Dominasi sektor industri pada perekonomian makro tidak serta-merta mengubah profil pekerjaan mayoritas penduduk Indonesia. Sektor agraris masih menjadi tulang punggung utama penyerapan tenaga kerja.
Oleh
Budiawan Sidik A
·6 menit baca
Masih dominannya sektor agraris sebagai tumpuan lapangan kerja di Tanah Air terlihat dari potret Keadaan Angkatan Kerja Indonesia Agustus 2021. Data Badan Pusat Statistik atau BPS tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerja di sektor pertanian berkisar 37 juta orang. Angka ini menyumbang sekitar 28 persen dari seluruh pekerja secara nasional yang mencapai 131 juta orang. Pekerja pertanian tersebut terdistribusi lagi ke berbagai subsektor, seperti pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
Keberagaman subsektor pertanian itu membuat tingkat kemakmuran petani yang menggelutinya juga beraneka rupa. Ada yang sejahtera, tetapi ada pula yang sebaliknya. Tolok ukur kesejahteraan ini terlihat dari besaran Nilai Tukar Petani (NTP) untuk subsektor masing-masing. Jika nilai NTP di atas 100, dapat dikategorikan petani bersangkutan hidup relatif sejahtera. Namun, jika NTP di bawah 100, dikategorikan belum sejahtera.
Berdasarkan data Statistik Indonesia 2022, NTP secara umum sektor pertanian pada 2021 mencapai 104,94, yang menandakan kondisi petani sudah relatif sejahtera. Namun, jika dilihat untuk subsektor masing-masing, angka NTP-nya bervariatif. Dari keempat subsektor itu, hanya pertanian tanaman pangan dan peternakan yang memiliki besaran NTP di bawah 100. Untuk subsektor lain seperti perkebunan dan hortikultura, angka NTP-nya lebih dari 100. Bahkan, untuk subsektor perkebunan rakyat, NTP-nya 120, yang artinya relatif sangat sejahtera.
Salah satu penyebab rendahnya NTP itu adalah kenaikan harga barang produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi petani. Akibatnya, pendapatan petani tidak sebanding karena lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Besarnya pengeluaran ini disebabkan oleh beberapa hal.
Salah satunya karena kenaikan harga sarana produksi tani, seperti bibit, pupuk, obatan-obatan, pakan ternak, dan sejenisnya. Di sisi lain, harga jual komoditas tidak meningkat cukup signifikan karena pada saat yang sama juga terjadi oversupply sehingga harga cenderung stabil dan bahkan menurun. Selain itu, juga adanya fenomena harga barang-barang kebutuhan umum mulai merangkak naik seiring dengan tiba musim panen.
Kondisi tersebut tentu saja akan memberatkan petani karena potensi kerugiannya sangat besar. Terutama petani subsisten yang hanya memiliki luasan lahan yang relatif sempit ataupun ternak yang jumlahnya sedikit.
Oleh karena itu, wajar jika regenerasi petani menjadi kian sulit. Anak petani mayoritas menghindari pekerjaan orangtuanya. Fenomena ini juga tertangkap dari hasil survei Litbang Kompas pada 26 Mei-4 Juni 2022. Saat ini hanya 55,2 persen responden yang mengungkapkan ada pemuda di daerahnya yang masih mau menjadi petani.
Kondisi demikian juga membuat peluang terjadi alih fungsi lahan pertanian membesar. Mempertahankan lahan itu pun tidak akan berhasil optimal karena jumlah sumber daya manusia petani kian sedikit dan menua. Akibatnya, produktivitas pertanian kian menurun dan tidak efisien.
Terkecil
Fenomena itu membuat kemajuan sektor pertanian khususnya tanaman pangan menjadi sangat lamban. Meski kontribusi sektor pertanian bagi produk domestik bruto (PDB) rata-rata masih sekitar 13 persen setahun, ternyata jika dilihat lebih dalam, ada ancaman terhadap ketahanan pangan nasional.
Pertumbuhan PDB sektor pertanian pada kurun 2018-2021 rata-rata per tahun kurang dari 3 persen. Angka itu lebih kecil daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Ironisnya lagi, yang tumbuh paling kecil adalah subsektor tanaman pangan yang hanya naik sebesar 0,4 persen setahun.
Hal itu mengindikasikan penyediaan komoditas pangan tidak sejalan dengan kebutuhan nasional. Permintaan lebih tinggi daripada ketersediaan jumlah barang. Kondisi demikian berpotensi mendorong muncul permintaan impor barang dari luar negeri guna memenuhi suplai domestik. Terbukti, sejak beberapa tahun silam RI mulai rutin mendatangkan beberapa komoditas pertanian dari sejumlah negara di dunia. Di antaranya adalah produk tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan.
