Panas Dingin Publik Rusia Saat Negaranya Invasi Ukraina
Seperti apa publik Rusia memandang operasi militer yang dilakukan negaranya ke Ukraina? Litbang “Kompas” merangkum gejolak dukungan sekaligus kecemasan warga Rusia dari sejumlah survei opini publik.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·6 menit baca
AFP
Warga berfoto di depan restoran McDonald's di Lapangan Pushkinskaya, Moskwa, pada hari terakhir restoran itu buka, (13/3/2022), Invasi Rusia ke Ukraina membuat McDonald's menutup usahanya di Moskwa sebagai bentuk solidaritas kepada Ukraina.
Berbeda dengan kondisi fisik dan sosial Ukraina yang porak-poranda, kehidupan di Rusia berjalan normal dan jauh dari kesan sebuah negara sedang dalam peperangan. Publik Rusia tampak mencoba menyingkirkan kekhawatiran mereka atas berbagai dampak ekonomi dan politik dari peperangan ini.
Pola persepsi publik Rusia tersebut terindikasi dari sejumlah jajak pendapat yang dihimpun Litbang Kompas baik dari lembaga polling Rusia yang bersifat independen, swasta, maupun di bawah pengaruh pemerintah. Patut digarisbawahi bahwa akurasi hasil-hasil jajak pendapat Rusia saat ini bisa jadi agak melenceng dari standar metodologi ”normal” karena pelaksanaan jajak pendapat yang dilakukan di masa perang.
Jajak pendapat opini publik Rusia ini terutama dianalisis dari Levada Center; VCIOM; dan jajak kanal Youtube ”1420”. Russian Public Opinion Research Center (VCIOM) adalah Pusat Penelitian Opini Publik milik negara yang melakukan survei opini publik. Sementara Levada Center adalah perusahaan jajak pendapat independen di Rusia.
Temuan pertama soal sanksi ekonomi dan pengucilan politik dari negara-negara Barat terhadap Rusia yang dinilai telah cukup mengganggu stabilitas harga kebutuhan dan menimbulkan sejumlah kekhawatiran tentang situasi di masa depan. Seperempat bagian responden jajak VCIOM mengatakan, mereka sudah merasakan efek sanksi ekonomi yang diterapkan negara-negara Barat dan warga miskin paling menderita karena tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi dengan kenaikan harga.
-
Seorang warga membawa barang-barang yang baru saja ia beli dari retail makanan Globus, di Kota Klimovsk, Rusia (19/3/2022). Sejumlah korporasi dunia menjatuhkan sanksi kepada Moskwa yang membuat warga Rusia cemas.
Menurut lembaga Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran pertahanan Rusia tahun 2021 adalah 65,9 miliar dollar AS. Sementara menurut Kementerian Keuangan Rusia, pengeluaran untuk biaya perang di Ukraina paling tidak mencapai 300 juta dollar AS sehari. Hingga April 2022, kementerian menghitung sudah keluar biaya 26,4 miliar dollar AS atau 40 persen dari anggaran pertahanan tahunan.
Biaya kerugian itu terjadi terutama karena hancurnya ribuan senjata matra darat, seperti tank, kendaraan lapis baja, artileri, hingga ratusan pesawat tempur dan kapal penjelajah ”Moskva”. Kerugian ini tercatat menjadi yang terburuk sejak Perang Dunia II. Belum lagi jumlah tentara Rusia yang tewas yang diperkirakan pihak Barat 15.000-20.000 lebih hingga Mei 2002. Jumlah tersebut melebihi tentara tewas saat pendudukan Uni Soviet di Afghanistan pada 1979-1989.
Denis Volkov, Direktur Levada Center, yang diwawancarai jaringan radio Amerika Serikat NPR (National Public Radio), menyatakan bahwa secara umum publik Rusia sebenarnya cukup terkejut dan cemas terhadap respons invasi yang ternyata demikian besar.
Hal ini berbeda dengan opini publik tahun 2014 saat invasi Crimea, yakni ada perasaan positif publik dan bahkan euforia karena pendudukan berjalan sangat lancar dalam dua-tiga hari dan nyaris tanpa korban jiwa. ”Kali ini, Anda tidak melihat euforia ini,” kata Volkov sebagaimana dirilis NPR.
”Orang-orang lebih memahami bahwa ini serius, bahwa ada pertempuran. Tetapi, pada saat yang sama, banyak yang mengatakan mereka mendukung dan beberapa orang bahkan mengatakan mereka harus mendukung karena ini adalah konflik internasional dan mereka harus mendukung pemerintah mereka,” lanjutnya.
Dengan kondisi itu, sulit dimungkiri ada perasaan ”panas dingin” warga Rusia saat ini. Di satu sisi, mereka mengakui ada kesalahan dengan melakukan invasi dan kini menjadikan Rusia negara ”terkucil”, tetapi mau tak mau harus tetap mendukung negaranya karena rasa nasionalisme. Sebagian di antara mereka kecewa dengan kinerja Presiden Vladimir Putin dan para politisi, tetapi tak juga menemukan tokoh yang dipandang mampu menggantikan saat ini.
AFP/YURI KADOBNOV
Sejumlah warga berjalan di Lapangan Merah di pusat kota Moskwa, Rusia (19/2/2020). Menurut jajak pendapat yang dilakukan lembaga VCIOM, mayoritas publik Rusia (71 persen) mendukung operasi militer Rusia ke Ukraina.
