Mengawal Subsidi di Tengah Kerentanan Ketahanan Energi
Pemerintah perlu terapkan kebijakan transformasi subsidi secara bertahap. Dari subsidi berbasis komoditi menjadi berbasis penerima manfaat. Harapannya, pengelolaan subsidi menjadi lebih tepat sasaran.
Terbatasnya produksi energi membuat ketahanan energi Indonesia cenderung rentan. Melambungnya harga minyak dunia memaksa pemerintah memperketat tata niaga energi. Subsidi dikendalikan setepat mungkin agar beban keuangan negara tidak semakin berat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), ketahanan energi didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Untuk memantau kondisi ketahan energi tersebut, pemerintah melakukan penilaian secara berkala untuk melihat tingkat kedinamisannya. Penilaian ini dilakukan berdasarkan empat aspek pendekatan yang dikenal dengan istilah "4A". Terdiri dari aspek affordability, accessibility, availability, dan acceptability.
Dari keempat aspek itu selanjutnya dilakukan penilaian dan pembobotan berdasarkan expert judgement dari sejumlah pakar atau ahli di bidangnya. Hasil penilaian dari sejumlah ahli terpilih menunjukkan tingkat ketahanan energi Indonesia berada pada kategori “tahan”. Pada tahun 2015-2018, rata-rata nilai ketahanan energi nasional berada pada kisaran angka “6”. Meskipun masuk dalam kelompok “tahan”, tetapi besaran nilai rata-rata tersebut masih pada standar yang relatif rendah karena mendekati batas minimal di angka “6”.
Tren nilai pada tahun 2018 memang meningkat sedikit lebih tinggi dari periode sebelumnya menjadi 6,44. Namun, tetap saja belum memuaskan karena ada salah satu aspek masih belum beranjak dari status “rentan” dengan skor nilai di bawah “6”. Kondisi ini sudah terjadi dalam beberapa tahun dan tampaknya relatif sulit untuk ditingkatkan.
Kondisi ini memberikan gambaran ketahanan Indonesia secara keseluruhan berisiko tinggi untuk dapat menurun statusnya menjadi “kurang tahan”. Apalagi, aspek yang kondisinya “kurang tahan” ini adalah aspek availability yang berhubungan erat dengan ketersediaan energi di pasaran dalam negeri.
Ada sejumlah indikator yang menyebabkan aspek availability tersebut masuk dalam kategori “kurang tahan”. Setidaknya, ada 3 dari 8 indikator pendukung aspek ketersediaan yang selalu memiliki skor bobot penilaian di bawah “6”. Terdiri dari indikator cadangan BBM dan LPG nasional; cadangan dan sumber daya migas; serta cadangan penyangga energi (CPE). Ketiga indikator ini nilai skor bobotnya rata-rata per tahun berada dikisaran “5”. Bahkan, untuk indikator CPE rata-rata per tahun selalu di bawah skor nilai “3” yang berarti rentan.
Net importir
Rendahnya ketiga indikator tersebut salah satunya disebabkan oleh produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional yang cenderung terus menurun. Sebaliknya, dari sisi permintaan jumlahnya terus meningkat sehingga pada tahun 2018 Indonesia sudah masuk ke dalam kelompok negara net importir. Negara yang jumlah impor migasnya lebih besar daripada jumlah migas yang diproduksi di dalam negeri. Artinya, tingkat ketergantungan impor migas dari negara asing semakin besar dan mendominasi.
Berdasarkan data dari bp Statistical Review of World Energy 2021, produksi migas harian di Indonesia pada kurun 2010-2020 rata-rata menurun hampir tiga persen atau sekitar 26 ribu barrel per tahun. Padahal, permintaanya terus meningkat hampir satu persen atau sekitar 11 ribu barrel per tahun. Hal ini menyebabkan celah ketimpangan antara produksi dan konsumsi kian lebar.
Dalam kurun satu dekade, jumlah lifting migas rata-rata per hari hanya 862 ribu barrel. Angka produksi ini terus menyusut sehingga pada tahun 2020 besarannya mengecil lagi hingga kisaran 740-an barrel sehari. Kondisi ini berbeda jauh dengan laju kebutuhan konsumsi harian migas yang meningkat hingga sebesar 1,6 juta barrel setiap hari. Akibatnya, kebutuhan impor migas juga terus melonjak hingga saat ini jumlahnya sudah lebih dari 800 ribu barrel per hari.
Berdasarkan laporan Hasil Analisis Neraca Energi Nasional dari Dewan Energi Nasional (DEN), komoditas migas yang diimpor oleh Indonesia pada tahun 2020 mencapai 35 juta ton oil equivalen (TOE). Terdiri dari minyak mentah sekitar 11 juta TOE, produk olahan BBM 16 juta TOE, dan LPG sebesar 7,6 juta TOE.
