Banjir Berita Melelahkan Audiens
Banjir informasi telah ”melelahkan” audiens berita. Untuk melepaskan kejenuhan, tetapi tetap update berita terkini dibutuhkan sumber berita yang akurat. Medium konvensional dan berita digital berlangganan menjadi solusi.

Banjir informasi di dunia digital menimbulkan ”kelelahan ” bagi para audiens berita di seluruh dunia. Keletihan ini memunculkan kejenuhan yang mendorong penghindaran para audiens terhadap konten-konten berita di berbagai platform media digital. Ironisnya, fenomena ini dominan terjadi pada kalangan muda yang lekat dengan teknologi digital.
Menurut laporan Digital News Report (DNR) 2022, ada sejumlah temuan menarik terkait relasi audiens dan industri media massa di dunia. Laporan penelitian kolaborasi antara Reuters Institute bersama Universitas Oxford ini salah satu hasil risetnya menunjukkan adanya sikap penghindaran audiens terhadap konten berita. Terutama pada platform digital.
Penyebab utama munculnya keengganan audiens dalam mengakses berita adalah ”kelelahan” akibat banjir informasi di era digital. Arus informasi yang sangat cepat serta sarat dengan kemajuan dan kemutakhiran justru berdampak pada keletihan dan kewalahan. Ironis.
Kejenuhan pada konten berita digital tersebut melanda di hampir seluruh negara di dunia. Hanya saja, sikap audiens dalam menghindari berita di negara masing-masing memiliki tingkatan yang beragam. Ada yang rendah dan sedang, tetapi ada juga yang tinggi.
Khusus di Indonesia, menunjukkan bahwa audiens berita pada rentang usia 18-24 tahun adalah kelompok terbanyak dengan besaran sekitar 44 persen yang melakukan penghindaran terhadap konten berita. Selanjutnya, disusul kelompok usia 24-34 tahun sebesar 38 persen; dan usia 35-44 tahun kisaran 39 persen. Fenomena yang terjadi pada rentang usia 18-44 tahun tersebut sangatlah menarik. Pasalnya, keletihan terhadap konten digital justru terjadi pada kelompok-kelompok usia yang terbilang sebagai digital natives.
Hal serupa juga terjadi di sejumlah negara maju. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, temuan analisis data menunjukkan bahwa kelompok responden yang sama sekali tidak mengakses berita terus mengalami peningkatan. Baik itu berita dari medium konvensional maupun platform digital semakin susut peminat. Pada tahun 2013, responden yang menghindari berita di AS masih sekitar 3 persenan. Namun, pada tahun 2022, angkanya telah melonjak lima kali lipat hingga mencapai 15 persen.

Secara umum, minat audiens terhadap berita di AS terus menurun. Pada tahun 2015, masih terdapat 67 persen responden yang sering dan rutin mengakses berita. Namun, di tahun 2022 peminatnya menurun 20 persen. Selain AS, negara lain yang mengalami kemerosotan selera cukup drastis pada konten berita adalah Argentina, Brasil, Spanyol, dan Inggris. Keempat negara ini penurunannya bervariasi, antara 25 persen dan 30 persen untuk setiap negara.
Negara maju lainnya yang juga mengalami penurunan minat pada berita adalah Jerman. Meskipun angkanya lebih kecil dari AS, negara yang berjuluk ”negeri penyair dan pemikir” itu juga mengalami peningkatan jumlah audiens yang ”letih” membaca berita. Pada tahun 2013, jumlah responden yang mengaku tidak mengakses berita hanya kisaran 1 persen. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 2022 naik menjadi 5 persen. Kenaikan ini masih relatif rendah jauh dari peningkatan di AS.
Terdapat beberapa negara yang berkarakter audiens mirip seperti di Jerman. Masih memiliki minat tinggi terhadap konten berita dari berbagai medium. Di antaranya adalah Swedia, Swiss, dan Belanda dengan tingkat penurunan peminat kurang dari 10 persen.
Selain menunjukkan fenomena penurunan secara global, laporan DNR 2022 itu juga menemukan fakta unik yang bersifat anomali. Di saat tren minat secara umum turun, tetapi di negara Finlandia justru naik. Audiens di ”Negeri Seribu Danau” tersebut mengalami peningkatan minat sebesar 3 persen.
Melihat dari kacamata perusahaan pers mengindikasikan bahwa senjakala media tidak hanya menerpa medium-medium konvensional saja. Namun, juga menjalar kepada format konten berita itu sendiri. Perusahaan pers perlu beradaptasi dengan perubahan lanskap audiens yang dilayaninya agar dapat terus bertahan.
Enam alasan
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Reuters Institute bersama Universitas Oxford di 46 negara menunjukkan bahwa tingkat keengganan orang mengakses pemberitaan secara global mencapai 38 persen. Dari 64.120 responden yang berhasil diteliti, ternyata ada enam alasan dominan yang membuat audiens enggan mengakses berita.
Alasan pertama muncul akibat kondisi pandemi Covid-19 dan pemberitaan yang politik sentris. Sebanyak 43 persen responden mengaku sudah letih dengan berita topik seputar politik dan pandemi.
Alasan kedua adalah terkait ketidaknyamanan. Sekitar 36 persen responden mengakui ketika membaca berita membuat suasana hati (audiens) menjadi jelek. Mereka mengatakan bahwa ”berita membuat mood saya menjadi jelek”.
Selanjutnya, pada urutan ketiga berhubungan dengan kejenuhan informasi berita. Responden merasa sudah terlalu banyak mendapat berita sehingga informasi yang membanjiri ini membuat audiens lelah dalam menyerap informasi itu sendiri.

