DBD Masih Menjadi ”Ancaman” Bersama
Demam berdarah dengue masih menjadi ancaman bersama di ASEAN. Kerja sama multi sektor dan peningkatan kesadaran masyarakat menjadi kunci pengendalian penyakit ini.
Tanggal 15 Juni yang diperingati sebagai ”Hari Demam Berdarah ASEAN” (ASEAN Dengue Day) menjadi alarm untuk semakin menguatkan kerja sama di kawasan ASEAN, bahkan global dalam upaya menangani dan mengendalikan penyakit tahunan ini.
Tantangan memberantas demam berdarah semakin berat mengingat tingginya pertumbuhan dan mobilitas penduduk, masifnya aktivitas pembangunan, serta tantangan perubahan iklim.
Demam berdarah dengue (DBD), yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus yang terinfeksi virus DBD, masih menjadi masalah kesehatan utama dan ”momok” yang mengancam keselamatan jiwa manusia di dunia.
Terlebih negara-negara di daerah tropis dan subtropis. Penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk yang paling cepat menyebar tersebut tercatat mengalami peningkatan 30 kali lipat dalam insiden global selama 50 tahun terakhir.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 50 juta-100 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun dan hampir 75 persen dari populasi global yang terpapar DBD berada di kawasan Asia-Pasifik dan ”endemik” di banyak negara di Kawasan Asia Tenggara.
Dalam publikasi Global Strategy for Dengue Prevention and Control 2012-2020, WHO melaporkan, jumlah rata-rata kasus demam berdarah dalam kurun waktu 2004-2010 di 30 negara/wilayah paling endemik, 9 di antaranya adalah negara-negara anggota ASEAN.
Sebanyak 5 negara berada dalam urutan 10 besar jumlah rata-rata kasus tertinggi. Bahkan, Indonesia dalam tataran global berada di urutan dua teratas dengan jumlah rata-rata kasus 129.435, di bawah Brasil dengan 447.466 kasus.
Untuk mengendalikan, mengeliminasi, bahkan mengeradikasi demam berdarah dengue dibutuhkan kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN.
Oleh sebab itu, untuk mengendalikan, mengeliminasi, bahkan mengeradikasi demam berdarah dengue dibutuhkan kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN.
Penetapan 15 Juni sebagai ASEAN Dengue Day diharapkan dapat mendorong peningkatan komitmen pencegahan dan pengendalian DBD secara bersama-sama melalui kampanye dan advokasi tahunan baik di tingkat nasional maupun kawasan ASEAN.
Baca Juga: Tren Kasus Demam Dengue Terus Meningkat
DBD di Indonesia
Di Indonesia, kasus DBD pertama kali ditemukan pada 1968 di Jakarta dan Surabaya. Sebagai penyakit baru tingkat kematiannya pun masih tinggi, dari 50 kasus angka kematian mencapai setengahnya.
Sejak itu kasus DBD semakin bertambah setiap tahun, bahkan di beberapa daerah lonjakan kasusnya menjadikan status KLB (kejadian luar biasa).
Lebih dari setengah abad berlalu, DBD masih ”mengancam” keselamatan jiwa setiap tahun, terlebih di musim hujan. Akibat hujan yang masih turun hingga Bulan Juni, kasus demam berdarah pun masih ditemukan di sejumlah daerah.
Kompas melaporkan pada 18 Mei 2022, kasus DBD di Kota Bogor meningkat hingga mencapai total 563 kasus dengan tren kasus yang naik empat bulan terakhir, rata-rata 100 kasus per bulan.
Satu kasus dilaporkan meninggal. Demikian juga di Tangerang Selatan, angka kasus DBD tergolong tinggi. Dari Januari sampai Maret 2022 ada 210 pasien DBD.
Secara nasional dari Januari hingga Maret 2022 kasus DBD sudah tembus hingga 22.331 kasus, terkonfirmasi 229 pasien meninggal. Sepanjang 2021, tercatat secara kumulatif kasus DBD di Indonesia mencapai 72.396 kasus, dengan kasus kematian sebesar 694 orang.
Angka ini relatif menurun dibanding dua tahun sebelumnya. Kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2020 tercatat sebanyak 108.303 kasus. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 138.127 kasus.
Sejalan dengan jumlah kasus, kematian karena DBD pada 2020 juga mengalami penurunan dibandingkan tahun 2019, dari 919 menjadi 747 kematian.
Dalam satu dekade terakhir (2011-2020), berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tren perkembangan angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) meningkat dari tahun 2011 dan mencapai puncak pada 2016. Tercatat pada tahun tersebut angka kesakitan mencapai 78,9 per 100.000 penduduk.
