Kembalikan Hak Tanah Adat, Sejahterakan Masyarakat Adat
Pemerintah perlu mengakselerasi kemandirian guna menyejahterakan komunitas adat berikut lingkungan di sekitarnya. Salah satu solusinya dengan mengembalikan hak mereka, yaitu wilayah adat yang selama ini dikuasai negara.
Kondisi masyarakat adat di Indonesia tengah terdesak ruang hidupnya. Semakin menyusut dari waktu ke waktu dan terpinggirkan. Hal ini dipicu salah satunya oleh konflik agraria dan pemenuhan hak atas tanah atau wilayah adat yang tidak kunjung tuntas. Bagi komunitas ini, tanah berikut sumber dayanya merupakan sumber utama untuk melanjutkan kehidupan yang terus berkesinambungan.
Memahami duduk perkara tentang wilayah atau tanah adat yang menjadi hak masyarakat adat perlu dimulai dari pemaknaannya. Ditinjau dari definisinya, masyarakat adat adalah suatu kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul sejarah dan menempati wilayah adat secara turun-menurun.
Selanjutnya, wilayah adat dapat dimaknai sebagai tanah, hutan, laut, serta sumber daya lainnya yang dilihat sebagai suatu kesatuan nilai ekonomi, kepercayaan, serta ikatan sosial dan budaya. Dengan demikian, keberadaan masyarakat adat tidak dapat dipisahkan dari wilayah tempat tinggal dan aktivitas mereka.
Merujuk dari data dalam Statistik Kebudayaan 2021, komunitas adat di Indonesia terdiri dari 2.061 komunitas. Sebagian di antaranya, yakni 1.912 komunitas, masih tinggal di kawasan adat. Artinya, sebagian besar komunitas adat masih tinggal di permukiman atau desa-desa adat dan meneruskan cara hidup yang diturunkan dari para leluhurnya.
Salah satu ciri khasnya adalah cara hidup yang sebagian besar kebutuhannya bergantung pada alam sehingga komunitas adat ini memiliki tatanan kehidupan dan aturan yang mengedepankan kelestarian lingkungan. Hutan tempat mereka tinggal dapat memenuhi kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan, dan tempat tinggal.
Meski cara hidupnya relatif tradisional, komunitas adat ini memiliki daya juang serta kemandirian yang tinggi. Ada sejumlah contoh kemandirian masyarakat adat di Indonesia, terlebih ketika pandemi merebak. Masyarakat ini mampu memenuhi kebutuhan hidup secara komunal dan mandiri walaupun dengan memberlakukan karantina yang ketat. Karantina komunitas diberlakukan untuk membatasi dan melarang orang masuk dan keluar permukiman adat.
Setidaknya terdapat tiga komunitas masyarakat adat yang bisa dikatakan sukses melewati masa pandemi secara mandiri dengan mengandalkan nilai-nilai kearifan lokal. Di antaranya adalah suku Baduy di Provinsi Banten, suku Boti di Pulau Timor, dan suku Topo Uma di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Tiga kelompok masyarakat adat tersebut hanyalah sebagian contoh kecilnya. Masih banyak lagi masyarakat adat lainnya yang memiliki nilai-nilai luhur serupa yang mampu menuntun komunitasnya selamat dan tetap berdaulat pada masa pandemi. Keberhasilan masyarakat ini disokong oleh adanya tanah adat dan hutan adat yang masih mampu menopang kebutuhan hidup.
Ketahanan pangan
Ada sejumlah contoh yang menunjukkan keterikatan antara tanah dengan masyarakat adat dalam menjalankan tradisi nilai-nilai kearifan lokal. Misalnya, suku Baduy menerapkan sistem pertanian tumpang sari di ladang dan sawahnya. Metode ini memiliki keunggulan dari keragaman hasil panen serta efisien dalam mengelola lahan. Seperti suku-suku petani dan peladang lainnya, luasan lahan yang digarap disesuaikan dengan kemampuan dan tenaga yang tersedia. Sistem tumpang sari menjadi pilihan yang tepat ketika bercocok tanam.
