Setelah pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) yang dihadiri pemimpin-pemimpin dunia berlangsung 22-26 Mei 2022 lalu, selanjutnya apa yang akan dilakukan? Apa kaitannya dengan Indonesia?
Oleh
Gianie
·6 menit baca
Pentingnya kerja sama negara-negara di dunia dalam berbagai bidang selalu menjadi tema utama dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia yang diselenggarakan di Davos, Swiss. Namun, tema ini dalam pertemuan tahun ini menjadi lebih penting akibat meningkatnya tensi geopolitik di sejumlah wilayah, terutama perang Rusia terhadap Ukraina.
Pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) telah berlangsung pada 22-26 Mei 2022 lalu. Pertemuan yang pertama kali dilakukan secara fisik sejak pandemi Covid-19 melanda ini diikuti oleh tak kurang dari 2.500 pakar dan pemimpin dunia, termasuk yang hadir secara virtual, yang membicarakan tantangan-tantangan saat ini dan masa depan.
Dunia sekarang dihadapkan pada sejumlah situasi seperti dampak perang Rusia-Ukraina.
Dunia sekarang dihadapkan pada sejumlah situasi seperti dampak perang Rusia-Ukraina, krisis iklim yang memengaruhi kondisi pangan dan kemiskinan, perubahan tuntutan pekerjaan, dan bagaimana mengakhiri pandemi Covid-19 sekaligus bersiap dengan pandemi berikutnya yang mungkin terjadi.
Dalam pertemuan selama lima hari tersebut disimpulkan setidaknya ada enam hal atau agenda utama yang menjadi perhatian bersama untuk ke depannya. Pertemuan Davos 2022 dimulai dengan memberi kesempatan di awal kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk berbicara.
Zelenskyy menyampaikan permohonan bantuan untuk mempersenjatai negaranya secepatnya menuju kemenangan dan membangun kembali negerinya setelah perang usai. Dia juga meminta masyarakat dunia memberikan sanksi maksimum bagi Rusia.
Apa yang terjadi di Ukraina ini mengingatkan negara-negara terutama di Eropa untuk bersatu. Saat ini adalah momen tepat dan penting bagi Eropa untuk menginisiasi perdamaian. Elemen-elemen bisnis, pemerintahan, organisasi internasional, dan masyarakat sipil harus menggalang kerja sama sebagai bagian dari solusi konflik.
Kerja sama global harus dibangun kembali setelah tahun-tahun yang mengalami erosi. Hal ini menjadi pesan atau tema pertama yang disimpulkan oleh WEF. Pesan kedua adalah mengenai tiga krisis yang saling terkait, yaitu krisis iklim, pangan, dan energi.
Ketiga krisis ini, yang ditandai dengan meningkatnya emisi gas buang, harga energi, dan harga pangan, telah mendorong krisis yang lebih parah, yaitu krisis kemanusiaan. Dalam pertemuan Davos diungkap bahwa krisis kemanusiaan semakin memburuk sejak COP26 (2021).
Lebih dari 3 juta penduduk Kenya dan 20 juta penduduk Afrika secara umum menghadapi kemiskinan yang ekstrem sebagai dampak dari perubahan iklim. Perang di Ukraina akan memperburuk kondisi kemiskinan di sana, juga banyak negara lainnya, karena perang mengancam ketahanan pangan negara-negara.
Di Indonesia sendiri kemiskinan masih menjadi persoalan sosial yang sulit diatasi. Hingga akhir tahun 2021 masih terdapat 26,5 juta penduduk yang hidup miskin. Sementara yang berada dalam kemiskinan ekstrem diperkirakan sebanyak 10,86 juta orang.
Angka kemiskinan nasional ini sudah sedikit turun dibandingkan tahun 2020, karena pada tahun pertama pandemi itu jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 27,55 juta orang. Pandemi telah membuat kemiskinan di Indonesia bertambah sebanyak 2,76 juta orang dibandingkan sebelum pandemi tahun 2019.
Masalah ketahanan pangan menjadi isu yang tidak saja memengaruhi kesehatan publik, tetapi juga terkait dengan isu keamanan dan geopolitik. Masyarakat yang kelaparan karena ketersediaan bahan makanan yang terbatas dan harga yang tinggi akan memancing konflik baru.
Masalah ketahanan pangan menjadi isu yang tidak saja memengaruhi kesehatan publik, tetapi juga terkait dengan isu keamanan dan geopolitik.
Oleh sebab itu, setiap negara harus meningkatkan atau mempercepat upaya mengelola ketahanan pangannya demi mengurangi krisis kemanusiaan.
