Menanam Pohon, Menyerap Emisi Karbon
Penanaman pohon merupakan metode terbaik mereduksi emisi karbon. Murah dari segi biaya sekaligus memberikan manfaat bagi lingkungan dalam skala luas. Durasi penghijauannya pun relatif tidak terlalu lama.
Penanaman pohon menjadi salah satu opsi terbaik dalam menekan dampak krisis iklim di dunia. Tingginya konsentrasi emisi karbon di atmosfer perlu direduksi oleh kemampuan alamiah pepohonan dalam menyerap senyawa berbahaya ini. Pepohonan menjadi solusi efektif karena menyerap emisi karbon dalam durasi relatif singkat dan berdampak signifikan bagi lingkungan.
Penghijauan merupakan langkah mitigasi efektif dalam menghadapi berbagai anomali akibat perubahan kondisi iklim global. Ada sejumlah peristiwa terkait anomali iklim yang berpotensi besar mengancam keberlangsungan umat manusia. Di antaranya, terjadi kenaikan suhu global sehingga menyebabkan tingginya intensitas cuaca ekstrem, pergeseran cuaca dan iklim, hingga kegagalan panen yang melemahkan ketahanan pangan.
Terkait dengan kondisi iklim, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat ada 316 kejadian ekstrem sepanjang tahun 2021. Tiga peristiwa yang sering terjadi adalah hujan ekstrem, gelombang panas, dan banjir. Kondisi ini menyebabkan banyak permasalahan di beberapa negara terkait penyediaan pangan dan gangguan kesehatan.
Sejumlah gangguan pada kehidupan manusia itu berkaitan erat dengan fenomena perubahan iklim yang diakibatkan oleh lonjakan emisi gas rumah kaca (GRK). Tingginya ketergantungan umat manusia pada sumber energi fosil menyebabkan lonjakan emisi karbon menjadi tidak terelakkan. Kebutuhan energi listrik, sarana transportasi, dan proses produksi sektor industri yang mayoritas menggunakan bahan bakar fosil menimbulkan sisa pembuangan yang mengandung emisi GRK. Fenomena ini kian diperparah lagi dengan semakin banyaknya alih fungsi lahan dari hutan menjadi nonhutan sehingga berakibat pada pelepasan emisi karbon dan polutan lain yang membahayakan lingkungan.
Secara umum, setidaknya ada tiga jenis GRK yang dekat dengan aktivitas kehidupan manusia, yaitu karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida. Emisi karbon dioksida paling banyak dihasilkan dari kegiatan industri, transportasi, dan pembangkit listrik. Emisi metana dan nitrogen oksida didominasi dari kegiatan di sektor pertanian dan peternakan.
Ada sejumlah cara yang telah ditempuh guna menekan dampak buruk dari peningkatan emisi GRK tersebut. Salah satunya mengurangi emisi karbon dioksida dari setiap aktivitas manusia. Langkah preventif ini memerlukan kesadaran yang tinggi dari setiap individu. Tingkat pengetahuan, pendidikan, serta sosial-ekonomi setiap masyarakat menjadi variabel yang sangat penting dalam menumbuhkan kesadaran dalam melestarikan lingkungan. Langkah berikutnya bersifat kuratif yang bertujuan menyerap kembali emisi GRK yang telah dilepaskan ke atmosfer. Cara ini biasanya memiliki cakupan yang lebih luas sehingga membutuhkan dana yang relatif besar, penerapan teknologi, dan perlu dukungan kebijakan pemerintah.
Idealnya, pendekatan yang bersifat preventif dan kuratif itu dilakukan secara bersama-sama sehingga akan menghasilkan reduksi emisi GRK yang optimal. Masyarakat kian sadar menjaga lingkungan dan sekaligus ditopang dengan sejumlah program kegiatan yang bertujuan menyerap emisi GRK secara berkesinambungan.
Khusus penanganan secara kuratif, ternyata program penghijauan merupakan salah satu metode penyerapan emisi karbon terbaik di antara metode lainnya. Penanaman pohon dinilai paling cocok dari sisi durasi dan efektivitasnya. Laporan Intergovernmental Panel Climate Change(IPCC) menyebutkan bahwa estimasi serapan karbon pada penanaman pohon dapat mencapai 10,1 gigaton per tahun. Jumlah tersebut dapat bertambah seiring makin banyaknya kegiatan penanaman.
Serapannya dapat lebih maksimal lagi apabila disertai dengan pemilihan jenis pohon yang sesuai. Misalnya, seperti eukaliptus yang mampu menyerap karbon sebesar 40,7 ton per tahun per hektar. Selain itu, dapat pula memilih pohon jati yang mampu menyerap 30,8 ton karbon per tahun. Selain memiliki daya serap karbon yang tinggi, keberadaan pepohonan itu juga mampu menurunkan suhu di sekitarnya sehingga menciptakan lingkungan lebih sejuk.
Menanam pohon
Konsep penanaman pohon dalam skala besar sebagai upaya penyerapan karbon di atmosfer dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu aforestasi dan reforestasi. Secara umum, keduanya memiliki kesamaan. Perbedaannya hanya terletak pada status lahan yang ditanami.
