Riuh Politik di Tengah Kesulitan Rakyat
Para petinggi partai politik mulai saling bertemu, diikuti para anggota partai yang mulai merapatkan barisan. Semua itu terjadi saat wabah PMK melanda dan harga bahan pangan masih melambung tinggi.
Ilustrasi
Pemberitaan media massa beberapa minggu ini riuh dengan pertunjukan politik di tataran elite. Beberapa partai sudah membentuk koalisi dan nama-nama calon presiden pun makin santer terdengar di ruang publik. Padahal, pemilu dan pilpres masih berselang dua tahun lagi.
Pekan lalu, PDI-P mengadakan rakernas partai guna menegaskan arah partai politik (parpol) dan konsolidasi antaranggota. Dari hasil Pemilu 2019, PDI-P telah mengantongi 22,26 persen kursi DPR sehingga PDI-P menjadi satu-satunya parpol yang berhak mengusung pasangan capresnya sendiri. Konsolidasi ini sangat penting perannya dalam membangun soliditas memenangi pemilu mendatang.
Selagi PDI-P melakukan penguatan internal itu, sejumlah parpol mulai membuka peluang kerja sama dengan parpol lain. Dalam sepekan kemarin, tercatat empat pertemuan yang melibatkan para elite parpol. Agenda utamanya adalah penjajakan menjelang tahun politik 2024. Dari pantauan, Partai Nasdem cukup laris didatangi dengan menerima dua kunjungan parpol. Dari para elite PKS dan Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) beserta jajarannya.
AHY merupakan salah satu ketum parpol yang saat ini terlihat lincah menjajaki kerjasama antarparpol. Selain mendatangi Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, AHY juga “sowan” ke Prabowo Subianto selaku Ketum Partai Gerindra.
Keyakinan diri AHY yang “tinggi” itu bisa jadi terkait dari hasil Survei Litbang Kompas yang menunjukkan kenaikan elektabilitas Partai Demokrat. Partai yang selalu menduduki papan tengah itu, sekarang bergeser naik ke papan atas pada Juni ini. Tingkat keterpilihan Partai Demokrat mencapai 11,6 persen dan hanya selisih sedikit dari posisi kedua yang dihuni Partai Gerindra sebesar 12,5 persen.
Gencarnya agenda politik sejumlah parpol tersebut tidak luput dari perhatian warganet yang diamplifikasi oleh pemberitaan media cetak dan digital. Dari pantauan Litbang Kompas dari aplikasi Talkwalker selama sepekan (19-25 Juni 2022), ditemukan 49,9 ribu percakapan terkait “capres” dan 35,6 ribu percakapan terkait “pilpres”. Jumlah interaksi antarwarganet dari dua kata kunci itu terbilang tinggi, yakni 331,2 ribu interaksi untuk “capres” dan 246,9 ribu interaksi untuk “pilpres”.
Percakapan tertinggi untuk kata kunci “capres” terjadi pada Rabu, 22 Juni 2022 pukul 14.00-15.00 WIB. Tingginya traffic percakapan didorong oleh pemberitaan seputar narasi pengusungan capres dan cawapres potensial. Selain itu, hasil rilis Survei Litbang Kompas terkait elektabilitas kandidat capres dan cawapres menjadi rujukan warganet dan pemberitaan media daring yang akhirnya mengundang interaksi pengguna media sosial lainnya.
Selanjutnya, untuk percakapan dengan kata kunci “pilpres” intensitas tertingginya terjadi pada Kamis, 23 Juni 2022 pukul 19.00-20.00 WIB. Percakapan terpicu oleh pemberitaan media daring tentang kandidat capres maupun koalisi parpol. Pernyataan tokoh ataupun pakar politik, pertemuan antarpartai, serta deklarasi para relawan calon capres menjadi bahan pemberitaan yang banyak dibaca dan dikomentari.
Ironisnya, kemarakan berita tentang perpolitikan itu tampak lebih “terpanggungkan” dan menarik perhatian publik daripada isu-isu yang mengundang keprihatinan. Misalnya saja, tentang kenaikan harga pangan yang berdampak langsung pada masyarakat. Dari awal tahun hingga Juni 2022, setidaknya sudah tiga kali harga sejumlah komoditas pangan naik di pasaran, yaitu pada Februari, April, dan Juni.
Di media sosial, berita kenaikan harga pangan tampak kurang tersorot. Dari periode yang sama, kata kunci “harga pangan” hanya menghasilkan 5,9 ribu percakapan dengan 60,2 ribu interaksi antarapengguna internet. Percakapan di medsos yang didukung oleh pemberitaan media daring ini sempat menginformasikan tentang kenaikan harga sejumlah komoditas pangan di beberapa daerah. Terutama di Pulau Jawa.
Membandingkan kedua fenomena itu, yakni antara kegiatan parpol dan kenaikan harga terkesan sangat kontradiktif. Kepentingan politik tampak mendominasi ruang informasi publik dibandingkan solusi dalam mengatasi permasalahan masyarakat. Pembahasan tentang capres dan pilpres terkesan terlalu dini di tengah sejumlah permasalahan bangsa yang penting untuk dicari solusinya.
Misalnya saja tentang ancaman kenaikan harga komoditas akibat krisis global (invasi Rusia-Ukraina), Covid-19 yang masih mengintai, dan hadirnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Selain itu, ada pula masalah subsidi negara yang bengkak untuk stabilisasi harga pangan dan energi sehingga mendorong penundaan pelaksanaan pajak karbon. Masih banyak lagi permasalah penting lainnya yang menuntut segera terselesaikan.