Kelebihan perolehan hasil panen oleh suku Baduy disimpan dalam lumbung yang bernama leuit. Karena tanaman tidak menggunakan pupuk kimia, hasil panen seperti padi dapat disimpan hingga bertahun-tahun. Simpanan cadangan pangan dalam leuit-lah yang menjadi penopang kebutuhan sehari-hari, terutama saat terjadi krisis.
Masih ada jenis pangan lainnya disediakan oleh hutan di wilayah adat Baduy. Beberapa hasil alam yang bisa didapatkan adalah madu hutan, burung, serta tupai yang menjadi hama tanaman budidaya. Kemandirian pangan suku Baduy salah satunya ditunjukkan dengan penolakan terhadap bantuan dari pemerintah berupa beras melalui program Beras Sejahtera (Rastra).
Metode suku Baduy yang mencadangkan hasil panen untuk persiapan menghadapi krisis tersebut juga dilakukan oleh suku Topo Uma dan suku Boti. Salah satu kisah menarik didapatkan dari masyarakat Boti, mereka memiliki pegangan kebijakan untuk selalu bersahabat dengan alam. Dalam sistem kepercayaan mereka, yaitu Halaika, memegang keyakinan bahwa apabila manusia menjaga kelestarian alam, alam akan menyediakan dan menjaga kehidupan manusia.
Kebijaksanaan dalam aturan adat pada komunitas yang masih bermukim di dalam hutan adat selalu memiliki semacam kontrak timbal balik dengan alam sekitar tempat tinggal mereka. Hal inilah yang menjadi jaminan bahwa hutan yang dikelola oleh komunitas adat selain memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakat bersangkutan, sekaligus memiliki fungsi ekologi yang bisa dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya.
Manfaat lingkungan
Merujuk dari publikasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam laporan Catatan Akhir Tahun 2021 – Tangguh di Tengah Krisis disebutkan bahwa terdapat sekitar 12,4 juta hektar wilayah adat yang telah dipetakan oleh masyarakat adat. Sebesar 70,5 persen dari wilayah tersebut merupakan kawasan hutan. Artinya, apabila pengelolaan hutan adat seluas 8,7 juta hektar diserahkan kepada adat dan dapat dikelola kelestariannya dengan baik, akan menghasilkan benefit atau manfaat yang sangat besar. Salah satunya berupa carbon emissions trading.
Hutan seluas lebih dari 8 juta hektar tersebut dinilai memiliki cadangan karbon hampir 7 miliar ton. Artinya, dalam era perdagangan karbon, Indonesia bisa memperoleh pemasukan negara dari kemampuan hutan dalam menyerap karbon dunia.
Pada sistem yang disebut emissions trading systems (ETS) memperbolehkan negara dengan cadangan karbon untuk menjual kuota karbonnya ke pihak yang menghasilkan karbon. Sebagai contoh, suatu perusahaan di suatu negara dalam proses produksinya menyebabkan polusi karbon. Maka, Indonesia sebagai negara yang memiliki cadangan kemampuan menyerap karbon dapat menjual kuotanya.
Nilai jual karbon melalui sertifikat emisi karbon pada Juni 2022 ditaksir mencapai harga 87 euro atau 93 dollar AS per ton. Selanjutnya, dapat dihitung apabila hutan adat memiliki cadangan karbon 7 miliar ton, nilai ekonomi dalam transaksi sertifikat emisi karbon mencapai 651 miliar dollar AS atau setara dengan lebih dari Rp 9.000 triliun. Angka ini melebihi nilai utang luar negeri Indonesia saat ini.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa negara bisa mendulang rupiah dari hutan tanpa perlu menyentuhnya. Bahkan, jika perlu segera melakukan rehabilitasi kondisi hutan yang rusak sehingga dapat berfungsi sebagai cadangan karbon terbesar di dunia.