Impor ketiga komoditas migas itu menguasai sekitar 87 persen dari seluruh impor energi primer yang dibutuhkan Indonesia. Jadi, dapat dibayangkan bahwa ketergantungan Indonesia pada impor energi fosil dari produk minyak bumi berikut turunnya itu sangatlah besar.
Kondisi tersebut tentu sangat rawan apabila dikaitkan dengan konteks ketahanan energi nasional. Jaminan dari pemerintah yang senantiasa berupaya menyediakan pasokan energi dengan harga terjangkau dalam jangka panjang akan berpotensi berimbas buruk bagi keuangan negara.
Pasalnya, harga energi sangat rentan berubah-ubah menyesuaikan dengan kondisi perekonomian global. Apabila terjadi penyimpangan harga energi yang sudah disusun pemerintah dalam asumsi makro pengelolaan APBN maka besar kemungkinan akan berdampak pada keuangan negara.
Terbukti, adanya invasi militer Rusia ke Ukraina yang berimbas pada sanksi ekonomi dan embargo komoditas migas dari Rusia oleh negara-negara sekutu NATO membuat harga migas di pasaran global melambung tinggi di atas 100 dollar AS/barrel. Hal ini merupakan pukulan berat bagi Indonesia yang saat ini sudah menjadi negara net importir migas.
Apalagi, harga migas impor saat ini sudah jauh dari proyeksi harga Indonesia Crude Price (ICP) yang diasumsikan dalam APBN 2022 sebesar 63 dollar AS/barrel. Artinya, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk belanja migas dan sekaligus menambah anggaran subsidi energi demi stabilisasi harga di pasaran domestik.
Dalam kondisi sulit ini, pemerintah masih mempertahankan kebijakan memberikan subsidi pada sejumlah komoditas energi. Pemerintah memilih tidak menaikkan harga BBM jenis tertentu, LPG subsidi 3 kg, dan juga tarif listrik di bawah 3.000 VA. Langkah demikian tentu memiliki konsekuensi cukup berat bagi fiskal negara karena pemerintah harus menyiapkan lonjakan anggaran subsidi hingga lebih dari Rp 500 triliun pada tahun ini.
Namun, harapannya dengan kucuran subsidi yang kian membesar itu kondisi makro ekonomi nasional tetap terkendali. Inflasi relatif terkontrol sehingga daya beli masyarakat tetap stabil tinggi. Perekonomian tetap berjalan dinamis tanpa gejolak sehingga pertumbuhan ekonomi nasional dapat terus ditingkatkan dalam masa pemulihan pascapandemi ini.
Mengelola subsidi
Dalam laporan Nota Keuangan APBN Tahun 2022 disebutkan bahwa dalam melaksanakan program pengelolaan subsidi energi, pemerintah menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya distribusi subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg masih bersifat terbuka; belum optimalnya pengawasan terhadap penjualan barang bersubsidi; faktor eksternal dan situasi geopolitik internasional yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi ICP, harga produk BBM, harga produk LPG, serta stabilitas nilai tukar rupiah.
Untuk mengatasi tantangan itu, pemerintah berupaya melanjutkan kebijakan transformasi secara bertahap dari subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi berbasis orang atau penerima manfaat. Dengan metode ini diharapkan pengelolaan subsidi energi dapat lebih tepat sasaran dan lebih efektif dalam mencapai sasaran penurunan kemiskinan dan ketimpangan.
Oleh sebab itu, rencana pemerintah yang berupaya menerapkan aturan pembelian BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar dengan menggunakan aplikasi “Mypertamina” merupakan salah satu cara dalam mengontrol subsidi energi itu. Terlepas dari polemik terkait rencana itu, langkah untuk mengontrol subsidi energi patut untuk diapresiasi. Tanpa pengendalian yang baik dan tegas maka peluang terjadi kebocoran subsidi akan terus terjadi.
Pada produk BBM misalnya, apabila tidak diatur maka kelompok masyarakat yang mampu sekalipun akan relatif mudah membeli atau menikmati komoditas subsidi itu. Terlihat dari jumlah penjualan BBM jenis RON 90 (pertalite) mendominasi konsumsi BBM jenis bensin. Kenaikan RON 90 ini seiring dengan penurunan konsumsi RON 88 (premium) yang semakin diminimalkan jumlah produksinya oleh Pertamina.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa sepanjang ada kesempatan mengkonsumsi energi yang lebih murah (bersubsidi) maka konsumen akan terus memburunya. Meskipun, sebagian besar kendaraan saat ini sudah disarankan untuk menggunakan jenis RON atau angka setana yang tinggi demi efisiensi mesin dan durabilitas kendaraan, tetapi kenyataannya hal tersebut tidak mudah diterapkan di lapangan.
Oleh karena itu, langkah pemerintah terkait subsidi energi itu tersebut harus diimbangi dengan pemberian edukasi dan sosialisasi yang baik kepada masyarakat. Untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama, niscaya niat baik itu akan mendapatkan dukungan dari segenap lapisan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)