Alasan keempat muncul dari aspek kredibilitas pemberitaan. Tiga dari 10 responden menyatakan bahwa pemberitaan tidak dapat dipercaya dan sering kali bias. Pemberitaan yang tidak kredibel, tidak berimbang, dan bias berpotensi menggiring pada relasi sosial yang terpecah belah.
Kondisi audiens yang terpolarisasi menyebabkan munculnya alasan kelima, yaitu konten berita dapat menyulut perdebatan yang tidak diinginkan. Ada 17 persen responden yang mengaku mengalami hal ini di kehidupan sosial mereka.
Terakhir, alasan keenam adalah terkait dengan hal yang tidak bermanfaat. Berita yang didapatkan sering kali tidak relevan dan audiens menyatakan bahwa pemberitaan tidak berguna bagi kehidupan mereka. Kelompok audiens yang berpendapat demikian ada sekitar 16 persen.
Dari keenam alasan tersebut dapat diambil sejumlah intisari yang penting, terutama bagi industri pers. Perlu adanya pembenahan dari aspek pemilihan topik berita serta kualitas dan kredibilitas suatu produk jurnalistik. Pemilihan topik berita dapat disesuaikan secara relatif mudah oleh para pelaku media. Misalnya, mengurangi pemberitaan tentang Covid-19 dan perpolitikan. Konten edukasi dan hiburan bisa dicoba untuk ditingkatkan frekuensinya guna mendorong minat baca lebih tinggi lagi.
Selanjutnya, yang patut menjadi perhatian serius untuk dibenahi adalah soal kredibilitas dan kualitas. Habitat media massa digital yang cenderung mengejar kepopuleran dan keterbacaan dengan cara instan, yaitu mengandalkan judul berita yang kontroversial patut dievaluasi. Praktik media yang berupaya menjaring minat pembaca dengan ”teknik” ini justru menggerus kepercayaan audiens terhadap konten berita.
Audiens berita terkikis
Tingkat kepercayaan audiens terhadap konten berita terus menurun. Data DNR 2015 menunjukkan, tingkat kepercayaan terhadap berita berada di angka 48 persen. Hasil survei terbaru di tahun 2022 angka kepercayaan turun sebesar 10 persen. Apabila tren ini terus berlanjut di masa-masa berikutnya, audiens konten berita semakin terkikis.
Di antara 64 negara yang tercakup dalam survei DNR 2022, tingkat kepercayaan audiens paling tinggi terhadap berita berada di negara Finlandia. Tingkat kepercayaan di negeri ini mencapai 69 persen. Temuan ini berkaitan erat dengan lanskap media di Finlandia. Konsumsi berita dari kanal konvensional di negara Eropa bagian utara ini terbilang cukup tinggi dan pengakses media sosial sebagai sumber berita relatif rendah.
Kondisi di Finlandia itu cukup timpang apabila dibandingkan dengan Indonesia. Sebesar 31 persen audiens berita di Finlandia masih membaca media cetak, sedangkan di Indonesia hanya 17 persen. Penikmat siaran radio di Finlandia pun masih cukup tinggi, yakni mencapai 37 persen. Di Indonesia, pendengar radio hanya tersisa 10 persen.

Pun demikian apabila melihat perbandingan konsumsi berita dari medium digital seperti portal berita dan media sosial. Terdapat perbedaan cukup signifikan. Audiens yang memperoleh konten berita melalui media sosial di Indonesia mencapai 68 persen, sedangkan di Finlandia hanya 45 persen saja. Terakhir, audiens portal berita daring di Finlandia mencapai 44 persen dan di Indonesia hanya 20 persen.
Perbandingan data tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Finlandia yang dominan mengakses medium konvensional memberikan kepercayaan yang tinggi pada konten berita dan institusi media massa. Di sinilah peran akurasi media pada medium konvensional. Bukan sekadar konsumsi berita secara ”mentah” dari guliran share di medsos. Apalagi, beberapa kali media daring dan media sosial sering disalahgunakan untuk mengedarkan berita hoaks.
Banjirnya informasi berita, baik itu memiliki akurasi tinggi maupun sebaliknya, membuat audiens berita kelelahan. Untuk dapat melepaskan kejenuhan, tetapi tetap dapat mengikuti berita terkini maka dibutuhkan sumber-sumber berita yang akurat. Salah satu alternatifnya adalah dengan kembali pada medium-medium konvensional atau berlanggan layanan berita digital.
Di era informasi digital, kebutuhan setiap orang sangat beragam dan semakin spesifik. Layanan digital berbayar sudah menjadi produk yang lazim dikonsumsi sehari-hari, mulai dari media hiburan hingga produk jurnalistik digital. Pada situasi banjir informasi, peran gatekeeper atau kurator berita menjadi kembali relevan.
Inilah saatnya produsen konten berita berkualitas mulai mendekatkan diri pada kelompok audiens yang mengalami keletihan digital. Lembaga media dapat menawarkan solusi berupa konten berita berakurasi tinggi. Tujuannya, agar para audiens dapat memilah informasi sesuai kebutuhannya sehingga tidak timbul rasa lelah dalam era informasi digital. (LITBANG KOMPAS)