Keluh-kesah Kualitas Udara Ibu Kota di Media Sosial
Langit Jakarta berwarna abu-abu seperti kabut di pagi hari beberapa saat lalu menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat. Seperti fenomena sebelumnya, dugaan pun kembali mengarah pada kualitas udara yang tengah buruk.
Dalam dua pekan terakhir, DKI Jakarta kembali tercatat sebagai daerah berkualitas udara terburuk sedunia, yakni pada Rabu (15/6/2022) dan Senin (20/6/2022). Masyarakat mulai mengeluhkan kualitas udara itu melalui media sosial sejak minggu lalu. Kepada pemerintah, masyarakat menuntut agar haknya untuk hidup sehat dan menikmati udara bersih di ibu kota bisa terpenuhi.
Pada Rabu (15/6/2022), langit Jakarta tampak berwarna abu-abu seperti kabut di pagi hari. Fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya dan terdiskripsikan dalam unggahan status warganet di sejumlah media sosial. Sebagian besar mempertanyakan apakah hal tersebut berkaitan dengan langit mendung atau akibat polusi.
Pertanyaan itu patut dimaklumi. Pasalnya, bukan sekali ini saja langit Jakarta tampak berkabut seperti itu. Fenomena tersebut biasanya berkaitan dengan kualitas udara yang buruk. Tidak heran jika masyarakat menduga-duga bahwa kondisi langit yang berkabut itu akibat polusi udara.
Dugaan itu ternyata terbukti benar. Indikasinya terlihat dari pengukuran Indeks Kualitas Udara Ibu kota. Pada pukul 09.50 tercatat berada di angka 183 US AQI dengan PM 2,5 sebesar 118 mikrogram per meter kubik dan PM 10 sebesar 20,6 mikrogram per meter kubik.
Dengan kondisi udara yang tergolong tidak sehat tersebut, DKI Jakarta tercatat sebagai daerah dengan kualitas udara terburuk pada saat itu. Setelah diukur sepanjang hari, indeks kualitas udara Jakarta pada Rabu (15/6/2022) tercatat mencapai besaran 163. Angka ini menjadi yang tertinggi dan sekaligus menandai kualitas udara terburuk dalam sebulan terakhir.
Rata-rata indeks kualitas udara dalam sebulan belakangan berada pada skor 120 dengan kategori ”tidak sehat bagi kelompok sensitif”. Merujuk pada tren pendataan sebulan, indeks kualitas udara berada pada kategori ”tidak sehat” terjadi selama tujuh hari berturut-turut mulai Selasa (14/6/2022) hingga Senin (20/6/2022). Pada Selasa, skor berada di angka 152 dan Senin skor naik sedikit menjadi 156.
Setelah muncul pemberitaan soal buruknya kualitas udara, sejumlah warganet langsung bereaksi melalui akun media sosialnya. Hal ini terlihat dari tren percakapan soal udara Jakarta di media sosial yang terekam pada aplikasi Talkwalker pada 15 Juni hingga 22 Juni 2022.
Pembicaraan tentang udara Jakarta seketika memuncak pada Senin (20/6/2022). Topik tentang udara Jakarta diperbincangkan sebanyak 12.100 kali dan mendapat interaksi lebih dari 206.900 pengguna internet. Media sosial dan situs-situs media daring yang memberitakan tentang kondisi udara di Jakarta menjadi sarana publik khususnya masyarakat Ibu kota untuk berkeluh kesah.
Dari perbincangan tersebut terlihat keluhan akan kondisi udara Jakarta yang buruk menjadi salah satu isu utama. Meskipun secara jumlah kalah dari topik lainnya, tetapi kualitas udara buruk juga menjadi topik yang menarik atensi dari masyarakat luas.
Fenomena yang sudah kerap terjadi itu akhirnya mendorong munculnya sejumlah kritikan dan keluhan dari warganet yang ditujukan kepada pemerintah selaku pemangku kebijakan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah DKI Jakarta hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi sorotan utama atas hal itu. Hal ini dibuktikan dengan akun Twitter Anies Baswedan (@aniesbaswedan) menjadi salah satu akun yang paling banyak disebut (mention) warganet.
Kritikan kepada pejabat publik tersebut tidak serta merta langsung meniadakan permasalahan yang dikeluhkan. Terbukti, pada Senin (20/6/2022), kualitas udara di Jakarta kembali memburuk seperti beberapa hari sebelumnya, yakni Rabu (15/6/2022). Bahkan, dengan kondisi yang semakin tidak sehat. Indikasinya terlihat dari indeks kualitas udara yang memiliki skor 192 pada pukul 07.36. Besaran indeks ini merupakan yang terbesar dalam kurun sebulan ini mengalahkan indeks kualitas udara pada Rabu sebelumnya yang sebesar 183 pada pukul 09.50. Kualitas udara buruk kian mengancam kesehatan warga ibu kota.