Solusi yang mengutamakan penyelamatan alam dan lingkungan harus jadi prioritas. Untuk itu perusahaan-perusahaan memegang peranan penting dalam mengambil langkah nyata penyelamatan bumi lewat pilihan-pilihan investasi yang lebih ramah lingkungan.
Terutama lewat komitmen mengutamakan energi bersih, terbarukan, dan efisen. Bentuk baru kapitalisme berbasis lingkungan (environmental capitalism) sudah harus menjadi pilihan dan dijalankan secepatnya.
Pesan yang ketiga adalah bagaimana kerja sama global dapat mengubah resesi menjadi resiliensi. Tidak dipungkiri kombinasi tiga krisis -iklim, pangan, energi- akan memperburuk kondisi ekonomi yang dihantam pandemi.
Namun, hal tersebut tidak seharusnya terlalu ditakuti karena banyak pelajaran yang diberikan dari resesi-resesi yang pernah terjadi sebelumnya. Syaratnya, ya kerja sama global yang saling mendukung tadi.
Pesan yang keempat terkait dengan Covid-19. Keberhasilan mengendalikan pandemi saat ini, termasuk bisa diselenggarakannya pertemuan Davos ini setelah dua tahun absen, adalah berkat vaksinasi. Namun, jika ingin bersiap menghadapi pandemi yang lain yang potensial terjadi, maka kesenjangan atau disparitas layanan kesehatan harus diatasi.
Pandemi terasa berbeda di negara-negara yang berpendapatan rendah, di mana hanya sekitar 13 persen saja penduduknya yang sudah divaksin. Berbeda dengan negara-negara berpendapatan menengah ke atas dan berpendapatan tinggi di mana lebih dari 75 persen penduduknya sudah divaksin Covid-19.
Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah cukup beruntung karena banyak mendapat bantuan vaksin yang berupa hibah dari negara-negara maju, selain yang didapat melalui pembelian.
Per 16 Juni 2022, sebanyak 201 juta penduduk (96,51 persen dari target) sudah mendapat vaksin Covid-19 dosis pertama. Sebanyak 168,25 juta orang (80,79 persen) sudah mendapat vaksin dosis kedua. Adapun yang mendapat vaksin penguat atau dosis ketiga sebanyak 48,2 juta orang.
Isu ras atau warna kulit mewarnai kebijakan pendistribusian vaksin Covid-19 ke seluruh dunia. Diskriminasi ras bukan semata soal kekerasan fisik, tetapi juga perbedaan akses dalam mendapatkan layanan kesehatan, juga pendidikan. Hal itu bisa diperparah lagi karena kondisi utang suatu negara yang mencekik.
Untuk mengatasi disparitas layanan kesehatan ini sudah saatnya pendistribusian vaksin tidak didasarkan pada profit semata, tetapi juga pertimbangan kemanusiaan, terutama bagi negara-negara berpendapatan rendah.
Di samping itu perlu juga investasi untuk membangun infrastruktur dan sistem kesehatan yang lebih baik untuk bersiap menghadapi pandemi yang akan datang. Kita harus percaya bahwa pandemi yang lain pasti akan muncul dan kita sudah harus lebih siap menghadapinya.
Pesan kelima masih terkait dengan pandemi. Pandemi telah mengubah struktur ketenagakerjaan. Dari segi jender, pandemi telah memaksa perempuan bekerja untuk mengatasi kesulitan finansial keluarga. Namun, masih terdapat perempuan bekerja yang tidak dibayar atau dibayar dengan upah rendah. Isu kesetaraan jender di dunia kerja menjadi perhatian.
Dari segi jenis pekerjaan, banyak bermunculan pekerjaan-pekerjaan baru yang berbasis teknologi, sosial, dan ekonomi hijau. Kebutuhan tenaga kerja di masa depan akan terus berubah. Oleh karena itu setiap orang dituntut untuk selalu memperbaharui keterampilan dan pendidikan (reskilling) sesuai dengan kebutuhan.
Pesan yang terakhir: masa depan dunia ada pada dunia digital. Kemajuan teknologi yang sangat cepat memiliki dampak beruntun dan tantangan yang besar ke semua aspek kehidupan.
Kemajuan teknologi yang sangat cepat memiliki dampak beruntun dan tantangan yang besar ke semua aspek kehidupan.
Oleh sebab itu, teknologi dan dunia digital harus bisa diarahkan dengan baik, termasuk untuk mengurangi kemiskinan dan menghentikan perubahan iklim yang berdampak buruk.
Dunia digital harus inklusif, terbuka bagi siapa saja. Namun, masalah keamanannya juga harus diutamakan. Semua pesan dari Davos 2022 ini sangat relevan dengan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global. (LITBANG KOMPAS)