Mengurai Masalah Polusi Udara Ibu Kota
Solusi penanganan kualitas udara yang buruk tidak hanya mengandalkan program kebijakan dari pemerintah semata. Namun, juga memerlukan kesadaran kolektif dari masyarakat untuk mengatasi permasalahan ini bersama-sama.
Polusi udara menjadi salah satu tantangan besar bagi wilayah perkotaan di dunia, termasuk Jakarta. Perencanaan kota dan kesadaran kolektif masyarakat Jakarta sangat dibutuhkan demi menguari masalah kualitas udara perkotaan.
Kualitas udara harian Jakarta tengah mengalami perburukan di level tidak sehat dalam sepekan terakhir. Salah satu polutan yang melonjak tinggi adalah PM 2,5. Pencemar ini berwujud partikel berukuran kurang dari 2,5 mikron yang mengambang di udara. Kadar polutan ini konsentrasinya telah melampui ambang batas yang ditetapkan WHO.
Pantauan melalui IQAir, perusahaan teknologi berbasis di Swiss yang secara rutin mengukur kualitas udara, menunjukkan rata-rata konsentrasi PM 2,5 Jakarta dalam seminggu terakhir mencapai 65,4 mikrogram per meter kubik. Padahal, ambang batas yang ditetapkan WHO maksimal di angka 5 mikrogram per meter kubik.
Bila diamati, polutan PM 2,5 tersebut memiliki pola aktif atau terjadi di siang hari daripada malam hari (diurnal). Pantauan IQAir yang terperinci setiap jam menunjukkan terjadinya perbedaan konsentrasi polutan antara siang dan malam hari. Polutan PM 2,5 mengalami peningkatan pada dini hari hingga sekitaran fajar. Selanjutnya, menurun saat sore dan malam hari. Oleh sebab itu, beberapa kali perburukan kualitas udara ditandai dengan kondisi berkabut abu-abu sekitaran pagi hari saat kadar polutan PM 2,5 meningkat.
Peningkatan kadar polutan tersebut patut diwaspadai. Pasalnya, PM 2,5 dapat dikatakan sebagai partikel pembunuh senyap bagi manusia. Ukurannya mikro yang mencapai puluhan kali lebih kecil dari diameter rambut manusia sehingga bisa menyelinap di celah yang sangat sempit. Mampu menembus masker dan menumpuk pada sistem pernapasan manusia sehingga berpotensi menyebabkan berbagai penyakit.
Ancaman kesehatan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi udara yang sangat polutif. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kondis udara di Jakarta sangat sarat dengan polutan. Di antaranya berkaitan dengan aktivitas residensial, transportasi, dan juga industri. Penyumbang polusi terbesar adalah asap kendaraan bermotor. Selanjutnya disusul oleh aktivitas pembakaran terbuka dan konstruksi.
Asap kendaraan menjadi biang kerok utama polusi di ibu kota dikarenakan jumlah kendaraan yang sangat berlimpah dan terus bertambah. Berdasarkan data BPS tahun 2020, jumlah kendaraan bermotor yang terdiri dari mobil, bus, truk, dan sepeda motor di Jakarta mencapai 20,22 juta unit. Proporsi terbesar adalah sepeda motor yang mengusai hampir 80 persen populasi kendaraan bermotor. Jumlah sepeda motor ini terus meningkat setiap saat. Bahkan, pada periode 2019-2020 pertumbuhannya mencapai 71 persen.
Fenomena masifnya pertambahan unit kendaraan tersebut kian membebani kualitas udara ibu kota. Peluang udara bermutu baik menjadi semakin jarang sehingga rawan mengganggu kesehatan. Menurut catatan WHO, hanya satu persen populasi manusia yang hidup di area dengan kualitas udara baik. Sisanya, harus berjuang hidup di tengah polusi udara. Estimasi kematian mendadak akibat pencemaran udara mencapai 4,2 juta jiwa di seluruh dunia. Angka ini belum termasuk yang mengalami penyakit jantung, kanker paru-paru, dan juga gangguan akut sistem pernapasan.
Oleh sebab itu, buruknya kualitas udara di Jakarta dan juga kota-kota lainnya di seluruh dunia menjadi pengingat bahwa masih dibutuhkan sejumlah solusi yang efektif dalam mereduksi polusi. Beberapa program sudah diluncurkan oleh pemerintah baik pusat ataupun daerah untuk memperbaiki kualitas udara. Namun, kasus udara buruk tetap saja terjadi beberapa kali.
Kebijakan kota
Sejak lama polusi udara menjadi permasalahan laten wilayah perkotaan. Sejumlah program penanganan kualitas udara telah dilakukan, tetapi tetap saja terjadi kasus pencemaran udara. Kondisi demikian tentu sangat membahayakan masyarakat yang tinggal di area kota. Guna meredam dampak buruk itu sejumlah program telah diimplementasikan.
