Menguji Ketahanan Ekonomi di Bawah Bayang-bayang Resesi
Indonesia berpotensi mengalami resesi bersama negara Asia lainnya. Pengalaman masa silam menghadapi sejumlah resesi perlu menjadi acuan kebijakan pemerintah dalam mengatasi gejolak ekonomi global.
Terkendalinya sejumlah indikator ekonomi membuat potensi risiko terjadinya resesi di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Meskipun demikian, Indonesia harus tetap mewaspadai dampak resesi yang diprediksi akan berlangsung lama.
Hasil survei Bloomberg menunjukkan, Indonesia masuk dalam daftar negara yang berpotensi mengalami resesi. Dengan potensi risiko sebesar 3 persen, Indonesia menempati posisi ke-14 dari 15 negara di Asia.
Survei yang dirilis pada 6 Juli 2022 itu mencatat, rata-rata potensi resesi sejumlah negara Asia Tenggara lainnya sekitar 10 persen. Untuk kawasan Asia Timur potensinya berlipat dua kali lebih tinggi. Termasuk China yang menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Potensi resesi terbesar saat ini adalah di Sri Lanka dengan besaran risiko mencapai 85 persen sehingga negara ini dalam status darurat ekonomi.
Munculnya potensi resesi di sejumlah negara dan kawasan tersebut tak lepas dari dampak pandemi Covid-19 yang kembali teridentifikasi di sejumlah negara. Faktor lainnya adalah gejolak ekonomi global yang masih belum terbendung akibat invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Kombinasi keduanya semakin melemahkan sendi-sendi perekonomian setiap negara dan dunia yang sedang beranjak pulih.
Bahkan, survei yang sama menyebutkan, potensi resesi negara-negara maju di barat juga tergolong sangat tinggi. Amerika Serikat misalnya. Risiko resesi negara adikuasa itu diperkirakan mencapai 40 persen. Negara-negara di Kawasan Eropa lebih tinggi lagi berada di kisaran 50-55 persen.
Jika dibandingkan dengan negara lain, posisi Indonesia saat ini relatif lebih aman. Sejumlah indikator ekonomi dalam negeri yang masih cukup terkendali mendasari situasi relatif aman ini. Salah satunya tergambar dari cukup tingginya tingkat keyakinan konsumen di Tanah Air.
Rilis terbaru oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen sebesar 128,2 pada Juni 2022. Meskipun sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya, tetapi masih menunjukkan optimisme dengan besaran indeks di atas angka 100. Keyakinan itu terpantau di seluruh kategori seperti level pengeluaran, usia, dan tingkat pendidikan, serta pada kondisi ekonomi saat ini ataupun yang akan datang.
Indeks tersebut cukup penting diperhitungkan lantaran menjadi salah satu indikator untuk menilai kinerja perekonomian. Apalagi, rumah tangga yang berperan sebagai konsumen masih mendominasi perekonomian dengan kontribusi separuh dari PDB nasional.
Keyakinan konsumen rumah tangga pada kegiatan konsumsi itu turut mengerek kinerja manufaktur dalam negeri. Hal itu tecermin dari nilai Prompt Manufacturing Indexyang juga disusun oleh BI (PMI-BI). Triwulan kedua tahun ini, PMI-BI lebih ekspansif dari periode sebelumnya dengan besaran 53,6 persen.
Tingginya permintaan masyarakat seiring meredanya pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemantiknya. Ditambah lagi momentum Ramadhan dan Idul Fitri yang disertai kegiatan mudik pada periode triwulan kedua 2022 membuat roda industri berputar lebih cepat.
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan, juga menyebutkan bahwa APBN, ketahanan PDB, hingga kebijakan moneter Indonesia masih lebih baik daripada negara lain. Surplus neraca perdagangan yang didorong oleh peningkatan ekspor minyak sawit mentah serta komoditas mineral pertambangan diprediksi akan terus meningkat seiring tingginya harga komoditas global.
BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar 2,89 miliar dollar AS atau setara Rp 42 triliun pada Mei 2022. Dengan kata lain, kondisi makro-ekonomi dari sisi perdagangan internasional relatif cukup aman untuk saat ini.
Tetap waspada
Kendati demikian, alarm kewaspadaan tetap harus menyala. Pasalnya, problem inflasi yang kini dialami oleh banyak negara di dunia mulai membayangi Indonesia. Pada Juni 2022, tingkat inflasi tahunan di Indonesia sudah menyentuh angka 4,35 persen. Meskipun tak setinggi negara-negara lainnya, angka inflasi Indonesia sudah melampaui target yang ditetapkan pemerintah, yakni 4 persen.
