Kepemimpinan Boris Johnson Diselimuti Ketidakpercayaan
Mosi tidak percaya parlemen kepada Perdana Menteri Inggris adalah simbol meredupnya dukungan politik. Tak jarang, meskipun memenangi voting, legitimasi politik pemerintahan mulai mengendur.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson boleh saja bernapas lega setelah selamat dari mosi tidak percaya. Meski masih mendapat dukungan dari mayoritas anggota Partai Konservatif, tidak sedikit yang setuju dirinya dilengserkan dari pucuk kepemimpinan. Tak ayal, tantangan Johnson untuk menyelesaikan masa jabatan pun akan semakin sulit.
Setelah memimpin selama nyaris tiga tahun, posisi Boris Johnson kini tengah digoyang. Guncangan terhadap posisi sang perdana menteri ini tecermin dari hasil mosi tidak percaya (no-confidence vote) yang diselenggarakan oleh Partai Konservatif pada Senin (6/6/2022).
Secara singkat, di Inggris, mosi tidak percaya digunakan untuk memastikan dukungan terhadap ketua partai atau perdana menteri yang tengah menjabat.
Mosi tidak percaya digunakan untuk memastikan dukungan terhadap ketua partai atau perdana menteri yang tengah menjabat.
Hasil dari voting memang masih memenangkan Johnson. Dari 359 anggota parlemen Konservatif, 211 orang atau 59 persen memilih untuk tetap menjadikan Johnson sebagai ketua partai sekaligus Perdana Menteri Inggris.
Untuk bisa terhindar dari pemakzulan, Johnson harus mendapatkan dukungan lebih dari separuh anggota parlemen yang berasal dari partainya. Apabila kalah, Johnson harus bersedia untuk turun dari jabatannya sebagai ketua partai sekaligus Perdana Menteri Inggris.
Meskipun begitu, tidak sedikit dari para anggota parlemen ini yang berpendapat sebaliknya. Pasalnya, tidak kurang dari 41 persen atau setara dengan 148 orang anggota parlemen dari Partai Konservatif ini yang setuju bila Johnson dilengserkan.
Bahkan, Keir Starmer, seorang kader Partai Konservatif secara gamblang menyampaikan memberi dukungan kepada orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab seperti Johnson merupakan tindakan yang tidak masuk akal.
Menanggapi hal tersebut, Johnson masih tersenyum lega. Baginya, tidak ada artinya 211 orang yang menyangsikan kepemimpinannya. Selama ia masih memegang suara mayoritas, jabatannya sebagai ketua partai dan perdana menteri tetap aman. Bahkan, ia secara terang-terangan menyatakan bahwa ia telah menang secara telak.
Di tingkat akar rumput, penolakan terhadap Johnson sebetulnya sudah mulai terasa. Berdasarkan hasil survei Ipsos, lebih dari 54 persen masyarakat di Inggris merasa tidak puas dengan kepemimpinan Johnson di Mei 2022. Sementara, hanya 27 persen dari publik yang merasa puas dengan kinerjanya sebagai Perdana Menteri.
Tingkat kepuasan publik tersebut merupakan yang terendah selama setahun terakhir. Pada Juni 2021, nyaris sepertiga dari publik Inggris merasa puas dengan kinerja pemerintahan Johnson. Sementara itu, ”hanya” 44 persen dari masyarakat yang berpendapat sebaliknya.
Angka kepuasan ini turun ke level 27 persen pada Juli 2021 dan terus berlanjut hingga Mei 2022. Adapun angka ketidakpuasan terus bertambah dengan rata-rata kenaikan sekitar 2,5 persen selama empat kali masa pengukuran.
Kepemimpinan Johnson memang sedari awal tidak berjalan mulus. Selama berada di gelanggang politik, setidaknya Johnson telah didera oleh 14 skandal. Dari ke 14 skandal tersebut, terdapat 7 skandal yang paling menyita perhatian publik dan para elite.
Salah satu skandal, dan juga menjadi ciri khas dari gaya berpolitik Johnson, ialah menebar kebohongan. Jauh sebelum ia duduk di kursi nomor 1 Inggris, ia pernah dipecat dari sebuah kantor berita karena kedapatan memalsukan keterangan dari narasumber. Kebiasaan ini akhirnya terus ia lanjutkan hingga kini.
