Memaknai Liburan ”Citayam Fashion Week”
”Citayam Fashion Week” tidak ada bedanya dengan kepadatan jalur Puncak, Bogor, yang dipenuhi warga kota tiap akhir pekan. Tujuannya sama, mencari suasana lain dari keseharian.
”Citayam Fashion Week” merupakan fenomena julukan warganet bagi sekumpulan anak remaja yang berasal dari suburban luar Jakarta yang datang ke kawasan Sudirman-Thamrin untuk sekadar nongkrong. Tafsiran warganet beraneka rupa, mulai dari soal eksistensi anak muda hingga tata kota. Padahal, sejatinya fenomena ini adalah suatu bentuk kewajaran untuk mengisi liburan sekolah.
Kehadiran para remaja yang memenuhi kawasan Sudirman-Thamrin itu mulai muncul sejak akhir Juni 2022. Dengan akses kereta komuter, mereka datang dari daerah suburban, seperti Citayam (Depok), Bojonggede (Bogor), Tangerang (Banten), dan Bekasi. Sorotan media sosial (medsos) hingga stasiun televisi akhirnya mengangkat ”pamor” sejumlah remaja yang mewakili kelompok tersebut.
Sebutan Citayam Fashion Week sebenarnya menjadi julukan yang lebih bernuansa sinis dari warganet yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Banyak remaja hadir dengan tampilan mencolok, duduk atau jalan bergerombol, serta menenteng ponsel untuk mengabadikan berbagai aktivitas di kawasan itu. Seiring waktu, julukan ”sinis” itu justru menjadi semacam identitas baru yang menjadi label kebanggaan mereka sekaligus mengundang simpati dari kalangan warganet lain.
Fenomena unik ini diamati Litbang Kompas melalui aplikasi Talkwalker selama lima hari (7-11 Juli 2022). Dari pemberitaan medsos dan media daring, kata kunci ”Citayam” menghasilkan 14.400 perbincangan warganet. Kata kunci tersebut turut menghasilkan 140.800 interaksi antarwarganet.
Ada tiga puncak percakapan yang dapat dicatat untuk melihat perubahan pandangan warganet atas fenomena berkumpulnya muda-mudi itu di kawasan sekitar Dukuh Atas hingga Sudirman. Pertama, pada 8 Juli 2022 pukul 17.00-18.00 WIB. Naiknya perbincangan dipicu oleh berbagai sorotan pemberitaan digital yang mengundang rasa penasaran warganet di medsos.
Pemberitaan media digital cenderung menyorot fenomena itu dengan nuansa negatif. Misalnya saja, menyoroti banyaknya sampah yang berserakan di sepanjang jalan, model pakaian yang telihat lusuh, hingga potret anak-anak muda yang merokok di area publik. Warganet pun mulai terpancing untuk memberikan cuitan bernada derogatoris (merendahkan) yang mengindikasikan adanya bias kelas dalam melihat fenomena ini.
Pada puncak berikutnya, 9 Juli 2022 pukul 21.00-22.00 WIB, perbincangan kemudian bergeser pada soal pemahaman fenomena. Sebagian warganet melihat fenomena ini wajar terjadi di kalangan anak muda, layaknya para remaja di era-era sebelumnya yang menongkrong di kawasan Melawai (era 1980-an), Blok M (era 1990-an), dan di Lintas Timur Senayan (era 2000-an). Penerimaan pada kehadiran para remaja ini makin besar asalkan tetap menjaga kebersihan dan tidak membuat keributan.
Selang dua hari kemudian, pada 11 Juli 2022, percakapan mulai meningkat lagi pada pukul 14.00-15.00 WIB terkait fenomena remaja tersebut. Percakapan ini dipicu oleh sebutan ”Citayam Fashion Week” yang mulai memenuhi linimasa medsos dan pemberitaan media digital pada hari sebelumnya. Berbagai tafsiran warganet bermunculan. Mulai dari tumbuhnya kembali fashion jalanan, perbandingan antara tata ruang Kota Depok dan DKI Jakarta, hingga soal perbandingan kelas ekonomi.
Dua tokoh publik yang turut memicu tingginya percakapan itu adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno serta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Melalui akun Tiktok, Sandiaga Uno menunggah video dan narasi yang bertuliskan keterbukaan pada para remaja tersebut. Syaratnya, tidak melanggar aturan dan dapat menghasilkan karya kreatif. Begitu juga, Anies menerima para remaja itu asalkan menjaga kebersihan dan ketertiban.
Sekadar berlibur
Sejumlah tafsiran warganet atas fenomena tersebut tampaknya terlalu kebablasan. Salah satunya terkait perbandingkan tata perkotaan. Misalnya, membandingkan tata ruang DKI Jakarta dengan Kota Depok (domisili sebagian remaja itu) sehingga membuat kawasan SCBD lebih digandrungi untuk dikunjungi.
Persepsi demikian tentu saja kurang tepat karena kawasan SCBD, selain dibangun oleh sejumlah investor, juga berada di area jalan protokol sehingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Banyak rancang bangun infrastruktur yang ikonik dan menarik sehingga mengundang banyak orang untuk singgah. Tak terkecuali para remaja belia dari kawasan suburban penyangga Jakarta.
Hal lain yang turut mendorong munculnya fenomena hadirnya para remaja di kawasan itu adalah keinginan untuk membuat konten di medsos. Mereka berbekal gaya pakaian menarik dengan mengambil latar gedung pencakar langit yang tidak dapat ditemukan di daerah Depok dan sekitarnya.
