Survei Litbang ”Kompas”: Membaca Peluang Partai Politik Baru
Partai politik baru akan dihadapkan sejumlah tantangan untuk bisa lolos menjadi peserta pemilu. Popularitas yang masih rendah menjadi ujian pertama bagi sang pendatang baru.

Ratusan bendera partai politik terpasang di pinggir jalan di kawasan Karangrejo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sabtu (8/2). Menjelang pemilu, partai politik melakukan sosialisasi, salah satunya pemasangan bendera partai secara masif di berbagai sudut kota.
Mendongkrak popularitas menjadi agenda terbesar dan utama bagi partai politik pendatang baru guna merebut perhatian dan simpati pemilih pada Pemilu 2024 nanti. Memori pilihan publik terhadap partai masih didominasi oleh partai-partai politik lama. Tantangan yang tidak mudah bagi partai politik baru.
Kesimpulan ini terekam dari hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2022 yang merekam bagaimana penerimaan publik akan kehadiran partai politik baru menjelang perhelatan pemilu lima tahunan ini. Mayoritas responden (78,9 persen) dalam survei belum banyak yang mengetahui nama-nama partai politik baru.
Popularitas yang masih rendah pada akhirnya juga berdampak pada tingkat keterpilihan yang masih jauh dibandingkan dengan partai-partai politik yang selama ini sudah berpengalaman menjadi peserta pemilihan umum.
Popularitas partai-partai baru di mata publik memang masih belum stabil, naik turun.
Pada survei Litbang Kompas, Juni ini, tercatat hanya 21,1 persen responden yang mengaku mengetahui partai politik baru. Angka ini sebenarnya relatif menurun dibandingkan dengan survei pada Januari lalu yang berada di angka 28,2 persen. Padahal, jika dibandingkan dengan survei Oktober 2021, angka pada Januari itu sudah relatif meningkat.
Artinya, popularitas partai-partai baru di mata publik memang masih belum stabil, naik-turun. Hal ini mengindikasikan, upaya sosialisasi keberadaan partai politik baru bisa saja memang belum optimal ke publik, sehingga tingkat pengenalan publik pada partai-partai baru relatif masih rendah.
Jika mengaku tren tiga survei Litbang Kompas sepanjang sembilan bulan terakhir ini, setidaknya hanya ada 14 nama partai politik yang disebutkan oleh responden, itu pun ada di antaranya adalah partai politik lama yang pernah menjadi peserta pemilu, seperti Partai Nasdem, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya. Tiga yang disebutkan terakhir merupakan partai baru yang pertama kali menjadi peserta pemilu pada Pemilu 2019.

Sementara nama partai politik yang benar-benar baru dan disebutkan oleh responden sebagian memang merupakan nama-nama partai yang masuk daftar 75 partai politik berbadan hukum yang berhak mendaftar sebagai peserta Pemilu 2024 sesuai dengan data dari Kementerian Hukum dan HAM, seperti yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum pada awal April lalu.
Partai-partai itu, di antaranya, adalah Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).
Sementara itu, ada juga partai-partai baru lainnya yang disebutkan responden, tetapi namanya tidak termasuk dalam daftar 75 partai politik tersebut. Partai-partai itu adalah Partai Masyumi, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Nusantara, Partai Usaha Kecil Menengah (PUKM), Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), dan Partai Indonesia Terang (PIT).
Hasil penelusuran Litbang Kompas, nama-nama partai ini memang muncul dalam pemberitaan yang bisa jadi turut memberikan referensi sehingga responden menyebutkan nama-nama partai ini dalam survei.
Baca juga: Ujian Politik Partai Politik Baru
Popularitas
Dari kurang seperempat bagian responden yang tahu soal nama-nama partai politik baru, Partai Gelora paling banyak disebutkan. Dari tiga survei Litbang Kompas, partai yang digawangi oleh mantan petinggi Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta ini konsisten lebih populer dibandingkan dengan partai politik baru lainnya meskipun tingkat popularitasnya naik turun.
Di survei Oktober 2021, popularitas Gelora berada di angka 4,3 persen. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat di survei Januari dengan tingkat pengenalan mencapai 8,4 persen. Sementara di survei Juni 2022, popularitasnya sedikit menurun berada di angka 7,8 persen.

Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta, Sekretaris Jenderal Mahfudz Siddiq, dan petinggi partai lainnya berfoto bersama seusai silaturahmi nasional di Jakarta, 10 November 2019.
Selain Partai Gelora, dua partai politik baru yang relatif lebih banyak dikenal oleh responden adalah Partai Masyumi dan Partai Ummat. Kedua partai ini kerap menjadi bahan pemberitaan media. Partai Masyumi yang kemudian juga disebut sebagai Partai Masyumi Reborn dipimpin oleh Ahmad Yani, mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, tingkat popularitas Partai Masyumi juga mengalami tren peningkatan. Setidaknya dari kelompok responden yang tahu soal partai politik baru, sebanyak 4,6 persen di antaranya tahu soal Partai Masyumi di survei Litbang Kompas, Juni ini.
Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan survei Januari lalu, tetapi tetapi masih berada lebih tinggi dibandingkan dengan survei Oktober 2021.
Kondisi yang sama dialami Partai Ummat. Partai yang didirikan oleh mantan Ketua MPR Amien Rais ini juga mengalami dinamika tingkat popularitas.

