Survei Litbang "Kompas" : Gejala Pilihan Terpisah Pemilih Partai Politik
Pemilu serentak membuka peluang terjadinya pilihan yang terpisah dari pemilih (”split voting”). Hal ini terutama terjadi ketika pemilih dihadapkan pada dua pilihan yang bersamaan, yakni memilih partai dan presiden.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Gejala kecenderungan pilihan yang terpisah atau terbagi antara partai politik dan presiden ini tampak dari hasil survei Litbang Kompas periode Juni 2022. Hal ini merujuk pada semakin menurunnya tingkat loyalitas pilihan terhadap partai politik dibandingkan dengan survei Januari 2022. Partai-partai yang berbasis pada ketokohan dan karakter ideologi yang kuat cenderung memiliki loyalitas pemilih yang juga besar.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi tiga partai yang masuk dalam kategori partai berbasis ketokohan dan ideologi yang cukup kuat tersebut. Rata-rata tingkat loyalitas dari responden pemilih ketiga partai ini berada di atas 70 persen.
Loyalitas pemilih ini diukur dari konsistensi pilihan responden pemilih pada Pemilu 2019 dengan pilihan mereka jika pemilu dilakukan saat survei digelar. Jika dibandingkan di antara survei Januari 2022 dan Juni 2022, dari ketiga partai ini, PDI-P menjadi partai yang mengalami penurunan tingkat loyalitas pemilih. Pada Januari lalu, loyalitas pemilihnya berada di angka 71,3 persen. Di survei Juni ini, angka loyalitasnya menjadi 68 persen atau menurun 3,3 persen dari survei sebelumnya. Hal yang sama terjadi di PKS yang menurun tipis dari 75 persen menjadi 73,9 persen.
Sementara dari kategori partai dengan tingkat loyalitas paling tinggi ini, hanya PKB yang mengalami kenaikan tingkat loyalitas dari pemilihnya, yakni 78,4 persen di Januari lalu menjadi 81,6 persen di survei Juni ini.
Ketiga partai politik tersebut memang ditopang kekuatan sosok dan karakter ideologi partai. Hasil survei Litbang Kompas merekam, responden pemilih PDI-P lebih banyak mendasarkan pada pertimbangan tokoh yang berpengaruh di dalam partai tersebut sebagai alasan memilih partai ini. Tentu, tokoh berpengaruh ini tak bisa dilepaskan dari sosok Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Menariknya, selain sosok, popularitas partai menjadi alasan kedua yang terbanyak disebutkan responden pemilih partai ini. Tingkat elektabilitas PDI-P yang bertengger paling atas di survei-survei opini publik bisa jadi turut memberikan dampak pada pilihan-pilihan responden terhadap partai politik.
Adapun PKB dan PKS memiliki karakter pemilih yang cenderung sebangun. Kedua partai ini memiliki pemilih yang mendasarkan pada karakter ideologi partai sebagai alasan terbanyak mengapa memilih partai politik ini. Alasan terbesar kedua yang paling banyak disebutkan pemilih PKB dan PKS juga sama, yakni pengaruh tokoh dari partai tersebut.
Pertimbangan ideologi sebagai alasan utama memilih tidak lepas dari PKB yang sampai hari ini lebih dekat dengan afiliasi politik dari warga Nahdlatul Ulama yang selama ini merupakan representasi terbesar dari kekuatan Islam tradisional di Indonesia. Hal yang sama terjadi pada PKS yang dikenal sebagai partai yang berbasis pada pemilih Islam modernis perkotaan. Sebuah partai yang dibangun dan mengakar pada kelompok-kelompok dakwah yang besar di wilayah urban.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Deretan bendera partai politik peserta pemilu serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Sementara itu, partai-partai dengan tingkat loyalitas pemilih di bawah 70 persen cenderung lebih mengedepankan alasan-alasan pilihan yang lebih rasional meski pengaruh tokoh dari partai juga tidak bisa diabaikan sebagai pertimbangan. Partai Gerindra, misalnya, pengaruh sosoknya paling kuat, bahkan hampir separuh alasan pemilihnya memilih partai ini didorong pertimbangan sosok di dalam partai.
Tentu, sosok yang dimaksud tak lepas dari pengaruh sang ketua umum, Prabowo Subianto. Pertimbangan kedua yang paling banyak disebutkan pemilih Gerindra adalah visi dan misi partai.
