NU dan Komitmen Politik Kebangsaan
Perjalanan 96 tahun Nahdlatul Ulama menegaskan, organisasi keagamaan ini sudah melekat dengan semangat kebangsaan di negeri ini. Menjelang satu abad kelahirannya, NU makin mengukuhkan komitmen kebangsaannya.
Perjalanan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan yang genap berusia 96 tahun pada 31 Januari 2022 makin menegaskan, ia lahir tidak saja untuk menguatkan kepentingan keagamaan, tetapi juga kebangsaan. Demikian pula dalam isu pemilu, NU hadir dengan dinamikanya.
Penguatan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan kebangsaan dan kerakyatan kembali ditegaskan di Mukmatar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Muktamar ini memutuskan NU kembali ke khitah tahun 1926 saat didirikan sebagai organisasi keagamaan dan secara tegas keluar dari politik praktis. Muktamar 1984 ini juga menjadi tonggak bagi NU menggunakan anggaran dasar yang berasas Pancasila.
Di muktamar itu terpilih KH R As’ad Syamsul sebagai Mustasyar Aam, KH Ahmad Siddiq sebagai Rois Aam, dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. Terpilihnya Gus Dur sebagai ketua umum menjadi potret regenerasi penting di dalam tubuh NU, mengingat Gus Dur sebagai representasi generasi muda NU kala itu. Saat terpilih, Gus Dur masih berusia 43 tahun (Kompas, 13/12/1984).
Kepemimpinan Gus Dur selama tiga periode di PBNU memang meninggalkan catatan jejak sejarah yang melekat dalam diri warga nahdliyin. Gus Dur dikenal sebagai figur modernis di kalangan luar NU.
Pemikiran dan pergerakan Gus Dur saat memimpin NU membawa NU bertransformasi, bukan saja menjadi gerakan keagamaan secara kultural, melainkan juga mampu menjadi representasi penguatan pemikiran keagamaan yang terbuka, pluralis, dan akomodatif.
Tidak heran, dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu, selain lebih banyak dikenal dekat dengan dunia pondok pesantren, NU juga dilekatkan sebagai gerakan intelektual atau pemikiran.
Tentu, anggapan NU yang dilekatkan dengan dunia intelektual ini tidak bisa lepas dari figur Gus Dur. Gus Dur sangat melegenda, bukan saja bagi warga NU, melainkan juga masyarakat Indonesia secara umum.
Hasil jajak pendapat juga menempatkan Gus Dur sebagai tokoh NU yang paling banyak diingat publik. Dari kelompok responden yang menjawab tahu soal tokoh-tokoh NU, sebanyak 56,4 persen menyebut nama Gus Dur ketika ditanya siapa tokoh NU yang paling diingat dan berpengaruh dalam perkembangan NU.
Bisa jadi memori publik memang tidak lepas dari peran Gus Dur yang selama ini kuat dalam isu-isu publik, termasuk di isu toleransi dan pluralisme. Gus Dur juga menjadi aktor penting dalam gerakan reformasi 1998, terutama dalam mendorong arus demokratisasi yang dia rintis jauh sebelum reformasi. Tidak heran jika saat menjabat presiden sepanjang 1999-2001, Gus Dur berkomitmen terhadap isu keberagaman.
Pengaruh Gus Dur pun juga terbukti dengan perhelatan muktamar ke-34 di Lampung akhir Desember lalu. Dua kontestan calon ketua umum, yakni KH Said Aqil Siroj dan KH Yahya Cholil Staquf, sama-sama menjadikan Gus Dur sebagai inspirasi perjuangan.
Gus Dur juga menjadi aktor penting dalam gerakan reformasi 1998, terutama dalam mendorong arus demokratisasi yang dia rintis jauh sebelum reformasi.
Kedua calon ketua umum tersebut juga menjadikan figus Gus Dur sebagai tagline dalam kampanyenya di muktamar. Kiai Said dengan tagline ”Melanjutkan Perjuangan Gus Dur”, sedangkan Gus Yahya membawa jargon ”Menghidupkan Gus Dur”.
Keduanya menjadikan Gus Dur sebagai tema sentral perjuangan untuk merebut hati peserta muktamar. Setelah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU 2021-2026, Gus Yahya kembali menegaskan komitmennya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai pemikiran dan semangat Gus Dur dalam membangun NU.
Dalam sebuah kesempatan, Gus Yahya mengatakan, Gus Dur memang tak akan tergantikan. Namun, ia melihat masyarakat Nahdlatul Ulama masih membutuhkan fungsi dan peran seorang Gus Dur.
Tak pelak, Gus Dur memang menjadi ideolog di NU dan juga bangsa ini. Pemikiran-pemikiran kebangsaan Gus Dur membuktikan bagaimana ia memahami, memaknai, dan menerjemahkan agama di tengah fakta sosial yang tidak tunggal di Indonesia.
Gus Dur telah membawa NU menjadi kekuatan yang membangun relasi yang seimbang dan setara antara agama dan negara serta antara kekuatan masyarakat sipil dan negara.