Sumber lonjakan inflasi tersebut berasal dari tekanan dua sisi, baik internal maupun eksternal. Kembali longgarnya aktivitas masyarakat membuat permintaan atau konsumsi masyarakat meningkat. Sayangnya, geliat ekonomi ini disertai dengan melonjaknya harga komoditas dunia yang turut memengaruhi harga-harga dalam negeri. Akibatnya, jumlah uang beredar semakin banyak sehingga mendorong terjadinya lonjakan inflasi.
Menurut catatan BPS, inflasi terjadi karena naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, antara lain kelompok makanan dan minuman, transportasi, hingga peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga. Kenaikan harga sejumlah komoditas, seperti cabai, bawang merah, dan sayuran lainnya, akibat cuaca ekstrem turut mengerek laju inflasi.
Bahkan, tingkat inflasi bulan Juni lebih tinggi daripada bulan April dan Mei, meskipun dua bulan tersebut bersamaan dengan momentum Ramadhan dan Idul Fitri. Saat itu, tingkat inflasi masih berada pada kisaran target yang ditetapkan. Hanya, jika ditarik garis waktu lebih panjang, tingkat inflasi ini merupakan yang tertinggi sejak lima tahun silam.
Sejumlah pakar, lembaga, dan pemerintah menyebutkan bahwa inflasi di tengah gejolak seperti saat ini menjadi hal yang wajar, apalagi besarannya masih cukup terkendali. Namun, sejarah menunjukkan, mengendalikan inflasi di tengah ancaman krisis global bukan perkara yang mudah.
Suasana di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (13/7/2022). Pemerintah berupaya meredam inflasi domestik sebagai dampak dari tren inflasi global dengan menggunakan anggaran negara. Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun.
Sebelumnya, inflasi tinggi akibat naiknya harga minyak dunia pernah dialami Indonesia pada tahun 2008. Sejak awal tahun, angka inflasi sudah melampaui target 6 persen. Saat itu, harga minyak dunia melambung tinggi hingga mencapai 120 dollar AS per barel.
Guna membendung tingginya inflasi, pemerintah mengalokasikan subsidi energi dengan besaran yang cukup fantastis. Angkanya mencapai lebih dari Rp 100 triliun, membengkak dua kali lipat dari target yang ditetapkan dalam APBN 2008. Sayangnya, tingkat inflasi masih tetap tinggi hingga akhir tahun, menembus angka 11,06 persen. Inflasi baru kembali terkendali, di antara batas atas dan batas bawah, pada Juni 2009.
Saat ini pemerintah kembali memilih subsidi energi sebagai tameng untuk mencegah inflasi kian menanjak. Nilainya pun tak kalah besar. Guna menahan harga pertalite dan energi lainnya tidak naik, pemerintah menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp 502,4 triliun. Sebelumnya hanya ditetapkan sebesar Rp 152,5 triliun.
Keberanian menambah alokasi tersebut tak lain karena Indonesia sebagai negara eksportir dalam perdagangan global turut merasakan dampak positif dari kenaikan harga komoditas (windfall effect). Surplus dari hasil perdagangan global kemudian dialihkan untuk membiayai subsidi dan kompensasi.
Meski demikian, hal tersebut patut diwaspadai karena rentan berujung pada Dutch Disease atau penyakit Belanda. Teori yang diperkenalkan tahun 1977 akibat kegagalan manajemen Belanda tersebut menjelaskan bahaya eksploitasi sumber daya alam dan produksi tanaman komoditas dapat berisiko negatif pada perekonomian.
Negara-negara berkembang penghasil migas dan komoditas, seperti Indonesia, rentan terhadap fenomena tersebut. Tidak jarang negara terlena dengan pendapatan yang tinggi, terlebih ketika harga migas dan komoditas menjulang. Keuntungan dari tingginya komoditas pun tak bisa terus-menerus menjadi andalan karena bergantung pada kondisi global yang tidak menentu. Tentu eksternalitas negatif diharapkan tidak terjadi karena dapat menurunkan kinerja ekonomi yang selama ini masih terkontrol.
Oleh karena itu, penguatan ekonomi dalam negeri menjadi kunci penting. Mengoptimalkan ekspor dan meminimalkan impor dengan optimalisasi produksi serta konsumsi dalam negeri merupakan salah satu solusi untuk mencegah tingginya pengaruh buruk dari ancaman resesi global. Sejarah panjang Indonesia yang dihadapkan pada sejumlah pengalaman serupa pun dapat menjadi acuan guna meramu kebijakan yang lebih tepat. (LITBANG KOMPAS)