Di survei Juni ini, tingkat pengenalan Partai Ummat berada di angka 3,3 persen, sedikit menurun dibandingkan dengan survei Januari lalu, tetapi tetap paling tinggi sejak Oktober 2021 yang saat itu hanya dikenal 2,2 persen pemilih yang tahu soal partai politik baru.
Berpijak dari tren tingkat popularitas partai baru ini, tampak ada gejala yang menguat bahwa publik belum banyak tahu soal partai-partai baru ini. Kerja-kerja sosialisasi dan kampanye ke publik mau tidak mau perlu dilakukan partai baru agar mendapatkan tempat dalam memori publik.
Tentu, ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai pendatang baru sebelum ia harus menghadapi tantangan ”sesungguhnya” di kontestasi pemilu yang berhadapan dengan partai-partai politik lama yang sudah berpengalaman di pemilu.
Baca juga: Partai Baru Berjalan di Lorong Sempit
Tantangan
Selain menggenjot popularitas, sejumlah tantangan lainnya sudah menunggu di depan mata. Pertama, tantangan lolos verifikasi administrasi dan faktual.
Putusan Mahkamah Konstitusi awal Mei 2021 menyebutkan, hanya partai politik baru yang harus melalui proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual untuk bisa menjadi peserta pemilu. Sementara itu, partai politik lama yang sudah lolos ambang batas parlemen cukup melalui verifikasi administratif.
Di tahap verifikasi, faktual inilah umumnya partai politik baru banyak yang gagal melewatinya. Hal ini tidak lepas dari semakin beratnya syarat yang diberlakukan dalam pembentukan partai politik. Salah satunya melalui syarat kepengurusan partai yang di regulasi terakhir lebih berat dibandingkan dengan sebelumnya.

Politisi senior Amien Rais membacakan deklarasi Partai Ummat secara daring melalui akun Youtube Amien Rais Official, Kamis (29/4/2021).
Merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, selain harus memiliki pengurus di semua provinsi di Indonesia, partai politik juga harus memiliki pengurus minimal 75 persen di kabupaten/kota dalam satu provinsi serta 50 persen pengurus tingkat kecamatan dalam satu kota/kabupaten. Di tingkat pusat, kepengurusan partai politik juga harus memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan.
Selain verifikasi faktual, partai politik baru juga akan dihadapkan pada persaingan yang tidak ideal. Hasil survei Litbang Kompas merekam bagaimana mayoritas responden (85,8 persen) lebih condong memberikan pilihan politiknya ke partai politik lama atau sudah pernah mengikuti pemilu.
Hanya kurang 3,6 persen responden yang menjawab akan memberikan kesempatan kepada partai politik baru untuk dipilih di pemilu. Tentu, hal ini tidak lepas dari masih rendahnya tingkat pengenalan responden pada nama-nama partai politik baru yang beredar.
Rendahnya popularitas juga akan berdampak pada minimnya elektabilitas yang pada akhirnya juga semakin menambah beban bagi partai politik baru.

Bendera partai politik dipasang di pinggir Jalan Cinere Raya, Depok, Jawa Barat, Rabu (30/3/2022). Meskipun pemilu masih dua tahun lagi, partai politik mulai melakukan pemanasansalah satunya dengan memasang atribut partai di tempat umum.
Apalagi partai baru juga dihadapkan pada syarat ambang batas parlemen, di mana menurut catatan sejarah pemilu, hampir tidak ada partai politik baru yang lolos ambang batas parlemen ini, bahkan partai politik lama juga harus meninggalkan gedung parlemen.
Hal ini terjadi pada Pemilu 2019. Partai Hanura yang sebelumnya sudah masuk parlemen harus meninggalkan gelanggang DPR setelah gagal memenuhi syarat minimal meraih 4 persen perolehan suara nasional. Partai-partai baru pun di Pemilu 2019 gagal lolos ambang batas ini.
Baca juga: Memahami Identitas Kepartaian dan Pemilih Partai
Peluang
Pertanyaannya, lalu bagaimana peluang partai politik baru? Tentu peluangnya tetap ada. Rekam jejak sejarah mencatat, banyak partai-partai baru yang ikut pemilu meraih dukungan politik, bahkan kursi di parlemen.
Hal ini terutama terjadi di pemilu awal reformasi. Namun, harus diakui, sebagian besar kursi yang diraih masih di tingkatan DPRD karena tidak ada mekanisme syarat ambang batas parlemen, seperti halnya di tingkat DPR.
Peluang ini juga didukung oleh karakter pemilih di Indonesia yang turut memberikan peluang bagi partai politik pendatang baru untuk mendapatkan dukungan.

Di antaranya adalah masih lemahnya identitas kepartaian pemilih sehingga pemilih cenderung bebas memberikan pilihan pada partai politik apa pun. Kecenderungan berganti-ganti pilihan tentu berpeluang terjadi oleh pemilih.
Apalagi dengan sistem pemilu serentak dengan berbagai jenis pemilihan secara bersamaan, peluang terjadi pilihan yang terpisah atau terbagi (split voting) potensial terjadi.
Hal lainnya yang menjadi peluang bagi partai baru adalah adanya fenomena tingginya pemilih mengambang (swing voter). Apalagi, di setiap partai politik yang sudah ada dan pengalaman ikut pemilu, di dalamnya ada karakter-karakter pemilih yang mengambang ini.
Jadi, bisa dikatakan, kehadiran partai politik baru juga bisa merebut pemilih yang selama ini sudah menjadi konstituen dari partai politik lain. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Pergeseran Apresiasi Pemilih Partai pada Kinerja Pemerintah