Menyelisik Sisi Lain Transfer Pemain Sepak Bola
Selama satu dekade, SL Benfica asal Portugal menjadi tim yang mendapat paling banyak keuntungan dari transfer pemain. Faktor geopolitik, prestise klub, dan lingkaran setan bisnis sepak bola menjadi alasannya.
Situasi perang Rusia-Ukraina yang berimbas pada inflasi besar di sejumlah negara saat ini tampaknya tidak memengaruhi bisnis transfer pemain sepak bola. Ketika musim transfer pemain tiba, perhatian penggemar sepak bola biasanya tertuju pada tim-tim besar. Padahal, lampu sorot seharusnya diarahkan ke SL Benfica, klub paling untung dalam transfer pemain selama satu dekade.
Jendela transfer (transfer window) dilakukan pada dua periode, yakni musim panas saat berakhirnya kompetisi dan musim dingin saat di tengah kompetisi liga sepak bola. Durasi pada dua periode transfer ini pun berbeda, 12 pekan pada musim panas dan empat pekan pada musim dingin. Istilah transfer window ini merupakan bahasa media massa untuk menyebut masa registrasi pemain sepak bola di sebuah klub.
Rekor transfer pemain tertinggi hingga saat ini masih dipegang Paris Saint Germain (PSG) yang membeli Neymar dari Barcelona FC seharga 222 juta euro pada musim 2017/2018. Efek domino transfer pemain pun terjadi.
Pada musim berikutnya Barcelona membeli Philippe Coutinho dari Liverpool dan Ousmane Dembele dari PSG. Selanjutnya, Liverpool menggunakan hasil penjualan itu untuk merekrut Van Dijk dan Allison Becker. Artinya, satu atau dua transfer pemain pada dasarnya berimbas pada aktivitas transfer pemain lainnya juga.
Selama kurun satu dekade (musim 2011/2012 hingga musim 2021/2022), secara teknis Chelsea menjadi klub yang memiliki paling banyak pendapatan dari transfer antarpemain. Klub asal Inggris ini mencetak angka pendapatan hingga 1,09 miliar euro atau sekitar Rp 16,6 triliun dengan perhitungan kurs saat ini. Selama 10 tahun tersebut, Chelsea telah mendatangkan 339 pemain dengan mengeluarkan 342 pemain dari klubnya.
Dari segi pengeluaran biaya untuk transfer pemain, klub-klub papan atas Liga Eropa memang juaranya. Lima dari sepuluh klub dengan pengeluaran terbesar berasal dari Liga Inggris, yakni Manchester City, Chelsea FC, Manchester United, Liverpool FC, dan Arsenal FC. Di antara nama-nama itu, Manchester City menjadi klub paling boros untuk transfer pemain dengan total pengeluaran 1,66 miliar euro dan hanya memperoleh pendapatan 610 juta euro.
Namun, pada periode yang sama, predikat klub tersukses dalam bisnis transfer pemain justru dipegang oleh SL Benfica. Klub asal Portugal ini mencatatkan pendapatan sebesar 1,06 miliar euro atau setara Rp 16,2 triliun dengan total keuntungan 584 juta euro atau setara Rp 8,9 triliun.
Uniknya, dalam bursa transfer itu tidak ada klub papan atas Eropa yang berada di antara daftar sepuluh besar klub dengan keuntungan transfer pemain tertinggi. Nama-nama klub seperti FC Porto, Ajax Amsterdam, LOSC Lille, dan Red Bull Salzburg justru berada di daftar ini. Pertanyaannya, mengapa terjadi demikian?
Geopolitik
Di telinga penggemar sepak bola, nama SL Benfica pernah mencapai masa-masa keemasan untuk prestasinya. Klub berusia 118 tahun ini pernah meraih dua trofi Liga Champions Eropa, 37 trofi Liga Portugal, dan 26 trofi Piala Portugal. Di era saat ini, fokus SL Benfica tidak melulu soal prestasi klub, tetapi juga dalam hal perekrutan dan penjualan pemain yang mendatangkan keuntungan besar.
Kedatangan terbesar pemain-pemain SL Benfica berasal dari Brasil, negara dengan kultur sepak bola paling kuat sedunia. Para pesepak bola, baik amatir maupun profesional, memiliki mimpi yang sama, yakni bermain di liga-liga top Eropa. Untuk mewujudkan impian itu, Portugal menjadi destinasi yang diharapkan menjadi batu loncatan awal para pemain muda Brasil untuk merintis karier sepak bolanya.
Brasil dan Portugal memiliki perjalanan sejarah yang rumit di masa lalu dan meninggalkan kekerabatannya di masa sekarang. Kolonisasi Portugis di Brasil (1500-1822) telah menjadikan Brasil sebagai pusat perdagangan bagi Portugis. Kala itu, Portugis mendatangkan para budak dari Afrika ke Brasil sambil mengambil emas, gula, kayu, dan permata untuk dijual ke seluruh Eropa.
Portugal memang menjadi destinasi yang cocok bagi orang-orang Brasil berkat kesamaan bahasa, kultur, dan iklim yang tidak jauh berbeda. Apalagi, sebagai bentuk ”balas budi”, Pemerintah Portugal memberikan banyak kemudahan bagi imigran asal Brasil hingga saat ini. Mudah untuk bekerja, menetap dalam waktu lama, hingga beralih kewarganegaraan. Terkait dengan sepak bola, pada musim 2021/2022 sebanyak 38,5 persen pesepak bola profesional yang bermain di klub-klub Portugal berasal dari Brasil.
