadap transpuan. Stigma hingga aksi-aksi diskriminasi yang hingga kini masih sering terjadi pun dapat diminimalkan di kemudian hari.
Upaya untuk menghadirkan penerimaan pun tak serta-merta hanya menjadi tugas masyarakat, tetapi juga diharapkan hadir dari diri transpuan. Membuka diri dengan lebih jujur dibarengi dengan sikap hormat-menghormati dari transpuan bukan tidak mungkin akan membuka ruang penerimaan di kalangan masyarakat.
Seperti yang diungkapkan Lenny, Ketua Yayasan Transpuan Srikandi Sejati, dalam diskusi bersama Kompas pada 14 Juli 2022. Ia tak pernah berhenti menasihati para transpuan untuk bersikap sopan saat berada di tengah masyarakat, baik dari ucapan, penampilan, maupun tindakan.
Jika dilengkapi dengan keterampilan, bisa jadi penerimaan masyarakat terhadap transpuan akan lebih baik. Dengan penerimaan ini, diharapkan transpuan lebih berpeluang mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan. Apa pun preferensi pilihan hidupnya, transpuan adalah bagian dari masyarakat dengan hak dan kesempatan yang sama sebagai manusia. (LITBANG KOMPAS)