Aforestasi adalah metode penanaman pohon di lahan yang sebelumnya belum pernah ditanami. Artinya, konsep ini menunjukkan proses alih fungsi lahan dari penggunaan lahan nonhutan ke lahan hutan. Sebaliknya, reforestasi adalah penanaman kembali lahan-lahan yang rusak dan sebelumnya pernah ditanami pohon.
Perluasan area hutan menjadi fokus utama metode aforestasi dan reforestasi itu. Hingga tahun 2021, sebesar 31 persen tutupan permukaan bumi teridentifikasi sebagai hutan dengan luasan sekitar 4 miliar hektar. Hutan seluas ini diperkirakan memiliki kemampuan serapan dan simpanan karbon hingga 2 miliar ton per tahun.
Sayangnya, volume hutan itu kemungkinan besar akan terus menyusut. Luasan hutan terpantau menurun sebesar 1,2 persen atau setara 48 juta hektar selama satu dekade terakhir. Kehilangan tutupan hutan paling banyak terjadi di wilayah Afrika dan Amerika Selatan.
Penurunan luasan hutan tersebut menjadi tantangan besar saat ini. Mengingat semakin banyaknya alih fungsi lahan untuk perkebunan, pertambangan, permukiman, serta kebutuhan kayu yang digunakan untuk industri atau pun infrastruktur. Secara umum, hutan masih dilihat sebagai wilayah yang memberikan keuntungan tangible yang perlu di eksploitasi secara besar-besaran. Padahal, sejatinya ketika hutan itu susut dan rusak, maka dampak intangible-nya akan sangat jauh melebihi hitungan ekonomisnya.
Salah satu ilustrasinya terlihat dari biaya penyerapan emisi karbon di lingkungan. Dengan metode aforestasi dan reforestasi, hanya membutuhkan dana sekitar 6 dollar AS untuk menyerap 1 ton karbon. Nominal ini sangat murah bila dibandingkan dengan metode bio-energy with carbon capture and storage (BECCS) and direct air carbon capture and storage (DACCS) yang berkisar 100-400 dollar AS per ton. Metode ini relatif sangat mahal karena melibatkan rekayasa teknologi mutakhir. Oleh sebab itu, keberadaan hutan dan pepohonan itu sesungguhnya memiliki nilai ekstrinsik yang sangat tinggi.
Komitmen
Tingginya tingkat efektivitas dan efisiensi penyerapan emisi karbon oleh pepohonan tersebut perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak di seluruh dunia. Ketika global warming menjadi ancaman bersama, maka sudah sepatutnya semua negara saling bahu-membahu melakukan langkah mitigasi. Perlu komitmen dan kerja sama yang kuat antarberbagai stakeholder guna melestarikan hutan dan juga memulihkan lingkungan yang rusak. Peranan pemerintah di setiap negara menjadi sangat sentral dalam upaya mereduksi emisi GRK ini.
Beberapa negara sudah menerapkan metode aforestasi dan reforestasi demi mereduksi emisi karbon. Australia memiliki target menanam sebanyak 20 juta pohon di tahun 2020 dan 1 miliar pohon di tahun 2030. Brasil turut berkomitmen meningkatkan area hutan hingga 2 juta hektar. Jepang terus meningkatkan pengelolaan 25 juta hektar hutan di seluruh wilayah negaranya.
Tak hanya itu, ada sejumlah negara yang berkomitmen tidak akan membiarkan kawasan hutan mereka berkurang, seperti Bulgaria dan Jamaika. Negara-negara di Asia Negara juga memiliki target nasional terkait kawasan hutan. Myanmar bertekad menambah kawasan hutan sebesar 30 persen. Filipina akan merehabilitasi 1,5 juta hektar kawasan hutan yang rusak. Thailand juga akan meningkatkan kawasan hutan sebanyak 55 persen. Indonesia sendiri memiliki target penambahan hutan seluas 85,6 juta hektar hingga tahun 2045.
Selain metode aforestasi dan reforestasi tersebut, langkah lainnya yang dapat menyerap karbon di atmosfer bumi adalah penyimpanan karbon di dalam tanah melalui tanaman pangan dan rerumputan. Berdasarkan penelitian Shofiyati dkk (2010), estimasi cadangan karbon tanah di Indonesia mencapai 17,6 gigaton. Capaian serapan karbon melalui metode karbon tanah diestimasi mencapai 8,6 gigaton per tahun. Simpanan karbon di dalam tanah erat hubungannya dengan jenis tanaman dan karakteristik fisik, kimia, serta biologi tanah tersebut. Jenis pengelolaan dan posisi geografis juga turun menentukan besar serapan karbon di dalam tanah.
Pengelolaan tanah menjadi salah satu kunci penting dalam upaya pengurangan emisi melalui penyerapan karbon di atmosfer. Metode aforestasi dan reforestasi juga turut ditentukan pengelolaan tanah di lokasi penanamannya. Oleh sebab itu, kedua metode ini dapat dikatakan saling bertaut dan mendukung satu sama lain.
Untuk mengoptimalkan metode tersebut perlu komitmen yang besar dari sejumlah pihak. Pilihan menggunakan metode aforestasi, reforestasi, ataupun penyimpanan karbon di dalam tanah adalah alternatif pilihan yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Terpenting adalah kesungguhan dan juga kesinambungan dalam upaya mereduksi GRK demi menekan dampak krisis iklim yang melanda di seluruh dunia. (LITBANG KOMPAS)