Pada kurun 2017-2020, komoditas pangan yang paling penting diimpor Indonesia adalah beras, jagung, kedelai, dan gandum, dengan total impor rata-rata 14 juta ton dengan nilai 3,62 miliar dollar AS setahun. Keempat komoditas ini sangat krusial karena berhubungan dengan konsumsi harian masyarakat. Beras untuk makanan pokok, jagung sebagian untuk industri pakan ternak dan industri makanan, kedelai mayoritas untuk industri tahu dan tempe, serta gandum untuk industri pengolahan makanan.
Selanjutnya, untuk komoditas perkebunan yang paling banyak diimpor Indonesia adalah produk gula dan turunannya. Setiap tahun, kita mengimpor gula rata-rata 4,3 juta ton dengan nilai setidaknya 1,7 miliar dollar AS.
Besarnya impor gula ini berkaitan erat dengan tingginya permintaan dari industri pengolahan makanan. Seperti halnya dengan gandum dan jagung, masifnya industri pengolahan makanan di Indonesia membuat permintaan sejumlah komoditas pertanian melonjak tinggi. Ini termasuk produk-produk hasil peternakan, seperti daging, susu, dan telur.
Setiap tahun, RI mengimpor sapi untuk keperluan suplai daging hingga lebih dari 400.000 ton. Untuk susu sapi berkisar 280.000 ton dan telur 1.700-an ton. Nilai impor setiap tahun ketiga komoditas ini hampir mendekati 700 juta dollar AS.
Membangun asa
Tingginya impor sejumlah komoditas pertanian tersebut harusnya menjadi penyemangat bagi pemerintah untuk serius memajukan pertanian nasional. Pertanian domestik harus mampu menyuplai kebutuhan bahan baku bagi industrialisasi itu. Hasil survei Litbang Kompas Juni 2022 juga menangkap sejumlah tindakan yang perlu dioptimalkan untuk mencapai ketahanan pangan.
Langkah-langkah itu mulai dari peningkatan kapasitas produksi tanaman pangan, pengembangan pertanian modern, penguatan sistem logistik pangan, hingga diversifikasi pangan lokal. Strategi lain, meningkatkan produksi tani disertai sejumlah pendampingan.
Pendampingan tersebut mulai dari memberikan penyuluhan kepada kelompok tani, membantu tata kelola usaha tani, permodalan, memberikan subsidi sarana produksi, hingga evaluasi. Selanjutnya, juga membantu mencarikan pasar untuk komoditas-komoditas yang dibutuhkan industri pangan tersebut.
Akan lebih efektif lagi jika disertai upaya menjalin kerja sama dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait. Para investor di bidang industri pangan diajak untuk menjalin kemitraan dengan sejumlah kelompok petani di beberapa wilayah Indonesia guna memproduksi bahan baku yang diperlukan. Tentu saja hal ini juga melibatkan pemerintah selaku pemangku kebijakan untuk mendorong terjadinya simbiosis mutualisme itu.
Apabila hal ini terwujud, harapan membangun asa bagi ketahanan pangan dan pertanian nasional terbuka lebar. Petani subsisten tetap hidup dan melestarikan tradisi taninya. Muncul generasi-generasi baru yang mau mengoptimalkan produksi pertanian. Pada titik ini, negara dapat mulai memperluas lahan-lahan pertanian baru seiring dengan tingginya animo pengembangan pertanian.
Lahan-lahan yang mangkrak dapat ”dihidupkan” kembali dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu untuk dibudidayakan. Terakhir, pemerintah terus memantau dan mengevaluasi sehingga proses budidaya pertanian mulai dari on farm hingga off farm sesuai spesifikasi kebutuhan dunia industri.
Dengan terciptanya rangkaian hulu-hilir tersebut, diharapkan memberikan dampak yang sangat besar bagi kemajuan perekonomian nasional. Selain menyejahterakan petani, juga mendorong kemajuan industrialisasi lebih masif lagi. Apalagi, subsektor industri pengolahan makanan menjadi unit usaha yang memberikan kontribusi terbesar di antara sektor industri pengolahan.
Pada tahun 2017-2021, kontribusi subsektor industri pengolahan makanan ini menyumbang sekitar 6,5 persen bagi PDB nasional atau sekitar Rp 1.000 triliun per tahun. Nominal ini jauh mengalahkan akumulasi kontribusi industri migas dan pertambangan.
Jadi, jika sektor pertanian tersebut dikembangkan secara sungguh-sungguh, peluang berswasembada untuk sejumlah komoditas pangan menjadi sebuah keniscayaan. Dapat membudidayakan komoditas pertanian unggulan yang mampu diekspor dan memberikan devisa yang sangat besar seperti halnya kelapa sawit hanyalah soal waktu belaka. Indonesia dapat berdaulat di atas tanah pertaniannya sendiri. (LITBANG KOMPAS)