Harap-harap Cemas Hadapi Strategi Moneter AS
Kenaikan suku bunga di AS disinyalir akan melahirkan inflasi yang tinggi. Krisis ekonomi dan perlambatan perekonomian AS di depan mata ?
Keputusan bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga secara dramatis ditanggapi secara hati-hati oleh berbagai pihak. Sebagian sepakat dengan pertimbangan inflasi yang meroket, sedangkan lainnya justru khawatir dengan potensi perlambatan ekonomi sebagai dampaknya.
Di tengah ketidakpastian global akibat krisis Eropa Timur dan Covid-19, The Fed tengah menapaki jalan moneter yang curam dan penuh lubang.
Federal Reserve mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 0,5 persen pada Rabu (4/5/2022). Kenaikan ini dirasa cukup tajam dan menjadi yang terbesar setidaknya selama lebih dari dua dekade terakhir. Keputusan ini pun memicu reaksi beragam dari para pemangku kebijakan.
Di satu sisi, strategi memompa suku bunga ini merupakan reaksi yang logis dari tren inflasi yang terus meroket selama setahun ke belakang. Pada Januari 2021, inflasi y-o-y di AS berada di kisaran 1,4 persen.
Angka tersebut terus naik hingga ke titik 5 persen hanya dalam wakti empat bulan saja. Pada puncaknya, inflasi pun menyentuh angka 8,5 persen di Maret 2022. Angka ini jauh dari yang ditargetkan The Fed tahun ini yakni inflasi di kisaran 2 persen.
Baca juga : Data Ekonomi AS Perkuat Kemungkinan Kenaikan Suku Bunga The Fed
Masyarakat khawatirkan inflasi
Kenaikan inflasi secara tajam ini pun dirasakan oleh masyarakat. Hasil jajak pendapat dari pada Februari lalu menunjukkan bahwa 9 dari 10 masyarakat di AS menyadari adanya inflasi dari kenaikan harga-harga.
Bila sebelumnya mereka dapat menghindari produk yang nilainya terdongkrak pesat, seperti harga kendaraan bekas, kini inflasi telah mempengaruhi harga-harga kebutuhan sehari-hari seperti telur, daging, susu dan terutama bahan bakar.
Hal ini pun tercermin dari data inflasi per kategori produk pada Maret 2022. Akibat terganggunya rantai pasok minyak dunia karena perang Rusia-Ukraina, energi menjadi sektor yang paling terpukul. Dalam periode waktu tersebut, energi di AS mengalami inflasi y-o-y sebesar 32 persen.
Selain energi, bahan makanan juga menjadi sektor yang mengalami inflasi cukup tinggi. Pada Maret lalu, inflasi pada produk kategori ini nyaris menyentuh angka 9 persen.
Tren serupa juga terasa pada berbagai kebutuhan pokok lain seperti sandang (6,8 persen) dan papan (5 persen). Berdasar catatan dari New York Times, kenaikan harga ini merupakan yang terburuk setidaknya selama empat dekade terakhir.
Tak ayal, kenaikan biaya hidup secara drastis dalam waktu memicu kegalauan masyarakat. Hasil jajak pendapat dari Gallup menunjukkan bahwa kenaikan inflasi dibarengi juga dengan kekhawatiran publik.
Pada Desember 2021, ketika inflasi berada di kisaran 7 persen secara year on year, sekitar 29 persen dari masyarakat AS mengaku ekonomi menjadi persoalan paling penting yang harus diselesaikan pemerintah AS. Angka tersebut naik menjadi 35 persen di Maret lalu ketika inflasi tembus di 8,5 persen.
Jika ditelaah lebih dalam, semakin gelapnya pandangan publik terhadap situasi ekonomi ini sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga kebutuhan sehari-hari akibat inflasi.
Hasil survei yang sama menunjukkan bahwa kekhawatiran publik berada di level 6 persen pada Desember 2021. Angka tersebut naik hingga nyaris tiga kali lipat di Maret 2022 dengan kekhawatiran di kisaran 17 persen.
Di tengah ketidakpastian global akibat krisis Eropa Timur dan Covid-19, The Fed tengah menapaki jalan moneter yang curam dan penuh lubang.