Gugatan
Sejumlah kritik dari warganet berisi permintaan tanggung jawab dari Pemda DKI Jakarta atas kualitas udara yang memburuk. Pertanggungjawaban tersebut didasarkan pada sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mengatasi buruknya kualitas udara di Jakarta. Kebijakan itu dinilai belum terlihat dampaknya hingga saat ini.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam instruksi gubernur itu tertulis tujuh strategi untuk mengendalikan kualitas udara di DKI Jakarta. Beberapa di antaranya adalah menyelesaikan peremajaan angkutan umum melalui program Jaklingko, memperluas kebijakan ganjil genap, dan memperketat ketentuan uji emisi bagi kendaraan pribadi. Selain itu, juga mendorong peralihan ke moda transportasi umum, memperketat pengendalian sumber polutan, serta mempercepat peralihan ke energi terbarukan.
Infografik Lima Konten Terpopuler Terkait Pembicaraan Udara Jakarta
Warganet juga mempertanyakan efektivitas Program Jakarta Langit Biru yang secara bertahap sudah diimplementasikan pada sejumlah sektor seperti transportasi. Salah satu yang telah diterapkan adalah peralihan ke energi terbarukan dengan penggunaan transportasi umum listrik pada bus Transjakarta. Meski demikian, hal tersebut dirasa kurang berdampak terhadap lingkungan.
Kekecewaan publik atas kurang maksimalnya pengendalian kualitas udara yang tertuang melalui media sosial tersebut adalah bagian kecil dari keluh kesah warga DKI Jakarta selama ini. Jauh sebelumnya, ada 32 warga yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota mengajukan gugatan soal polusi udara Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juli 2019.
Dalam gugatannya, warga menuntut pemerintah merevisi baku mutu udara ambien dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, pemerintah juga diminta menjamin hak lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk masyarakat.
Sebagian permohonan oleh warga dikabulkan pada 16 September 2021. Majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan tujuh pejabat negara termasuk Presiden dan Gubernur DKI Jakarta bertanggung jawab atas pencemaran udara di Jakarta. Namun, empat tergugat dari pemerintah pusat melayangkan banding atas putusan tersebut. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta menyatakan tidak banding dan siap menjalankan putusan pengadilan.
Penggugat kecewa dengan tindakan banding yang dilakukan sebagian tergugat tersebut. Alih-alih menjalankan putusan yang urgen dilakukan untuk menjamin hak dan kualitas hidup warga, tindakan banding itu justru memperlambat pengendalian kualitas udara.
Pengendalian
Segala kritik, tuntutan, dan gugatan itu sejatinya tidaklah berlebihan apabila melihat kondisi udara DKI Jakarta yang senyatanya belum menunjukkan perbaikan. Kualitas udara masih jauh dari standar dunia yang ditetapkan WHO.
Salah satu contohnya adalah pengukuran PM 2,5 yang merupakan salah satu komponen penentu tingkat pencemaran udara. WHO menetapkan standar harian konsentrasi PM 2,5 adalah 15 mikrogram per meter kubik. Angka patokan ini terpaut cukup jauh dengan kondisi di Jakarta. Pada musim hujan, konsentrasi rata-rata harian PM 2,5 di Jakarta mencapai 33,7 mikrogram per meter kubik. Pada musim kemarau angkanya melonjak lebih tinggi lagi menjadi 59,7 mikrogram per meter kubik. Artinya, menurut standar WHO kualitas udara di DKI Jakarta sangat buruk.
Buruknya kualitas udara tersebut dipicu oleh kondisi udara yang tercemar. Penyebabnya dapat dilihat dari hasil pengukuran PM 2,5 pada beberapa sumber polutan. Menurut studi Vital Strategies pada 2018-2019 pada tiga titik di DKI Jakarta, sumber utama pencemaran udara adalah asap knalpot kendaraan, pembakaran batu bara, pembakaran terbuka, debu jalan, dan partikel tanah yang tersuspensi.
Kualitas udara yang buruk memang menjadi permasalahan yang sulit untuk diatasi. Tidak hanya Jakarta, tetapi juga kota-kota besar lainnya di dunia. Perlu usaha yang sungguh-sungguh dan juga penerapan kebijakan pemerintah yang tegas guna mengontrol polusi udara yang mengotori lingkungan.
Apabila hal tersebut diabaikan, taruhannya sangatlah besar. Ancaman kesehatan yang dapat membahayakan kehidupan dan menurunnya kualitas SDM adalah keniscayaan yang akan diterima dari kondisi lingkungan berkualitas buruk.
Oleh sebab itu, keluhan warga Jakarta saat langit berkabut pada 15 Juni 2022 lalu dapat menggerakkan pemerintah beserta segenap lapisan masyarakat untuk lebih peduli pada kualitas lingkungan. Dengan peduli terhadap lingkungan, tidak hanya akan meyelamatkan satu wilayah kota saja, tetapi juga seluruh semesta. (LITBANG KOMPAS)