Keluarga Menjadi Fondasi Penting Kesejahteraan Transpuan
Penerimaan keluarga menjadi aspek penting bagi transpuan dalam menjalani kehidupan. Profil waria yang mendapat dukungan keluarga memiliki kondisi relatif lebih baik sehingga diterima banyak pihak.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·6 menit baca
Sikap dan penerimaan keluarga menjadi faktor terpenting dalam menentukan tingkat kesejahteraan dan kehidupan sosial kaum transpuan di masa mendatang. Keluarga menjadi andalan para transpuan ketika harus hidup di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya menerima keberadaannya.
Keluarga merupakan institusi terkecil dalam pranata kehidupan bermasyarakat yang berperan penting membentuk kepribadian tiap individu. Harapannya, institusi keluarga mampu melahirkan pribadi-pribadi yang unggul, mandiri, serta tangguh sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi semua anggota keluarganya. Untuk dapat mencapai tujuan itu, diperlukan kualitas kehidupan keluarga yang baik sehingga mampu menghasilkan anak keturunan bermutu unggul.
Konsep ketahanan keluarga menjadi salah satu pedoman dasar untuk mengetahui hal yang dibutuhkan guna menciptakan suatu keluarga yang kokoh. Dikutip dari publikasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berjudul ”Pembangunan Ketahanan Keluarga (2016) didapati paparan tentang keluarga tangguh.
Ketahanan keluarga dapat dimaknai sebagai suatu kondisi keluarga yang memiliki keuletan, ketangguhan, serta kemampuan fisik atau kesehatan jasmani, modal materil, serta kesehatan mental untuk dapat hidup secara mandiri. Selain itu, dapat dimaknai juga sebagai kemampuan keluarga mengembangkan dirinya untuk dapat hidup secara harmonis, sejahtera, dan bahagia di tengah masyarakat.
Untuk mewujudkan pengembangan diri tersebut, setiap keluarga memiliki tantangan yang beragam. Salah satu ujian yang dapat dikatakan cukup berat dan unik yang dihadapi oleh sebuah keluarga adalah ketika ada anggota keluarga yang mengalami disforia jender.
Disforia merupakan kondisi seseorang yang mengalami kegelisahan atau ketidakpuasan yang mendalam terhadap dirinya sendiri. Secara khusus, orang yang mengalami disforia jender berada pada keadaan tidak nyaman berada di dalam tubuhnya.
Baik laki-laki maupun perempuan dapat mengalaminya. Seorang laki-laki, misalnya, merasa dirinya memiliki kejiwaan yang feminin sehingga merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Disforia jender yang dialami oleh lelaki mendorongnya untuk bertransformasi menjadi transpuan atau umum disebut sebagai waria.
Keberadaan transpuan dalam suatu keluarga disikapi secara beragam. Ada yang mau menerima, ada juga yang menolak, bahkan hingga mengusirnya dari rumah. Keberagaman sikap keluarga terhadap transpuan ini salah satunya dipengaruhi oleh nilai dan budaya yang hidup di masyarakat setempat. Ada sistem sosial budaya masyarakat yang menempatkan transpuan sebagai pribadi yang diperhitungkan, tetapi ada pula yang justru memarjinalkan mereka.
Tantangan berat akan dihadapi oleh keluarga yang berada di tengah masyarakat yang bersikap menolak transpuan. Di sinilah ketahanan keluarga diuji dalam mewujudkan keharmonisan di tengah masyarakat. Bagaimanapun, seorang transpuan membutuhkan penopang supaya dalam proses tumbuh kembangnya dapat menjadi pribadi yang mandiri dan berdaya.
Penerimaan keluarga
Potret kondisi penerimaan keluarga terhadap waria pernah diteliti oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indoensia (PKBI) pada 2018. Survei dilakukan terhadap 96 responden waria yang tinggal di delapan provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Dari survei tersebut didapati bahwa 65 persen responden mengaku mendapat penerimaan dari keluarga. Namun, masih ada 18 persen responden yang tidak diterima. Khusus bagi keluarga yang menerima, terdapat dikotomi dalam menyikapi cara transpuan berpakaian perempuan dalam kesehariannya.
Hasil survei mengungkap bahwa 84 persen transpuan mengaku diterima di keluarga dengan berpakaian selayaknya perempuan. Sisanya, sekitar 16 persen transpuan lainnya dilarang mengenakan pakaian perempuan.