Tentu saja, dalam skenario pelestarian hutan dan juga perdagangan emisi karbon tersebut peranan masyarakat adat tidak bisa diabaikan. Posisi komunitas ini memegang peran sentral sebagai penjaga utama kelestarian lingkungan di wilayahnya masing-masing. Sayangnya, hingga saat ini masih banyak kawasan adat yang belum dikembalikan pemanfaatannya kepada masyarakat adat. Keinginan komunitas adat untuk mendapatkan pengakuan secara resmi dari negara atas wilayah adatnya masih menemui jalan terjal.
Mengembalikan hak
Data terkini dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukkan ada lebih dari 18 juta hektar wilayah adat yang sudah tercatat. Namun, baru ada 584.000 hektar yang tersertifikasi dan diserahkan kepada masyarakat adat untuk dikelola. Wilayah adat terdiri dari lanskap wilayah hutan dan bukan hutan. Merujuk dari data AMAN, setidaknya 8,7 juta hektar berupa hutan.
Berbeda lagi data yang didapatkan dari KLHK. Pada Juni 2019, ditetapkan target pengakuan dan penyerahan hutan adat seluas 6,5 juta hektar. Selisih 2,2 juta hektar bisa jadi ada perbedaan dari proses pendataan yang dilakukan oleh pihak BRWA, AMAN, serta KLHK.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah capaian realisasi penetapan pengakuan hutan adat oleh KLHK yang hingga Desember 2021 baru mencapai 56.903 hektar. Dengan demikian, dalam waktu tiga tahun capaian kerja KLKH hanya 0,87 persen. Capaian ini sangat kecil yang mengindikasikan sulitnya masyarakat adat memperoleh haknya untuk mengelola wilayah adatnya secara legal.
Padahal, apabila merujuk pada definisi wilayah dan hutan adat, negara memiliki kewajiban untuk mengembalikan hutan adat yang merupakan hak masyarakat adat. Ditilik dari kacamata historis, keberadaan komunitas adat lebih dahulu dibandingkan sistem pemerintahan ala barat. Jadi, sudah selayaknya negara mengakselerasi pengembalian wilayah adat ini bagi yang berhak.
Menurut R Yando Zakaria, antropolog serta peneliti pada Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka), dalam artikelnya di Kompas (24/11/2021) dengan judul Peraturan dengan Rasa Kolonial dan Pelanggaran HAM menyatakan sejumlah gugatan terkait hak tanah komunitas adat. Hal ini berkaitan dengan kondisi saat ini di mana pengambilan hak tanah komunitas adat oleh negara merupakan serangkaian sistem pemerintahan ala Barat yang diberlakukan sejak era Hindia Belanda hingga Indonesia sekarang.
Poin yang digugat oleh Zakaria adalah dalam proses penetapan suatu hutan adat, pemerintah masih berpedoman pada pendekatan ekonomi atau kemampuan pengolahan masyarakat adat terhadap lahan yang mereka klaim, daripada sebagai keputusan untuk menghormati nilai-nilai kultural yang melekat pada hutan adat.
Kerangka kebijakan tersebut ternyata diturunkan dari logika cara berpikir pemerintah kolonial ketika melihat kaum bumiputra sebagai kelas sosial kedua di bawah kaum Eropa. Kaum bumiputra akan diakui setara apabila memiliki kemampuan setingkat dengan orang Eropa. Apalagi, jika dapat membantu keberhasilan bisnis pemerintah kolonial. Hal ini dilakukan dengan mengesampingkan aspek budaya bumiputra tentunya.
Padahal, dapat disaksikan bahwa model kerja, relasi sosial, serta tatanan ekonomi komunitas adat berbeda dengan sistem formal yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia. Bahkan, pedoman adat dalam ranah ekonomi antarkomunitas adat dapat berbeda-beda.
Pengalaman ketahanan komunitas adat dalam menghadapi pandemi dengan keadaan minim intervensi dari pemerintah patut diapresiasi. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk segera mendorong kemandirian guna semakin menyejahterakan komunitas adat berikut lingkungan di sekitarnya. Apabila pemerintah memang sungguh berniat menyejahterakan masyarakat adat, berilah apa yang menjadi hak mereka, yaitu wilayah adat yang selama ini dikuasai negara. (LITBANG KOMPAS)