Meski persoalan minyak goreng sudah dirasakan saat itu, hal itu tak terlalu berpengaruh terhadap penilaian. Ada harapan persoalan cepat terselesaikan. Kepuasan itu menyumbang cukup besar terhadap keseluruhan kinerja pemerintah. Pemerintahan Presiden Jokowi saat itu menuai kepuasan tertinggi, yakni 73,9 persen.
Kini, penurunan kepuasan terhadap kinerja ekonomi pada periode Juni 2022 juga menyumbang terhadap kepuasan secara keseluruhan kinerja pemerintah. Tingkat kepuasan terhadap pemerintahan turun menjadi 67,1 persen.
Persoalan pengendalian harga minyak goreng yang belum tuntas hingga kini menyumbang penurunan kepuasan kinerja bidang ekonomi. Pasalnya, persoalan itu telah berlangsung lebih dari enam bulan. Problem itu juga sangat mendera ekonomi keluarga dan mengganggu citra Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Baca juga: Bauran Kebijakan Diperlukan untuk Redam Lonjakan Inflasi
Inflasi
Inflasi tinggi terjadi selama beberapa bulan terakhir dan mencapai puncaknya pada April 2022, yakni 0,95 persen. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tingginya angka inflasi itu disumbang oleh kenaikan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 1,76 persen.
Dari empat subkelompok pada kelompok ini, subkelompok yang mengalami inflasi tertinggi adalah makanan, yakni 2,05 persen. Komoditas yang dominan memberi andil pada inflasi berturut-turut adalah minyak goreng, daging ayam ras, ikan segar, telur ayam ras, daging sapi, bayam, bawang putih, tahu mentah, tempe, dan gula pasir.
Jika dilihat lebih spesifik, kinerja bidang ekonomi yang menyumbang terhadap penurunan kepuasan publik adalah aspek pengendalian harga barang dan jasa. Aspek ini hanya mendapat nilai kepuasan 31,8 persen, turun 19 persen dibandingkan dengan periode Januari 2022. Angka ini terendah selama periode kedua Presiden Jokowi. Sementara jumlah responden yang menyatakan tidak puas terhadap kinerja ekonomi sangat besar, yakni 64,5 persen.
Jika dilihat lebih spesifik, kinerja bidang ekonomi yang menyumbang terhadap penurunan kepuasan publik adalah aspek pengendalian harga barang dan jasa.
Selain itu, aspek penyediaan lapangan kerja atau mengatasi pengangguran juga mendapat penilaian ketidakpuasan yang tinggi, yaitu sebanyak 54,2 persen. Yang menyatakan puas hanya 40,4 persen responden, turun 9 persen dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Kedua aspek tersebut harus jadi perhatian pemerintah agar pemulihan ekonomi memiliki kualitas yang baik dalam arti dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi tidak berkualitas ketika kemiskinan bertambah karena masyarakat sulit mendapat pekerjaan dan tingginya harga-harga kebutuhan pokok.

Dari hasil survei terlihat bahwa pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada kegiatan ekonomi yang bersifat pembangunan fisik. Hal itu karena dalam aspek memeratakan pembangunan antarwilayah, yang terkait pembangunan infrastruktur, penilaian publik selalu tinggi dari waktu ke waktu. Pada periode ini, kepuasan terhadap aspek ini masih besar, yakni 64 persen.
Kalangan atas
Meski inflasi tinggi, perekonomian Indonesia sesungguhnya sudah di jalur pemulihan yang mengesankan. Perekonomian mulai bangkit sejak triwulan II-2021. Pertumbuhan ekonomi tahunan pada 2021 sudah mencapai 3,69 persen dan peningkatan berlanjut di triwulan I-2022 (5,01 persen).
Fenomena inflasi tinggi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global. Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan, inflasi di Amerika Serikat 8,3 persen dan di Eropa 8,1 persen. Di Indonesia, inflasi tahunan per Mei 2022 di angka 3,55 persen.
Inflasi tinggi terjadi karena ketika pembatasan selama pandemi sudah dibuka/dikurangi, konsumsi masyarakat langsung naik. Permintaan barang bertambah, sementara penyediaan pasokannya belum pulih. Di situlah terjadi kelangkaan barang yang mendorong harga menjadi lebih tinggi.
Selain itu, ada perang Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok global sejumlah komoditas, seperti gas dan gandum. Kenaikan itu merembet ke harga bahan bakar, listrik, dan transportasi.
Jika dilihat latar belakang ekonomi, kondisi harga yang tinggi berpengaruh terhadap semua lapisan masyarakat, terutama kalangan masyarakat bawah. Kalangan menengah dan atas mungkin masih bisa memperoleh barang walau dengan harga yang tinggi, asal barang tersedia. Namun, jika barang yang dibutuhkan tak tersedia atau langka, kalangan menengah dan atas pun akan terdampak atau tidak terpenuhi kebutuhannya.
Baca juga: Zulkifli Hasan Akui Tak Mudah Jaga Stabilitas Stok dan Harga Pangan
Hal inilah yang juga menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan publik dari kalangan menengah dan atas terhadap kinerja ekonomi pemerintah. Hasil survei Kompas memperlihatkan terjadi penurunan kepuasan yang tajam di kelompok responden dari kalangan atas, yakni dari 72,7 persen (Januari 2022) menjadi 51,1 persen (Juni 2022).
Bagi kalangan atas, kenaikan harga yang dirasakan pascapandemi, antara lain, adalah tiket pesawat, harga pertamax, harga makanan di restoran yang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya naik jadi 11 persen, dan rencana kenaikan tarif listrik bagi pengguna daya 3.500 volt ampere ke atas.
Kepuasan yang lebih rendah disampaikan oleh responden dari kalangan menengah ke bawah, yakni turun dari 66,2 persen jadi 49,9 persen. Pada kalangan ekonomi bawah, kepuasan turun dari 66,1 persen menjadi 50,6 persen. Sementara di kalangan ekonomi menengah ke atas, penurunannya tidak terlalu dalam, yakni dari 56 persen menjadi 51,8 persen.
Pada kalangan ekonomi bawah, kepuasan turun dari 66,1 persen menjadi 50,6 persen. Sementara di kalangan ekonomi menengah ke atas, penurunannya tidak terlalu dalam, yakni dari 56 persen menjadi 51,8 persen.
Kalangan ekonomi atas, yang biasanya berpendidikan tinggi, cukup kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama menyangkut bisnis dan kepentingan mereka. Sebab itu, tidak mudah mendapat penilaian puas dari mereka.
Pada awal pandemi, seiring dengan perlambatan ekonomi, kepuasan atas kinerja ekonomi pemerintah dari kalangan atas ada di bawah angka 60 persen. Kepuasan bahkan turun ke titik terendah, yakni 46,7 persen, pada April 2021. Baru setelah perekonomian bangkit pada semester II-2021, tingkat kepuasan dari kalangan ini naik lagi hingga Januari 2022.
Jika kalangan atas saja terpengaruh harga-harga yang tidak bisa dikendalikan, apalagi kalangan bawah yang sumber dayanya terbatas. Namun, jika kalangan bawah mendapatkan perlindungan sosial dari pemerintah, tidak demikian dengan kalangan atas.
Jika kondisi ini berlanjut dan kepuasan terhadap kinerja ekonomi terus turun, sinyal pemulihan ekonomi akan tersendat dan tidak berkualitas. Kerja berat kabinet Jokowi yang baru dirombak untuk mengatasi persoalan agar kepuasan tidak terus menurun.
(LITBANG KOMPAS)