Setelah turun cukup signifikan pada 2017 dan 2018 (26,1 dan 24,8 per 100.000 penduduk), angka kesakitan kembali naik di tahun 2019 menjadi 51,5 kasus per 100.000 penduduk.
Tahun 2020 angka kesakitan kembali menunjukkan penurunan menjadi 40,00. Namun, jika dibedah menurut provinsi, masih ada separuh (18 provinsi) yang angka kesakitannya di atas angka nasional.
Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur tercatat angka kesakitannya tercatat melebihi 100, yaitu masing-masing 273,1 dan 107,7 per 100.000 penduduk. Sementara tiga provinsi dengan angka kesakitan terendah adalah Papua (5,0), Maluku (4,2), dan Aceh (0,0).
Sementara untuk angka kematian secara nasional di Indonesia sudah mencapai 0,7 persen. Angka kematian dikatakan tinggi jika telah melebihi 1 persen.
Pada tahun 2020 tercatat masih terdapat sebelas provinsi dengan angka kematian di atas 1 persen. Terparah terjadi di Provinsi Maluku (6,5 persen). Artinya, pada 2020, di Maluku meski angka kesakitannya pergolong rendah, tetapi angka kematiannya tinggi.
Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD juga menunjukkan kecenderungan peningkatan. Tahun 2020, terpantau sebanyak 92,8 kabupaten/kota terjangkit DBD. Salah satu indikator dalam Rencana Strategis tahun 2020-2024 adalah ditargetkan persentase kabupaten/kota memiliki angka kesakitan DBD <49 per 100.000 penduduk.
Sementara itu, secara nasional target program tahun 2020, kabupaten/kota dengan angka kesakitan DBD <49 per 100.000 penduduk sebesar 70 persen sudah tercapai di angka 73,15 persen.
Namun, masih ada 10 provinsi yang tidak memenuhi target, meski capaian ini sudah menurun dibanding tahun 2019 (23 provinsi). Yang perlu mendapat perhatian adalah Provinsi Bali dan DI Yogyakarta karena tak satu pun kabupaten/kotanya yang mencapai target.
Baca Juga: Kunci Pengendalian Demam Berdarah Dengue
Masih ”mengancam”
Di Indonesia, meski catatan kasus dan kematian menunjukkan tren menurun selama tiga tahun terakhir (2019-2021), tetapi tetap perlu diwaspadai mengingat hingga Juni tahun ini pun yang seharusnya sudah memasuki musim kemarau, hujan masih sering turun.
Anomali cuaca dan perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan lebih panjang menjadi kesempatan bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak.
Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena telur yang belum menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya mulai tergenang air hujan. Selain itu, kelangsungan hidup nyamuk tersebut juga akan lebih lama bila tingkat kelembapan tinggi selama musim hujan.
Selain Kondisi iklim, lingkungan yang tidak bersih, permukiman perkotaan yang tidak terencana, aktivitas pembangunan, dan urbanisasi dapat menyebabkan peningkatan perkembangbiakan nyamuk, terutama di daerah perkotaan.
Aktivitas pembangunan dengan bermunculannya daerah pemukiman baru atau daerah pemekaran bisa mengusik habitat nyamuk penyebab DBD ini. Kebutuhan manusia terhadap air sehingga banyak dibuat tempat penampungan air berpotensi menjadi tempat berkembang biak nyamuk, belum lagi jika sarana sanitasinya tidak baik.
Banyak faktor yang membuat penyakit ini tidak mudah diatasi karena vektor atau nyamuk pembawa virus dengue yang tidak mudah diberantas.
Berbagai upaya baik dalam lingkup nasional maupun kawasan ASEAN terus dikembangkan. Selain metode pengendalian vektor yang konvensional (3M Plus) harus tetap dilakukan, berbagai riset terkait vaksin juga terus dikembangkan. Demam berdarah dengue masih menjadi ”ancaman” bersama.
Tantangan Indonesia menghadapi wabah tahunan ini bisa dikatakan lebih berat karena luasnya wilayah yang berpotensi menjadi wilayah endemik.
Tantangan Indonesia menghadapi wabah tahunan ini bisa dikatakan lebih berat karena luasnya wilayah yang berpotensi menjadi wilayah endemik. Kerja sama multi sektor dan peningkatan kesadaran masyarakat menjadi kunci pengendalian vektor agar optimal.
Selain meningkatkan pencegahan terjadinya kasus, kewaspadaan terhadap gejala yang timbul juga perlu ditingkatkan agar penderita segera tertangani dan bisa diselamatkan. Jangan sampai angka kematian kematian yang sudah bisa ditekan di bawah 1 persen meningkat kembali. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Masyarakat Jangan Abai pada Demam Berdarah