Bersiap Menghadapi Anomali Iklim dan Cuaca di Indonesia
Frekuensi hujan saat ini mengindikasikan adanya anomali cuaca karena intensitasnya berada di tengah periode kering musim kemarau. Masyarakat harus bersiap mengatasi berbagai ancaman akibat anomali itu

Mendung gelap menyelimuti langit Jakarta, Minggu (12/6/2022). Wilayah Indonesia akan mengalami periode basah lebih lama pada 2022 akibat penguatan La Nina di Samudra Pasifik. Periode basah menunjukkan peningkatan curah hujan sehingga musim kemarau akan mundur di beberapa wilayah.
Fenomena hujan di bulan Juli tersebut tergolong jarang terjadi di Indonesia. Pasalnya, pertengahan tahun itu biasanya sedang memasuki musim kemarau. Bahkan, berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bulan Juli menjadi periode masuk ke puncak musim kemarau sehingga kondisinya jauh lebih kering dengan intensitas matahari meningkat.
Hanya, pada periode kering tahun ini diperkirakan kondisinya lebih basah karena banyaknya anomali atmosfer yang terjadi di tingkat global ataupun regional. Kondisi basah yang dimaksud adalah masih tingginya pembentukan awan hujan di banyak lokasi sehingga secara otomatis memicu hujan cukup lebat.
Di tingkat global, saat ini tengah aktif fenomena La Nina meskipun dalam kategori lemah. Berkebalikan dengan El Nino, La Nina menunjukkan kondisi suhu muka laut Samudra Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normal. Akibatnya, curah hujan di Indonesia meningkat.
Tidak hanya La Nina, anomali atmosfer yang tengah aktif adalah Dipole Mode di wilayah Samudra Hindia. Dipole Mode menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut Samudra Hindia dan wilayah perairan dekat Sumatera sehingga memicu peningkatan curah hujan.
Selain La Nina dan Dipole Mode, tiga anomali atmosfer yang meningkatkan aktivitas konvektif dan pembentukan awan hujan adalah MJO (Madden-Jullian Oscillation), gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby. Ketiganya terjadi pada periode yang sama. Interaksi aktif antara perairan di dunia akan memicu perubahan cuaca di wilayah daratan dan sekitarnya, seperti halnya di Indonesia.
Fenomena MJO termasuk anomali tingkat global karena melibatkan dua perairan luas dunia, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Spesifik di wilayah khatulistiwa, MJO menggambarkan ada wilayah peningkatan dan penurunan curah hujan yang bergerak berpasangan mengelilingi bumi dari barat ke timur.
Untuk gelombang Kelvin dan Rossby, keduanya dikenal dengan gelombang gravitasi yang meliputi seluruh permukaan bumi, terutama di wilayah ekuator atau khatulistiwa. Keduanya memiliki arah pergerakan berbeda. Gelombang Kelvin dari barat ke timur, sedangkan gelombang Rossby dari timur ke barat.
Apabila bertemu di satu titik, kedua gelombang tersebut akan memicu lonjakan curah hujan. Wilayah pertemuannya disebut dengan wilayah konvergensi, yang biasanya ditandai munculnya awan secara horizontal yang membentuk garis panjang atau pita awan.
Di level regional, BMKG mengamati ada pola belokan angin dan daerah pertemuan serta perlambatan kecepatan angin atau konvergensi di sekitar Sumatera bagian selatan dan Jawa bagian barat. Akibatnya, potensi pembentukan awan hujan meningkat tajam.
Banyaknya fenomena anomali atmosfer yang terjadi menunjukkan bahwa secara geografis Indonesia adalah kawasan penting dalam pembentukan cuaca dan iklim global. Komposisi wilayah maritim yang lebih luas daripada daratan serta berbentuk kepulauan turut menjadi faktor pemicu anomali-anomali cuaca.
Sebagai upaya preventif, setiap orang perlu memahami risiko perubahan cuaca yang bisa saja terjadi secara mendadak. Anomali atmosfer yang terjadi dapat dengan cepat mendorong munculnya hujan lebat sehingga berakibat pada sejumlah kejadian bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.
Kewaspadaan tinggi
Fenomena hujan di periode kemarau menuntut kewaspadaan lebih tinggi. Secara lazim seharusnya akan terjadi kekeringan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Saat ini potensi banjir di wilayah perkotaan malah meningkat. Selain banjir, risiko banjir bandang juga masih terbilang tinggi. Risiko tanah longsor pun turut mengancam sejumlah wilayah dengan topografi berbukit-bukit.
Pada 15 Juli lalu, secara tiba-tiba banjir melanda sedikitnya 20 desa di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Walaupun tidak ada korban jiwa, banjir akibat luapan Sungai Cimanuk ini memaksa 478 warga yang bermukim di sekitar aliran sungai mengungsi. Sembilan rumah rusak berat dan 295 rumah lainnya terdampak sedang-ringan.