Jika diperhatikan, sebetulnya fenomena itu terjadi pada saat liburan sekolah. Para remaja yang datang dari luar daerah Jakarta ini sebagian besar duduk di bangku SMP dan SMA serta sebagian lainnya putus sekolah dan bekerja serabutan. Masa liburan ini membuat hasrat anak-anak muda untuk jalan-jalan menjelajahi kota besar seperti Jakarta kian besar.
Apalagi, saat ini syarat mobilitas sudah makin mudah dan pembatasan kegiatan masyarakat kian longgar. Hal itu didukung lagi dengan akses transportasi umum yang relatif mudah dan nyaman serta terintegrasi dengan kawasan keramaian Iibu Kota.
Fenomena para remaja tersebut sejatinya mirip yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Ibu Kota. Mereka sama-sama mencari alternatif kegiatan atau hiburan yang suasananya berbeda dengan wilayah tempat tinggalnya. Para remaja ”Citayam Wave” memilih mengisi masa liburan dengan menjajal suasana Ibu Kota untuk konten medsos, sedangkan masyarakat Ibu Kota memadati jalan raya menuju jalur Puncak, Bogor, pada akhir pekan untuk berbagai aktivitas liburan. Tujuannya sama, mencari suasana lain yang tidak ditemukan di daerah asal masing-masing.
Jika merujuk berdasarkan akar katanya, liburan berasal dari bahasa Latin (vaca) yang berarti ”kekosongan”. Dalam bahasa Inggris, istilah ini dibahasakan menjadi vacancy dan sedikit berbeda dengan istilah holiday yang merujuk pada hari libur karena hari raya (keagamaan atau nasional) yang berlangsung satu atau dua hari saja. Maka, liburan memang berarti mengisi kekosongan (waktu) dengan kegiatan lain di luar rutinitas.
Mengisi liburan identik dengan bepergian aktivitas bepergian dari satu daerah ke daerah lain. Sejarah kemunculan liburan dapat ditelusuri dari kebudayaan yang dipraktikkan masyarakat Yunani Kuno. Pada masa itu, cikal bakal wisata sudah ada ketika masyarakat menyelenggarakan berbagai festival seni drama di amfiteater hingga perlombaan di gelanggang olahraga.
Budaya berlibur ini kemudian dikembangkan oleh masyarakat Romawi, yakni dengan pergi bersama-sama dari kota besar ke daerah-daerah kecil. Aktivitas liburan mewah kemudian menjadi tren pada akhir abad ke-17 hingga ke-18, ketika para bangsawan Eropa mulai memprakarsai sebuah tur besar (grand tour). Tur ini merupakan perjalanan tamasya yang dikhususkan untuk bangsawan muda dengan mengunjungi situs klasik peninggalan masa Renaisans di Paris, Venesia, dan Florensia.
Sejak masa Revolusi Industri, liburan menjadi kebutuhan baru masyarakat yang mulai mengenal sistem bekerja secara mekanis. Ditambah pula, penemuan alat transportasi massal, seperti kereta api uap, menjadi pendukung terbangunnya budaya mengisi waktu liburan dengan bepergian ke daerah lain.
Kini, liburan sudah membudaya dan melekat pada manusia pekerja (homo faber) dan istilah staycation menjadi bahasa komersial dengan liburan singkat di akhir pekan di tempat wisata. Bagi ”anak Citayam”, datang ke kawasan Sudirman menjadi opsi liburan murah meriah dengan akses kereta komuter dan jajanan ringan yang sesuai dengan uang saku mereka. Bandingkan dengan Jakarta Fair, misalnya, yang perlu merogoh kocek lebih dalam untuk masuk ke sana.
Sekadar tren
Di awal 2021, jalur protokol sepanjang kawasan Sudirman pernah hampir tiap hari dipenuhi para pesepeda seiring tren olahraga di masa pandemi. Lambat laun, para pesepeda ini banyak ditemukan pada akhir pekan saja. Hal yang sama kemungkinan juga akan terjadi pada fenomena Citayam Fashion Week, karena masa liburan sekolah telah usai dan para remaja ini akan menjalani aktivitas rutin seperti semula.
Jika tren pesepeda mendatangkan cuan bagi penjual sepeda dan aksesorinya, kelompok remaja ini juga memberikan keuntungan bagi pedagang yang berada di kawasan itu. Momen tren yang singkat ini mendatangkan berkah bagi mereka yang cerdik memanfaatkannya.
Oleh sebab itu, publik tidak perlu memberi tafsiran, bersikap sinis, dan merasa takut berlebihan dalam melihat tren itu. Sebagai kota pusat pembangunan, sudah selayaknya DKI Jakarta menjadi tempat terbuka bagi siapa pun. Persoalan ”anak Citayam” seperti merokok, buang sampah sembarangan, dan mengokupasi ruang publik dapat ditangani oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI dengan lebih tegas dan bijak.
Hal yang perlu dilihat lebih jauh adalah potensi bisnis akan datang dari tren ini di kemudian hari. Bisa jadi, di masa liburan sekolah berikutnya, fenomena yang sama dapat terulang dan meluas di sejumlah tempat di DKI Jakarta. Bagaimanapun, anak-anak muda ini sangat melek digital dan cukup piawai dalam memproduksi konten kreatif. (LITBANG KOMPAS)