Setuju ”operasi militer”
Temuan kedua, secara umum terlihat bahwa mayoritas publik Rusia mendukung langkah militer negaranya. Menurut VCIOM, sebagian besar (71 persen) publik Rusia mendukung keputusan untuk melakukan operasi militer khusus di Ukraina dan seperlima bagian responden tidak mendukung. Dua pertiga bagian orang Rusia percaya bahwa operasi militer berjalan baik untuk pasukan Rusia.
Menurut 46 persen warga Rusia, operasi militer khusus Rusia di Ukraina bertujuan untuk melindungi Rusia dan mencegah pengerahan pangkalan militer NATO di Ukraina. Satu dari lima responden percaya bahwa operasi itu dimulai untuk mengubah arah politik Ukraina, 18 persen untuk melindungi penduduk berbahasa Rusia di DPR dan LPR; dan hanya 5 persen yang berkata untuk menduduki Ukraina dan memasukkannya ke Rusia. Artinya, pendapat publik ini relatif senada dengan penjelasan Putin.
Sebelumnya, sebuah hasil jajak lainnya yang dimuat di Washington Post pada Maret 2022 lalu menyatakan 58 persen responden Rusia setuju dengan invasi ke Ukraina dan 23 persen menentang. Survei dilakukan terhadap 1.640 responden sejak 28 Februari hingga 1 Maret 2022 oleh sebuah lembaga riset Rusia.
Hasil dua jajak pendapat tersebut mencerminkan kecenderungan peningkatan dukungan publik Rusia pada aksi penyerbuan yang dilakukan angkatan bersenjata negaranya terhadap Ukraina. Namun, patut diingat iklim politik dan kondisi kebebasan berpendapat di Rusia yang sangat membatasi kritik. Hasil survei bisa jadi lebih mengungkapkan apa yang bisa dinyatakan di depan umum daripada perasaan sebenarnya.
Hasil dari VCIOM yang mengaku memiliki 260 juta nomor telepon warga di Rusia (dari jumlah penduduk Rusia yang ”hanya” 145 juta) juga menunjukkan sebagian besar orang Rusia yang disurvei mengatakan mereka kini memandang AS secara lebih negatif (71 persen). Hampir separuh responden memiliki persepsi sangat buruk dan angka ini adalah tertinggi dibandingkan masa sebelumnya.
KOMPAS/HERPIN DEWANTO
Warga Rusia menikmati pertunjukan musik di Fan Fest Piala Dunia 2018 di Moskwa, Rusia (10/6/2018). Seperempat publik Rusia menyatakan telah merasakan efek sanksi ekonomi yang diterapkan negara-negara Barat setelah Rusia menginvasi Ukraina,
Hubungan saudara
Temuan ketiga muncul dari jajak pendapat lainnya, yakni kanal Youtube ”1420”. Dari riset ini tampak bagaimana publik Rusia ”menyimpan” pendapat/perasaan mereka tatkala ditanya tentang soal-soal sensitif terkait perang Rusia-Ukraina. Misalnya, pertanyaan tentang ”apakah AS bisa disalahkan atas perang di Ukraina?”. Mayoritas responden menjawab dengan ”Tidak”, dan cenderung tak ingin tampak bermusuhan dengan AS.
Temuan-temuan poling dari laman jajak 1420 ini cenderung memiliki nada ”berlawanan” dengan temuan lembaga jajak VCIOM ataupun Levada Center. Publik responden ini rata-rata lebih bersifat moderat terhadap Barat, condong pada situasi damai dengan pihak luar, dan bahkan berani kritis terhadap pemerintah.
Yang cukup mengherankan adalah meski ada dalam masa perang dengan Ukraina, sebenarnya warga Rusia cenderung masih memandang negara tetangganya itu dengan cara pandang klasik. Bagi warga Rusia, hubungan dengan Ukraina tidak bisa dibilang buruk meski ada masalah ketegangan politik di Donbas. Bahkan, bagi banyak warga Rusia, Ukraina adalah negara ”saudara” atau fraternity.
Seperti diketahui, separuh dari penduduk di dua oblast wilayah Donbas berbahasa Rusia, sedangkan sekitar satu dari lima warga Ukraina diperkirakan memiliki hubungan darah dengan warga Rusia. Oleh karena itu, tak heran dalam sejumlah jajak pendapat terkesan pandangan warga Rusia cukup ”moderat” baik dalam memandang isu invasi militer maupun hubungan antarnegara.
Cara pandang itu mengakibatkan upaya invasi wilayah negara ”sahabat” itu sepertinya memang hampir tak mungkin dilakukan atau tak masuk akal bagi sebagian besar warga Rusia. Mayoritas responden yang dihubungi kanal 1420 bersikap moderat dalam hal invasi dan hanya segelintir responden yang menilai perlu melakukan invasi ke Ukraina untuk menyelamatkan warga Donbas berbahasa Rusia dari kebijakan pemerintah Kyiv.
Betapapun, dari berbagai survei ini terungkap ambisi geopolitik era Uni Soviet juga masih ada di sebagian publik Rusia. Hampir setengah dari orang Rusia menganggap bahwa Rusia harus berusaha untuk menjadi salah satu dari 10-15 negara dengan ekonomi maju dan pengaruh politik.
Lebih dari sepertiga responden mengatakan bahwa Rusia masih merupakan kekuatan besar ke depan. Mungkin mimpi-mimpi masa lalu itulah membuat mereka terhubung dengan ambisi dan kekhawatiran geopolitik Presiden Vladimir Putin yang berakibat tindakan invasi ke negara tetangganya. (LITBANG KOMPAS)