Parahnya, tabiat Johnson ini kerap memperkeruh gejolak politik. Sebagai contohnya, Johnson menjadi salah satu tokoh utama yang menggiring opini masyarakat untuk mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Hal tersebut ia lakukan dengan menyebar berbagai berita bohong. Salah satunya ialah bahwa Inggris menyumbang dana sebesar 350 juta pound sterling selama seminggu untuk UE.
Skandal terakhir yang memancing amarah dari publik ialah Johnson yang melanggar aturan protokol kesehatan Covid-19. Pada hari Natal tahun 2020, ketika Covid-19 tengah ganas-ganasnya di Inggris, Johnson justru mengadakan pesta Natal di kediamannya di Jalan Downing. Masyarakat yang dilarang berkumpul pun geram melihat Johnson yang tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri.
Nyatanya, skandal Johnson dalam ranah pandemi ini kembali berulang. Pada November 2021, Johnson terlihat tidak menggunakan masker ketika berada di sebuah rumah sakit.
Tak berselang lama, masyarakat Inggris pun lagi-lagi dibuat geram karena sang Perdana Menteri Inggris tersebut kembali membuat pesta hari Natal ketika kasus Covid-19 masih mencekam.
infografik Mosi Tidak Percaya Kepada Boris Johnson
Bahkan, di tahun yang sama Johnson diisukan membuat pernyataan bahwa ia tak peduli banyak warganya yang meninggal akibat Covid-19 untuk mementahkan anjuran kembali menerapkan kebijakan lockdown ketika kasus Covid-19 harian sempat meroket di awal 2021. Meski terus membantah, beberapa pejabat yang menjadi saksi mengonfirmasi pernyataan tersebut.
Dalam sejarah panjang demokrasi Inggris, mosi tidak percaya sebenarnya bukanlah cerita baru. Di era modern, setidaknya telah terjadi empat no-confidence vote, atau sebelumnya pernah juga disebut dengan leadership ballot, di tataran elite politik negara tersebut. Tiga di antaranya dialami oleh Perdana Menteri Inggris, yakni Margaret Thatcher, Theresa May, dan Boris Johnson.
Jika dibandingkan, perolehan Johnson kali ini juga bukanlah yang paling buruk. Sebelumnya, dukungan yang diterima oleh Thatcher dalam mosi tidak percaya sedikit di bawah Johnson, yakni 55 persen.
Namun, tingkat ketidakpercayaan terhadapnya sama dengan Johnson di angka 41 persen karena ada 4 persen dari anggota parlemen yang menyatakan abstain.
Dari ketiga pemimpin yang hendak dimakzulkan, May menjadi yang paling banyak menerima dukungan. Ketika menghadapi no-confidence vote, May mendapat dukungan dari 63 persen anggota parlemen partainya. Sementara, 37 persen sisanya setuju untuk melengserkan May.
Meskipun lebih dari dua dekade terakhir tidak ada yang berhasil dimakzulkan, suara mayoritas yang diraih oleh para perdana menteri tersebut terasa hampa.
Meskipun lebih dari dua dekade terakhir tidak ada yang berhasil dimakzulkan, suara mayoritas yang diraih oleh para perdana menteri tersebut terasa hampa.
Bagi Thatcher dan May, selamat dari mosi tidak percaya bukanlah sebuah kemenangan. Justru, no-confidence vote ini dimaknai sebagai alarm keras dan bahan refleksi diri mereka sebagai pemimpin.
Tak heran, kedua mantan Perdana Menteri Inggris itu pun mundur tak lama setelah disodori mosi tidak percaya. Pada 1990, walau mendapat dukungan mayoritas, Thatcher mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri setelah mendengar saran dari kabinet pemerintahannya.
Selaras, May juga akhirnya mengundurkan diri enam bulan setelah mendapat mosi tidak percaya. Kedua peristiwa ini menunjukkan bahwa no-confidence vote tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga simbolis yang bisa memberikan tekanan bagi pejabat untuk ”sadar diri” untuk melepas jabatan mereka. (LITBANG KOMPAS)