SL Benfica memanfaatkan faktor geopolitik tersebut untuk membidik (scouting) para pemain muda berbakat. Direkrut dengan harga rendah, dilatih, dimainkan dalam pertandingan, lalu dijualnya dengan harga tinggi ke klub-klub papan atas Eropa.
Salah satu contohnya adalah David Luiz dan Ramires yang direkrut sejak belia pada kurun 2007 dan 2009, lalu dijual ke Chelsea pada tahun 2009 dan 2010, dengan total keuntungan 40 juta euro.
Kelihaian SL Benfica di bisnis transfer pemain itu juga turut didukung oleh sehatnya perkembangan sepak bola di Portugal dengan fasilitas dan kemudahan legalitas. Incaran SL Benfica bukan hanya para pemain asing, melainkan juga pemain-pemain muda domestik yang berbakat. Misalnya, bek tengah Ruben Diaz, gelandang tengah Bernardo Silva dan Renato Sanches, serta penyerang Joao Felix yang semuanya pernah berseragam SL Benfica dan kini bermain di klub ternama Eropa.
Faktor prestise klub-klub atas Eropa juga dimanfaatkan oleh SL Benfica. Jika kembali mencermati rekapitulasi satu dekade bisnis transfer, Liga Inggris menjadi kompetisi yang mengeluarkan paling banyak biaya untuk membeli pemain. Persaingan ketat antarklub di Liga Inggris bukan hanya soal prestasi, melainkan juga upaya untuk mempertahankan sekaligus merebut basis penggemar, penjualan merchandise, hak siar pertandingan, dan tentu saja pihak sponsor.
Isu lain yang turut memuluskan bisnis transfer pemain SL Benfica adalah media massa Inggris yang sering memuji-muji pemain asal Inggris yang bermain di Premiere League melalui kekuatan pemberitaan dan media sosial. Imbasnya, harga jual pemain melambung tinggi dan bahkan melebihi performanya di lapangan. Harga pemain yang tinggi ini akhirnya merusak ”harga pasaran” dan berimbas pada besarnya biaya transaksi antarklub.
Prestise klub-klub Inggris tersebut menjadi peluang tersendiri untuk dimanfaatkan SL Benfica. Misalnya, pada 2015, kiper Ederson Santana de Moraes (Brasil) dibeli oleh SL Benfica dari Rio Ave FC, (klub papan bawah Portugal) hanya seharga 500.000 euro. Selang dua tahun kemudian, SL Benfica menjual Ederson ke Manchester City dengan harga fantastis 40 juta euro.
Lingkaran setan transfer
Kesuksesan bisnis transfer SL Benfica tersebut berbanding terbalik dengan raihan prestasinya. SL Benfica kesulitan meraih juara, baik di levell liga domestik maupun di kancah Eropa.
Sepertinya, SL Benfica tutup mata pada prestasi klub dan lebih memilih menjadi ”broker” pemain sepak bola yang tampak lebih mendatangkan keuntungan besar bagi klub. Hanya saja, di mata penggemar sepak bola, perkara prestasi adalah hal mutlak yang harus ditunjukkan oleh sebuah klub.
SL Benfica bukanlah satu-satunya klub yang tampak kesulitan dalam menjaga keseimbangan antara kesuksesan bisnis transfer pemain dan obsesi meraih prestasi. Deretan klub dengan keuntungan tertinggi dalam bisnis ini umumnya berisi klub-klub papan tengah di liga domestik dan Eropa. Kesamaan nasib ini disebabkan oleh adanya lingkaran setan yang telah meracuni bisnis transfer pemain selama bertahun-tahun.
Siklus bisnis transfer pemain yang ”toksik” tentu saja membuat klub-klub papan tengah tidak pernah memiliki pemain-pemain hebat di dalamnya. Di satu sisi, tiap kali ada pemain muda berbakat yang bermain di klub tersebut, akhirnya selalu dilepas ketika klub besar mendekati pemain bersangkutan dengan tawaran nilai transfer tinggi. Di sisi lain, jika tidak melepas pemain tersebut, klub harus menanggung biaya gaji pemain itu yang akan naik drastis karena adanya penawaran dari klub besar.
Lingkaran setan ini terjadi bertahun-tahun dalam dunia sepak bola. Klub yang memiliki kapital besar akan terus menekan klub-klub di bawahnya yang sibuk bergulat soal finansial dibandingkan prestasi. Lantas, apakah tidak ada pemecah kebuntuan dari siklus toksik transfer pemain ini?
Ada dua solusi yang sejauh ini pernah terjadi. Pertama, pembinaan pemain muda dari akademi klub (sekolah sepak bola) menjadi basis utama untuk melahirkan pemain-pemain berbakat dengan biaya yang relatif murah dibandingkan harus membeli pemain dari klub lainnya.
Kedua, pemain muda dari akademi akhirnya memiliki jiwa loyalitas yang tinggi sebagai pemain bola yang dididik dan dibesarkan oleh suatu klub. Soal loyalitas pemain memang pada akhirnya bergantung pada individu masing-masing, tetapi ada banyak legenda sepak bola yang menganut nilai ini hingga ia gantung sepatu.
Baca juga: Strategi Nike Membiarkan Neymar Pergi
Bagaimanapun, transfer pemain sepak bola dari satu klub ke klub lainnya selalu menjadi peluang bagi klub dan para pemain yang terlibat langsung di dalamnya. Investor klub dan sponsor pun tidak melepaskan pandangannya ketika jendela transfer pemain dimulai, sambil membaca peluang bisnis untuk musim ke depan.
Terlepas dari berbagai kerumitannya, musim transfer pemain tetaplah menarik dan menjadi hiburan tersendiri bagi para penikmat sepak bola. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Strategi Utama PSG dan Efek Lionel Messi