Ada Perbaikan Kemudahan Berusaha tetapi Belum Merata
Kemudahan berusaha pada tahun 2022 dinilai positif oleh masyarakat. Meskipun demikian, kemudahan pengurusan perizinan berusaha dan akses permodalan dianggap belum merata.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·5 menit baca
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode Juni 2022, mayoritas responden (48,9 persen) menilai pengurusan perizinan berusaha di kota/kabupaten mereka relatif mudah. Kemudahan dalam mengurus izin usaha ini terkait dengan prosedur, waktu, dan biaya.
Kemudahan pengurusan izin usaha dirasakan hampir semua lapisan kelompok masyarakat. Persepsi kemudahan paling kuat terasa pada kelompok masyarakat kelas atas (60 persen), sementara persepsi kesulitan mengurus perizinan usaha paling kuat terekam pada kelompok masyarakat bawah (33,2 persen).
Pengurusan perizinan menjadi salah satu indikator kemudahan berusaha suatu negara. Semakin efisien pengurusan perizinan berusaha, semakin besar pula daya tarik investasinya. Hal ini pula yang mendasari pemerintah berkali-kali merombak regulasi dan memangkas prosedur perizinan.
Upaya paling kentara tampak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diresmikan pada 2020. Upaya pemerintah memperbaiki pengurusan izin usaha, terutama dengan UU Cipta Kerja, mendapat respons positif, yang tecermin pada tingginya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah daerah dalam menyediakan perizinan berusaha (57,3 persen).
Selain perizinan, kemudahan berusaha juga diukur dari kemudahan mendapatkan modal usaha. Mayoritas responden (45,3 persen) masih sulit mendapat modal untuk memulai atau mengembangkan usaha. Akses permodalan dirasakan paling sulit didapat oleh kelompok masyarakat bawah. Sebaliknya, kelompok masyarakat atas merasa paling mudah mendapatkan modal usaha.
Kemudahan berusaha di Indonesia saat ini berimbas ke realisasi investasi. Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada Januari-Maret 2022 mencapai Rp 282,4 triliun, atau naik 28,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.
Peraturan Kepala BKPM Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana strategis BKPM Tahun 2020-2024 menetapkan, target realisasi investasi tahun 2022 senilai Rp 968,4 triliun. Target tersebut sudah terealisasi 29,2 persen pada triwulan I-2022.
Realisasi target tersebut sejalan dengan optimisme para pelaku usaha. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas periode Desember 2021-Januari 2022 menunjukkan, para pelaku usaha optimistis, kemudahan berusaha di Indonesia sepanjang tahun 2022 akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Responden survei optimistis bahwa indikator kemudahan berusaha berdasarkan indeks kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) akan mengalami perbaikan tahun ini.
Beberapa indikator yang dinilai akan membaik adalah dalam kemudahan memulai berusaha, perizinan konstruksi, mendapat pasokan listrik, pendaftaran properti, memperoleh kredit, pembayaran pajak, dan perdagangan lintas negara. Sebaliknya, pesimisme menonjol pada indikator penegakan kontrak, penyelesaian kepailitan, dan perlindungan investor minoritas.
Belum merata
Jika dicermati, kemudahan berusaha dinilai masih belum merata di semua wilayah Indonesia. Pengurusan perizinan usaha di wilayah Bali dan Nusa Tenggara dianggap relatif lebih sulit dibandingkan dengan wilayah lain (39 persen). Responden menilai, pengurusan perizinan usaha paling mudah tercatat di Sulawesi (52,7 persen), kemudian Maluku-Papua (51,5 persen) dan Jawa (49,6 persen).
Kemudahan pengurusan izin usaha ini akan memengaruhi realisasi investasi di suatu wilayah. Mengutip data BKPM, realisasi PMA dan PMDN di Bali dan Nusa Tenggara pada Januari-Maret 2022 sebesar Rp 8,2 triliun, atau naik tipis sebesar 7,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.
Sementara itu, realisasi investasi di Sulawesi melonjak sejalan dengan tingginya persepsi masyarakat terkait kemudahan pengurusan perizinan usaha di sana. BKPM mencatat, realisasi PMA dan PMDN di Sulawesi selama Januari-Maret 2022 sebesar Rp 31,7 triliun, atau naik 57,1 persen dibandingkan dengan Januari-Maret 2021.
Selain realisasinya naik, kontribusi terhadap total investasi juga semakin tinggi. Investasi di Sulawesi berkontribusi 11,3 persen dari total investasi Januari-Maret 2022. Investasi didominasi sektor pertambangan, makanan dan minuman, karet dan plastik, serta mineral nonlogam.
Kemudahan berusaha yang belum merata di Indonesia juga tecermin pada akses permodalan. Wilayah yang dinilai paling mudah mendapatkan modal usaha adalah Kalimantan (52 persen) dan Jawa (41,7 persen). Sebaliknya, wilayah yang paling sulit mendapatkan modal usaha adalah Sumatera (57,1 persen).
Belum meratanya akses permodalan mesti dilihat dari berbagai aspek, mulai dari tingkat literasi keuangan, akses masyarakat ke perbankan, hingga fasilitas suntikan modal yang ditawarkan. Hasil survei Bank Indonesia tahun 2021 menunjukkan, sekitar 69,5 persen UMKM di Indonesia belum mendapat kredit atau modal dari bank.
Kemudahan pengurusan perizinan dan akses permodalan yang tidak merata menjadi satu dari banyak akar penyebab ketimpangan antarwilayah. Semakin sulit pengurusan izin usaha dan permodalan, semakin lemah daya tarik investasinya. Padahal, setiap wilayah memerlukan investasi untuk menggeliatkan perekonomian.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, setiap kenaikan investasi sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3 persen dengan penciptaan lapangan kerja rata-rata 0,16 persen dan penyerapan sekitar 75.000 tenaga kerja.
Daya tarik investasi harus tumbuh di wilayah-wilayah luar Jawa. Selama ini, Jawa masih menjadi episentrum dengan proporsi 47,3 persen dari total investasi di Indonesia. Menggeser investasi ke luar Jawa juga menjadi salah satu solusi menyetarakan pertumbuhan ekonomi barat dan timur Indonesia.
Ukuran baru
Kemudahan berusaha sebenarnya bisa diukur dengan beberapa indikator selain dari perizinan dan permodalan. Di Indonesia, sampai tahun 2020, penilaian kemudahan berusaha mengacu pada indeks kemudahan berusaha (EoDB). Namun, Bank Dunia menghentikan penerbitan EoDB pada 16 September 2021.
Dilansir dari laman Bloomberg, Bank Dunia menghentikan penerbitan EoDB karena hasil audit laporan lima tahun terakhir ditemukan penyimpangan data yang memengaruhi peringkat kemudahan berusaha di empat negara. Bank Dunia sedang menyusun pendekatan baru yang dapat dijadikan parameter penilaian iklim investasi bagi pelaku usaha.
Akibat penerbitan EoDB dihentikan, terjadi kekosongan acuan dalam kemudahan berusaha. Sebagai pengganti EoDB, pemerintah berencana menjadikan IMD World Competitiveness Index (IMD) sebagai acuan, yang dipadukan dengan Rule of Law Index (RoLI). Seluruh indikator yang dinilai EoDB dapat terpetakan ke dalam dua indeks tersebut.
Kekosongan acuan bukan alasan untuk berhenti memperbaiki kemudahan berusaha. Potret optimisme dunia usaha merupakan modal bagi pemerintah untuk terus melakukan perbaikan dan pemerataan kemudahan berusaha di Indonesia. Tujuannya, demi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. (LITBANG KOMPAS)