Temuan riset dari PKBI itu dapat dimaknai bahwa sebagian besar transpuan dapat diterima secara terbuka oleh keluarga mereka. Tingginya sikap penerimaan ini ditandai dengan tersedianya ruang berekspresi, yakni diperbolehkan mengenakan pakaian wanita. Sikap penerimaan itu sangat berarti bagi tanspuan karena kebebasan berekspresi dapat menumbuhkan sikap percaya diri dalam melakoni pilihannya dengan dukungan dari keluarga.
Tumbuhnya sikap percaya diri dalam pribadi transpuan itu mampu menangkal beragam persoalan yang berisiko bagi mereka. Salah satu risiko yang mengintai kehidupan waria adalah kondisi depresi yang memunculkan keinginan untuk bunuh diri.
Temuan dari PKBI mengungkap bahwa faktor dominan penyulut keinginan bunuh diri justru datang dari keluarga yang menuntut transpuan untuk menjadi laki-laki sejati. Sekitar 37 persen responden menyatakan hal ini. Penyebab berikutnya yang menuntun untuk bunuh diri adalah faktor kesulitan ekonomi dan tekanan dari sikap masyarakat, yang masing-masing diungkapkan oleh 27 persen responden.
Apabila sejumlah tekanan tersebut dapat diatasi, terutama yang berasal dari tuntutan keluarga, bisa jadi hal itu dapat mengurangi tekanan dari aspek ekonomi dan stigma negatif di masa mendatang. Dukungan keluarga bagi transpuan akan memunculkan kemandirian dan juga daya saing di masa depan. Setidaknya transpuan memiliki pendidikan yang baik sehingga mampu memiliki pekerjaan atau usaha yang mapan sehingga tidak didiskreditkan oleh masyarakat sekitarnya.
Sayangnya, sebagian dari transpuan yang mengalami penolakan dari keluarga harus berjuang lebih gigih untuk mampu bertahan hidup. Kesulitan ekonomi sering kali mendesak transpuan untuk bekerja di sektor yang berisiko tinggi, salah satunya sebagai pekerja seks komersial. Padahal, kondisi ini dapat ditekan apabila sosok transpuan bisa tinggal dan diterima dalam keluarga intinya.
Dukungan keluarga
Merujuk dari hasil penelitian PKBI, bisa dilihat bahwa penerimaan dan dukungan keluarga terhadap sosok transpuan merupakan aspek kunci. Profil para waria yang dalam fase kehidupannya mendapat sokongan dari keluarga menunjukkan kondisi yang dapat dikatakan baik sehingga mampu berkembang dan hidup mandiri.
Sebagai contoh, terdapat 63 persen transpuan yang diterima oleh keluarganya dan tidak mengalami pemaksaan untuk menjadi laki-laki. Selain itu, 84 persen responden diterima dengan cara berpakaian ala perempuan oleh keluarga mereka. Artinya, cukup banyak keluarga transpuan di Indonesia yang mau menerima secara jasmani (penampilan) serta rohani (kejiwaan) anggota keluarganya yang terindikasi waria.
Hikmah lain yang didapatkan oleh transpuan dari dukungan keluarga adalah tingkat pendapatan yang relatif baik. Dari kalangan waria yang diterima oleh keluarganya, terdapat 75 persen yang berpenghasilan lebih dari Rp 1 juta tiap bulan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa pandangan masyarakat saat ini masih didominasi oleh sistem jender biner, yakni hanya mengakui keberadaan jender laki-laki dan perempuan. Kehadiran kaum transpuan atau waria merupakan fakta yang harus disikapi dengan bijaksana untuk menciptakan lingkungan sosial yang inklusif.
Transpuan di tengah masyarakat merupakan wujud dari keberagaman jender yang barangkali masih asing bagi sebagian orang. Sebagian besar masyarakat tampaknya masih belum dapat menerima keberadaan transpuan. Namun, ada sebagian budaya masyarakat di Indonesia yang terbuka menerima para waria, bahkan menempatkannya sebagai tokoh penting. Salah satu contohnya di masyarakat Bugis. Transjender memangku peran sebagai bissu yang menjadi tokoh sentral dalam upacara keagamaan serta adat budaya.
Ketika kaum transpuan diterima dalam keluarga, bahkan diberi kepercayaan dalam strata sosial masyarakat, nyatanya mereka juga dapat berkiprah secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, penerimaan oleh keluarga dan masyarakat menjadi kunci penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan masa depan transpuan. (LITBANG KOMPAS)