Salah satu program pengendalian kualitas udara adalah pembangunan ruang terbuka hijau (RTH). Konsep RTH menggambarkan kesatuan wilayah yang didominasi pepohonan untuk menyerap emisi dan menyediakan ruang publik. Sayangnya, Jakarta belum mampu memenuhi standar minimum 30 persen wilayahnya untuk RTH.
Hingga awal tahun 2022 ini, luasan RTH hanya sekitar 5 persen dari luas total kota Jakarta. Keterbatasan lahan RTH ini kemudian disiasati dengan menambah jumlah pohon di wilayah kota. Semakin banyak pohon maka keseimbangan mikroklimat kota dan sistem ekologi secara terpadu dapat terjaga.
Solusi lain yang ditawarkan untuk mengatasi pencemaran udara di perkotaan adalah menambah transportasi umum. Termasuk di dalamnya membangun sistem integrasi antarmoda transportasi dengan jangkauan area yang luas. Hanya saja, kebijakan tersebut belum diimbangi pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi sehingga emisi buangan dari kendaraan terus meningkat mencemari udara.
Selain kedua program tersebut, program lain yang dilakukan adalah kampanye untuk membumikan pola hidup hemat energi. Namun, signifikansi keberhasilan program ini belum terlihat. Konsumsi energi harian masyarakat berbasis energi fosil masih tinggi. Salah satu contohnya adalah belum banyak masyarakat yang mau beralih menggunakan moda transportasi massal. Penggunaan kendaraan pribadi masih sangat tinggi sehingga emisi karbon yang menyumbang polusi masih sangat masif.
Belum efektifnya beberapa program pengendalian kualitas udara tersebut mengindikasikan bahwa memang tidak mudah mencari solusi atas permasalahan lingkungan yang kompleks itu. Melalui studi perkotaan, dapat dipahami bahwa beban kota metropolitan seperti Jakarta sangatlah berat. Pembangunan masif terjadi disertai peningkatan jumlah penduduk dan populasi kendaraan yang meningkat pesat. Perlu solusi kebijakan yang progresif dalam penataan wilayah. Salah satunya dengan membagi beban pembangunan ke daerah penyangga sekaligus menambah ruang hijau.
Sayangnya, kawasan penyangga yang diharapkan sebagai ruang perbaikan daerah ibu kota ternyata juga memiliki pola pembangunan wilayah yang mirip Jakarta. Kondisi ini justru akan menambah beban dan memperburuk kualitas udara. Polutan udara yang dihasilkan wilayah penyangga akan terkumpul dan mengepung Jakarta sebagai titik pusatnya.
Oleh karena itu, sebagai langkah mitigasi perlu segera memasukkan agenda pembangunan RTH di wilayah penyangga, yakni minimal 30 persen dari luasan total. Nantinya, dengan kondisi wilayah sekitar Jakarta yang lebih hijau tentunya mampu mengurangi beban polusi secara bersama-sama baik kawasan penyangga ataupun ibu kota. Dengan begitu, Jakarta dapat secara bertahap memperbaiki kualitas lingkungannya sehingga setara dengan kawasan penyangganya suatu saat nanti.
Kesadaran kolektif
Solusi penanganan buruknya kualitas udara itu tentu saja tidak hanya mengandalkan pembangunan fisik semata. Salah satu poin penting dalam keberhasilan pembangunan adalah tercapainya kesadaran kolektif masyarakat tentang kondisi yang tengah dihadapi saat ini.
Pencemaran udara oleh polutan PM 2,5 di Jakarta perlu dipahami oleh setiap individu bahwa kondisi saat ini sudah terlampau berat untuk diselesaikan dengan cara-cara biasa tanpa ada kerja-kerja kolektif. Bahan pencemar yang dilepas ke udara oleh berbagai aktivitas manusia telah menyeret semua orang ke situasi yang sama, yaitu terkepung di tengah-tengah polusi.
Apabila dibiarkan, maka secara perlahan kualitas hidup manusia makin tergerus. Kehidupan sehari-hari akan terganggu karena kotornya udara sehingga produktivitas individu menurun. Hal tersebut diperparah dengan munculnya berbagai penyakit akut. Artinya, manusia tengah mengalami kematian perlahan karena polusi udara tanpa disadari.
Oleh sebab itu, perlu soliditas kesadaran kolektif masyarakat yang mampu mendorong terbentuknya aksi-aksi kolektif serupa. Ada sejumlah aksi kolektif yang setidaknya dapat dilakukan oleh sebagian penduduk Jakarta dan masyarakat di kawasan penyangga ibu kota. Di antaranya lebih memilih kendaraan umum daripada kendaraan pribadi, menanam pohon atau tanaman lain di sekitar tempat tinggal, dan aktif melakukan tindakan persuasif ke orang lain terkait aksi peduli lingkungan.
Dengan upaya kolektif demikian maka langkap mitigasi masyarakat dalam menekan bahaya buruk kualitas udara dapat diakselerasi pencapaiannya. Di sisi lainnya, juga meringankan beban pemerintah yang tengah berupaya mengatasi segenap permasalah terkait buruknya kualitas lingkungan. (LITBANG KOMPAS)