Tahapan pemilu
Secara terjadwal, KPU akan menggelar pendaftaran dan verifikasi parpol Pemilu 2024 pada 29 Juli - 13 Desember 2022. Untuk pendaftaran capres dan cawapres akan digelar pada 19 Oktober - 25 November 2023. Selanjutnya, masa kampanye Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 28 November 2023 - 10 Februari 2024.
Dari jadwal itu menunjukkan sebentar lagi akan memasuki masa tahapan pemilu. Kurang lebih sebulan lagi akan dibuka pendaftaran dan verifikasi bagi parpol peserta pemilu. Dengan masuknya fase tahapan pemilu ini, umumnya akan disertai dengan meningkatkan narasi-narasi perpolitikan di ranah publik.
Memang, biasanya pembahasan tentang politik, capres, cawapres, dan sejenisnya selalu dimulai jauh lebih awal. Melalui arsip pemberitaan, Litbang Kompas mencatat sejumlah peristiwa penting terkait hal tersebut.
Pertama pada Pilpres 2009, pembicaraan soal capres dan pilpres sudah dimulai sejak Agustus 2006 atau dua tahun sebelum pilpres (8 Juli 2009) diadakan. Pemberitaan Harian Kompas menyebutkan, sejumlah parpol terpantau sudah melakukan kegiatan parpol baik secara internal maupun di tengah masyarakat sebagai ajang pemanasan pilpres.
Narasi capres selanjutnya dipicu oleh pernyataan politisi senior PDI-P Taufiq Kiemas pada Januari 2011 atau tiga tahun sebelum Pilpres 9 Juli 2014. Ia menyatakan bahwa Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri kemungkinan besar tidak akan maju dalam Pilpres 2014. Namun, pernyataan ini ditanggapi oleh Waketum Partai Gerindra Fadli Zon bahwa Megawati tetap berperan penting dalam menentukan calon yang diusung PDI-P.
Pada periode Pilpres 2019, giliran Golkar yang mencuri start dengan deklarasi partai untuk mendukung pemerintah dan mengusung Presiden Joko Widodo pada 28 Juli 2016. Padahal, pilpres selanjutnya baru diadakan pada 17 April 2019 atau kurang lebih dua setengah tahun lagi. Deklarasi itu disampaikan pada penutupan Rapimnas I Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta.
Terakhir, Pilpres 2024 sebenarnya mulai digaungkan sejak muncul hasil survei proyeksi tokoh presiden yang dirilis oleh Indo Barometer dan Politika Research & Consulting bersama Parameter Politik Indonesia. Sejumlah nama seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, dan Ganjar Pranowo menduduki peringkat atas dari kedua survei yang dirilis pada 23 Februari 2020.
Dengan melihat lini masa di atas, maka pembicaraan seputar pilpres maupun capres selalu dilakukan jauh-jauh hari sebelum memasuki tahapan pemilu secara resmi. Bisa jadi, itulah “budaya” politik di Indonesia. Rakyat “terpaksa” menyaksikan pentas politik sembari berjuang sendiri mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Politik untuk rakyat
Pada dasarnya, konsep utama dalam politik ialah urusan-urusan terkait pengabdian pada keluhuran kehidupan bersama. Lagipula, polis (negara-kota) utamanya berakar pada perkara-perkara rakyat, bukan pada ranah politis pemegang kekuasaan. Itulah yang dituangkan filsuf Platon (Plato) dalam karya masyhurnya, Politeia pada 360 SM.
Mengacu pada pemikiran Plato itu maka sudah sepantasnya apabila para politikus dan sosok “negarawan” lebih mengutamakan problem yang terjadi di masyarakat. Daripada sibuk membicarakan sosok, citra, dan kontestasi politik 2024. Namun, konsep demikian bisa jadi kurang begitu diprioritaskan oleh sebagian parpol untuk masa sekarang.
Bagi sejumlah kelompok, Pilpres 2024 sudah di depan mata. Meskipun masih dua tahun lagi, bisa jadi rentang waktu ini sudah terlalu mepet untuk menggalang kekuatan. Tempus fugit, waktu berjalan sangat cepat, lari tunggang langgang, bahkan terbang lalu menghilang. Bisa jadi begitulah konsep “waktu” bagi para elite politik. Bila tidak segera, maka kalah pada percaturan politik mendatang. Jadi, kinerja parpol yang berada di jajaran eksekutif pemerintahan kurang begitu populer dibandingkan kinerja politik dalam menyusun kekuatan dan popularitas menuju pemilu 2024.
Padahal, membicarakan konteks pemilu itu ujung-ujungnya adalah cara memenangkan hari rakyat. Kemenangan sesungguhnya akan teraih ketika segenap permasalahan rakyat terpecahkan dengan beragam solusi. Dengan demikian, rakyat akan sukarela memilih kekuatan-kekuatan politik yang telah turut serta menuntaskan permasalahannya.
Oleh sebab itu, dukungan para elite politik kepada pemerintah dalam menuntaskan perkara-perkara riil di masyarakat menjadi kunci penting untuk memenangkan kontestasi pemilu ke depan. Bagaimanapun juga, Pemilu dan Pilpres 2024 tidak akan berjalan lancar jika para pemilik hak suara masih terlilit masalah dalam kehidupannya. Apalagi, jika permasalahan itu berefek pada kesulitan hidup dan membuat kosong isi perut sekeluarga. (LITBANG KOMPAS)