Hujan deras yang mengguyur Jakarta sejak Jumat (15/7/2022) menyebabkan banjir di beberapa permukiman penduduk. Tak hanya Jakarta, banjir juga melanda wilayah Garut, Jawa Barat.
Anomali cuaca tersebut juga terjadi di wilayah Ibu Kota. Sejumlah wilayah di Jakarta mengalami banjir dengan ketinggian air lebih dari 40 sentimeter pada Sabtu, 16 Juli 2022. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyebutkan, ada 83 wilayah RT yang terendam hingga Sabtu siang yang tersebar di Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan.
Selain DKI Jakarta dan Jawa Barat, BMKG juga mencatat ada sejumlah wilayah lain yang juga berpotensi terlanda hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Sebaran lokasinya berada di Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Hujan berintensitas ringan hingga sedang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Sebagai bentuk upaya mitigasi, BMKG membuat analisis pola cuaca hingga Oktober mendatang. Pada Agustus hingga Oktober nanti, wilayah Indonesia umumnya akan mengalami hujan dengan intensitas menengah. Hujan dengan intensitas lebih tinggi akan terjadi di bagian barat Kalimantan dan bagian selatan Papua.
Kondisi yang perlu diwaspadai adalah saat masuk bulan Oktober. Pasalnya, hampir separuh wilayah Indonesia akan mengalami hujan dengan intensitas menengah, sedangkan di separuh wilayah lainnya akan turun hujan dengan lebat hingga sangat lebat. Wilayah dengan curah hujan sangat tinggi mencakup Pulau Jawa, selatan Kalimantan, dan selatan Papua.
Apabila dilihat berdasarkan anomali atmosfer, kondisi La Nina akan berangsur netral pada Agustus hingga Oktober 2022. Hangatnya suhu permukaan laut juga masih akan terjadi dan terus menguat hingga Oktober 2022. Sementara secara regional, fenomena monsun Australia akan mendominasi seluruh wilayah pada periode yang sama.
Anomali atmosfer tersebut akan terus membayangi wilayah Indonesia. Selepas periode basah di musim kemarau, Indonesia akan mulai masuk musim hujan di pengujung tahun 2022. Kondisi curah hujan yang terbilang tinggi ini perlu diwaspadai oleh semua pihak karena berpotensi menimbulkan sejumlah ancaman bencana alam. Oleh karena itu, setiap hari perlu dilakukan pengawasan pada sejumlah parameter cuaca sehingga upaya-upaya penanganan kondisi krisis dapat dijalankan dengan tepat.
Proyeksi iklim
Apakah perubahan cuaca di Indonesia akan terus terjadi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan pendekatan yang komprehensif menggunakan data tren satu atau dua dekade, bahkan satu abad ke belakang. Proyeksi kondisi iklim dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan dan penyiapan skenario dalam kondisi darurat.
Dari sekian banyak faktor yang memengaruhi iklim dan cuaca, dua faktor utama untuk melihat dinamikanya adalah suhu dan curah hujan. Kedua faktor ini berhubungan erat dengan tekanan udara, arah angin bertiup, arah pergerakan awan, hingga potensi pembentukan awan serta potensi kekeringan.

Awan hitam menggelayut di langit Jakarta jelang hujan, Kamis (9/6/2022). Hujan masih sering turun meski sudah memasuki musim kemarau. Menguatnya fenomena La Nina berpeluang mengakibatkan kemunduran musim kemarau di Indonesia.
Dalam konteks dinamika iklim yang dihadapi Indonesia, BMKG membuat pemodelan iklim regional menggunakan data curah hujan dan suhu periode 1976-2005 dengan periode proyeksi tahun 2020 hingga 2049. Sejumlah daerah menunjukkan perubahan signifikan antara pengurangan dan lonjakannya.
Hasil proyeksi perubahan curah hujan musiman di Indonesia menunjukkan bahwa wilayah Jawa akan mengalami pengurangan curah hujan berkisar 10-25 persen hingga tahun 2049. Kondisi tersebut diikuti Bali dan kepulauan Nusa Tenggara. Wilayah lain yang menunjukkan pola serupa adalah sepanjang pesisir selatan Pulau Sumatera serta sisi selatan dan tenggara Pulau Sulawesi. Untuk kondisi sebaliknya, daerah yang mengalami peningkatan curah hujan berada di bagian utara Sulawesi dan Papua. Di wilayah ini, curah hujan naik hingga sekitar 25 persen.
Selain curah hujan, pemodelan iklim regional itu juga menunjukkan adanya perubahan awal musim hujan di Indonesia. Secara umum, sebagian besar wilayah memiliki kecenderungan tetap. Namun, banyak pula yang maju hingga lebih dari dua dasarian atau setara dengan 20 hari.
Pemodelan tersebut juga menghasilkan proyeksi terkait perubahan suhu. Hingga tahun 2049 diperkirakan suhu rata-rata tahunan Indonesia akan kian panas, meningkat lebih dari 1,3 derajat celsius. Sejumlah wilayah menunjukkan peningkatan suhu secara drastis, seperti wilayah utara dan selatan Pulau Sumatera, wilayah timur Pulau Jawa, serta sebagian wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu, wilayah tengah dan selatan Pulau Sulawesi turut menunjukkan peningkatan suhu lebih dari 1,3 derajat celsius pada tahun 2049 mendatang. Pulau Papua juga tak luput karena bagian tengah hingga selatan berpotensi akan terus memanas.
Anomali iklim dan cuaca tersebut akan terus membayangi Indonesia. Pemerintah perlu melihat pola dinamika atmosfer yang terjadi. Termasuk memastikan kondisi lingkungan tidak memburuk sehingga berdampak pada perburukan anomali iklim dan cuaca. Oleh karena itu, dibutuhkan sejumlah langkah dan komitmen tinggi agar berhasil beradaptasi terhadap perubahan iklim dan cuaca yang tengah terjadi. (LITBANG KOMPAS)