Gejala yang sama terjadi pada kelompok partai dengan tingkat loyalitas pemilih di bawah 70 persen lainnya, seperti Golkar, Nasdem, Demokrat, PAN, dan PPP. Alasan-alasan seperti program partai dan visi misi partai disebutkan sebagai pertimbangan memilih partai politik oleh sebagian besar pemilih dari masing-masing partai tersebut.
Tentu, loyalitas pemilih yang didasari juga oleh pertimbangan ideologis, kekuatan sosok, dan visi misi partai ini menjadi modal awal bagi partai politik untuk percaya diri berlaga di pemilu nanti. Namun, loyalitas pemilih saja tidak cukup bagi partai politik. Pengajuan calon anggota legislatif dan calon presiden juga turut memengaruhi potensi elektoral dari partai politik.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Apalagi jika dikaitkan dengan sistem pemilihan umum secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden, kecenderungan terjadinya pilihan yang terpisah atau terbagi (split voting) berpotensi besar terjadi. Merujuk konsep ilmuwan politik Mitchell Palmer, fenomena pilihan terpisah atau terbagi ini disebut juga sebagai split ticket voting, yakni praktik di mana pemilih memilih calon yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan.
Dalam konteks pilihan partai politik dan presiden, survei Litbang Kompas merekam, sosok calon presiden yang diusung partai politik berpeluang besar memengaruhi potensi elektoral dari partai. Potensi yang terjadi dari fenomena pilihan yang terbagi ini bisa terjadi dalam dua gejala. Gejala pertama, pemilih bisa tetap memilih partai politik pilihannya di pemilu legislatif. Namun, untuk memilih presiden, ia cenderung memilih sosok calon presiden yang disukainya meski tidak diusung oleh partai politik pilihannya.
Gejala kedua, ada dorongan resistensi dari pemilih. Artinya, pemilih bisa saja tidak memilih partai politik pilihannya karena mengajukan calon presiden yang tidak dikehendakinya. Artinya, ada upaya perlawanan dari pemilih yang ”menolak” calon presiden yang diusung partainya. Selain tidak memilih calon presiden tersebut, pemilih juga tak memilih partai yang mengusung calon presiden itu.
Kedua gejala itu berpotensi terjadi pada Pemilu 2024. Namun, gejala kedua semestinya menjadi lampu kuning bagi partai politik. Gejala kedua inilah yang tertangkap dari hasil survei Litbang Kompas dan menjadi ancaman bagi partai politik pada pemilu serentak nanti. Hal ini terutama terjadi pada potensi tergerusnya pemilih loyal dari masing-masing partai. Loyalitas pemilih yang semula menjadi ”modal awal” partai bisa tergerus jika pilihan partai politik terhadap calon presiden yang diusungnya berbeda jauh dengan aspirasi politik dari pemilih loyalnya.
Survei menangkap, potensi ini berpeluang terjadi ke semua partai politik. Partai-partai yang memiliki loyalitas pemilih di atas 70 persen, seperti PDI-P, PKB, dan PKS, tercatat paling tinggi peluangnya mengalami resistensi dari para pemilih setia mereka. Rata-rata sekitar lebih dari 24 persen pemilih loyal dari ketiga partai ini berpotensi mengalihkan pilihannya ke partai politik lain jika partai mengajukan sosok calon presiden yang tidak dikehendaki mereka.
Hal yang sama terjadi pada partai-partai politik yang memiliki loyalitas pemilih di bawah 70 persen, seperti Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, dan PPP. Tingkat loyalitas pemilih dari partai-partai ini berpeluang menurun jika calon presiden yang diusung partai-partai ini cenderung tidak dikehendaki pemilihnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoblos contoh surat suara saat peluncuran waktu pemungutan suara Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/2/2022).
Namun, rata-rata potensi kehilangan pemilih loyalnya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan ketiga partai yang memiliki pemilih loyal di atas 70 persen. Partai-partai dengan loyalitas pemilih di bawah 70 persen ini terancam kehilangan pemilih setianya rata-rata di angka 22,1 persen jika mengajukan calon presiden yang tidak diinginkan pemilihnya.
Tentu, gejala split voting ini menjadi alarm bagi partai politik dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden nanti. Umumnya, sebagian besar partai politik berharap sosok calon presiden yang diusungnya berdampak elektoral pada partai (coattail effect). Namun, hal sebaliknya justru bisa terjadi dengan potensi munculnya gejala split voting ini. Jangan sampai sosok calon presiden yang diusung justru akan menggerus potensi elektoral dari partai politik itu sendiri.