Baca juga : Memperkuat Jangkar Moderasi, Catatan Pasca-Muktamar Ke-34 NU
Politik kebangsaan
Relasi yang seimbang antara kekuatan masyarakat sipil dan negara inilah yang kemudian semakin diwujudkan dengan posisi NU yang netral dalam politik. NU lebih bermain di wilayah politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Sejak Muktamar 1984 dengan memutuskan kembali ke khitah 1926, NU terus merawat komitmennya untuk berada di semua golongan dan kekuatan politik.
Komitmen ini berulang kali ditegaskan NU dalam setiap perhelatan politik, tak terkecuali saat pemilihan umum dan pilkada. Lihat saja, tidak cukup dengan Keputusan Muktamar 1984 di Situbondo, posisi NU yang netral dalam politik praktis ini kembali diperkuat dengan Keputusan Syuriah Pengurus Besar NU pada 16 Mei 2004 di Rembang, Jawa Tengah. Keputusan ini menegaskan kembali tentang netralitas dan visi NU ke depan, yaitu politik kerakyatan, bukan politik kekuasaan.
Meskipun netral dalam politik praktis, bukan berarti NU menjauhkan diri dari politik. Upaya-upaya memengaruhi kebijakan politik tetap menjadi koridor perjuangan NU. Salah satunya terbukti dengan munculnya desakan terkait perlunya wadah aspirasi politik bagi warga NU ketika era reformasi.
Desakan ini kemudian direspons PBNU dengan membentuk Tim Lima pada 3 Juni 1998. Tim ini bertugas untuk memenuhi aspirasi politik warga NU yang kemudian menjadi embrio kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa.
Meskipun netral dalam politik praktis, bukan berarti NU menjauhkan diri dari politik.
Namun, kelahiran PKB bukan berarti NU bergeser kembali ke politik praktis. Secara kelembagaan, NU tetap netral dan tidak mewajibkan anggotanya untuk memilih PKB. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh NU yang juga aktif di sejumlah partai politik lain di luar PKB. Bahkan, partai politik yang berbasis pemilih nahdliyin juga bermunculkan di era reformasi selain PKB.
Hal ini diperkuat dengan salah satu rekomendasi Muktamar XXX NU di Kediri tahun 1999 yang meminta seluruh pengurus NU di segala tingkatan tetap menempatkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan sebagai partai politik. Muktamar juga menegaskan bahwa NU harus selalu bersifat kritis terhadap partai mana pun dan mengontrol partai yang dianggap sebagai penyalur aspirasi politik warganya.
Baca juga : NU dan Poros Indonesia
Isu kepemiluan
Politik kebangsaan NU juga dibuktikan dengan kebijakan di isu-isu terkait kepemiluan. Bahkan, jauh sebelum perhelatan pemilihan presiden secara langsung, misalnya, Gus Dur mengusulkan gagasan perlunya undang-undang kepresidenan yang disampaikannya pada 1996. Menurut Gus Dur, dengan adanya undang-undang tersebut, mekanisme pencalonan, pemilihan, dan segala sesuatu menyangkut lembaga kepresidenan menjadi jelas dan punya dasar hukum kuat.
Kemudian soal isu politik uang juga pernah diangkat NU. Saat itu menjelang Pemilu 2009, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyerukan agar nahdliyin mewaspadai politik uang untuk memilih pemimpin bangsa. Politik uang dinilai sangat berbahaya karena dapat menghilangkan idealisme perjuangan, keislaman, dan kebangsaan.
Selain itu, di isu peran politik perempuan, NU juga menyuguhkan wacana bahwa perempuan memiliki peran dan kesempatan yang sama dalam berpolitik. Hal ini ditegaskan NU dalam Musyawarah Nasional Ulama NU di Lombok Tengah pada 1997 yang mengeluarkan pendapat tentang kemuliaan perempuan dan mendukung partisipasi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik.
Isu terakhir yang sempat menjadi perbincangan publik dan melahirkan pro kontra adalah gagasan PBNU terkait upaya amendemen UUD 1945. Saat bertemu Ketua MPR Bambang Soesatyo pada November 2019, PBNU mendukung agar presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelumnya, pada hasil Munas Alim Ulama NU di Cirebon pada 2012 juga mengusulkan pemilihan kepala daerah dikembalikan pada mekanisme pemilihan di DPRD.
Salah satu pertimbangan munculnya gagasan ini adalah tidak lepas dengan fenomena pragmatisme di masyarakat dengan maraknya praktik politik uang. Sebagian pihak merespons negatif gagasan ini. Namun, gagasan ini boleh jadi tidak lepas dari potret politik kebangsaan NU untuk mengawal proses demokrasi dengan tetap menjaga kemaslahatannnya bagi umat dan bangsa.
Di usianya yang menginjak 96 tahun dan menuju satu abad NU di bawah kepemimpinan KH Yahya Qolil Staquf, sebagian besar publik meyakini organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini akan bisa jauh lebih baik lagi peran dan gerakannya di Indonesia. Selamat Harlah NU. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : NU, Politik, dan Gus Yahya