Di samping kebutuhan sehari-hari, beberapa variabel lain yang turut memicu kekhawatiran masyarakat ialah inflasi di bahan bakar. Kekhawatiran akan produk energi ini meningkat dari 1 persen menjadi 4 persen dalam waktu tak sampai satu semester.
Tentunya, kekhawatiran atas situasi ekonomi ini pun merembet ke persoalan politik. Terus diterpa krisis, mulai dari pandemi hingga perang Rusia-Ukraina, keadaan ekonomi yang pelik ini turut menggerus legitimasi pemerintahan Joe Biden di AS.
Hasil jajak pendapat Gallup menunjukkan, sekitar 20 sampai 22 persen dari publik AS merasa bahwa pemerintahan yang buruk menjadi persoalan bangsa yang paling penting untuk segera diselesaikan. Artinya, lebih dari seperlima masyarakat AS tidak puas dengan kinerja pemerintahan Biden.
Hal ini pun diperburuk dengan meningkatnya kekhawatiran akan hubungan AS-Rusia dari 2 persen pada Februari 2022 menjadi 9 persen di Maret 2022.
Hasil survei di atas menunjukkan bahwa permasalahan inflasi ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga politik. Terlebih lagi, Biden akan menghadapi pemilu paruh waktu di 8 November nanti. Apabila situasi tak segera terkendali, bisa saja Partai Demokrat mendapatkan perolehan yang mengecewakan pada pemilu tersebut.
Baca juga : Pilihan The Fed di Tengah Perang, Pandemi, dan Inflasi
Mitigasi dampak global
Tak ayal, langkah The Fed menaikkan suku bunga dapat dilihat sebagai langkah AS memitigasi perburukan inflasi dalam waktu dekat. Kenaikan tajam dari suku bunga ini umumnya akan melemahkan permintaan di pasar, memancing orang untuk menyimpan uangnya di bank atau instrumen keuangan lain. Hal ini kemudian diharapkan akan “mendinginkan” mesin perekonomian hingga inflasi dapat ditekan.
Namun di sisi lain, apabila tidak hati-hati, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang. Mesin ekonomi yang terlampau dingin tersebut bisa saja gagal untuk kembali mendapatkan momentum sehingga menaikkan suku bunga justru dapat menyebabkan resesi.
Resiko ini semakin mengkhawatirkan di tengah tekanan yang kini tengah dihadapi perekonomian AS. Di satu sisi, inflasi diakibatkan oleh tekanan yang disebabkan oleh krisis Rusia – Ukraina.
Artinya, inflasi yang terjadi, utamanya di sektor pangan dan energi, bukan diakibatkan oleh tingginya permintaan di pasar sebagai tanda kian menguatnya ekonomi. Melainkan, inflasi diakibatkan oleh semakin langkanya produk kebutuhan karena rusaknya rantai pasok.
Namun di sisi lain, kebijakan ini diambil ketika perekonomian AS sudah mulai sehat. Hal ini terlihat dari telah terkendalinya penangguran dari angka 14 persen pada pertengahan 2020 menjadi di kisaran 4 persen, sama seperti sebelum masa pandemi.
Terlebih lagi, daya beli dan konsumsi di AS juga relatif terjaga akibat paket bantuan yang terus digelontorkan Biden selama masa sulit satu setengah tahun terakhir.
Tak ayal, sehari berselang, kebijakan The Fed belum mendapat reaksi keras dari Wall Street. Setelah pengumuman dari bank sentral, pasar justru merespon positif berita tersebut.
Hal tersebut terlihat dari penutupan Wall Street pada Rabu (4/5/2022) dengan tren positif di beberapa indeks seperti Dow Jones yang naik sebesar 2,81 persen, S&P 500 terdongkrak sebesar 2,99 persen dan NASDAQ yang juga turut naik setinggi 3,19 persen.
Hal ini menandakan bahwa pasar finansial global relatif “merestui” langkah dari The Fed. Meskipun begitu, bukan berarti dampak global dari kebijakan tersebut tidak akan dirasakan.
Dalam waktu dekat, riak dari kebijakan tersebut mungkin akan terasa di pasar obligasi. Namun dalam jangka yang lebih panjang, dampak yang lebih serius dapat terasa apabila langkah The Fed terbukti memperlambat laju perekonomian AS secara siginifikan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Uang Kripto: Warren Buffett Vs Elon Musk