Omicron, Ujian Kedua Resiliensi Bangsa
Terkendalinya pandemi di Indonesia tetap menyaratkan penerapan ketat protokol kesehatan, apalagi omicron tetap menjadi ancaman. Bagaimana pengendalian pandemi di Indonesia di 2022?
Pengendalian Covid-19 di Indonesia sampai akhir tahun 2021 menunjukkan kinerja yang terus membaik. Indonesia berhasil melewati satu tahap kritis ujian kesehatan publik yang disebabkan virus varian bernama Delta.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia diapresiasi kalangan internasional karena di tengah populasi massif yang dimiliki akhirnya mampu mengatasi dampak negatif pandemi terutama di aspek kesehatan.
Namun kini muncul lagi varian baru berjuluk Omicron, yang meski disebut-sebut kurang ganas ketimbang varian Delta, tak kalah mengkhawatirkan dan kembali menguji relisilensi bangsa ini.
Apakah program vaksinasi, infrastruktur kesehatan dan kepatuhan masyarakat sebagai modal sosial yang sudah terbangun akan mampu menghadang merebaknya varian Omicron?
Omicron pertama kali dideteksi muncul di Afrika Selatan dan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ditetapkan sebagai Variants of Concern (VOC), alias varian yang lebih berbahaya ketimbang lusinan varian hasil mutasi virus korona penyebab Covid-19, pada 26 November 2021.
Setelah virus itu masuk ke negara-negara Eropa dan Asia, virus ini terdeteksi di Indonesia pada 15 Desember 2021. Artinya, hanya dalam kurun 20 hari varian Omicron sudah bersirkulasi di Indonesia.
Adapun varian Delta, yang ditetapkan sebagai VOC oleh WHO pada 11 Mei 2021, terdeteksi di Indonesia pertama kali pada awal Juni 2021. Hampir sama dengan varian Omicron, varian Delta juga berhasil masuk ke Indonesia dalam hitungan 20-an hari.
Lonjakan kasus akibat varian Delta di Indonesia mulai terjadi pada Juni hingga Juli 2021. Selama dua bulan itu terjadi lonjakan eksponensial penambahan kasus positif Covid-19 sebanyak 1,59 juta kasus.
Angka tersebut setara dengan jumlah kasus yang terjadi sepanjang 13 bulan pertama virus korona SARS-CoV-2 merebak di Indonesia (Maret 2020 – April 2021).
Adapun varian Omicron yang terdeteksi di Indonesia periode 15-29 Desember 2021 tercatat sebanyak 68 kasus alias masih di tahap awal. Oleh karena itu, kesiagaan mesti ditingkatkan karena saat ini Indonesia belum mengalami fase puncak lonjakan kasus akibat varian Omicron.
Dengan WHO menyebut varian Delta dan Omicron sebagai ancaman ganda atau kembar (twin treat), maka bulan Januari-Februari 2022 menjadi masa yang rawan penularan Omicron, utamanya karena usai liburan Hari Raya Natal dan Tahun Baru.
Hal itu mengikuti pola varian Delta yang terjadi pasca hari raya Idul Fitri (lebaran) dan liburan sekolah tengah tahun. Tentu kita berharap tidak terjadi lonjakan kasus yang tinggi seperti saat varian Delta menerjang.
Baca juga : Lebih Sehat, Adil, dan Hijau
Transformasi resiliensi
Seiring dengan merebaknya dampak varian Delta di bulan Juni-Juli 2021 lalu, Litbang Kompas telah mengembangkan Indeks untuk mengukur situasi pengendalian Covid-19 di Indonesia.
Pengukuran Indeks Pengendalian Covid-19 atau IPC di Indonesia oleh Kompas per 27 Desember 2021 lalu telah mencapai angka tertinggi sejak peluncuran Indeks, yakni skor 83. Di bulan terakhir tahun ini, skor nasional IPC stabil di level 80-an. Tidak naik drastis, tetapi tidak turun di tengah intaian varian Omicron.
Apa yang bisa kita baca dari skor IPC yang telah berlangsung selama enam bulan ini? Indeks IPC yang memotret kinerja pemerintahan di tingkat provinsi hingga pusat dari aspek manajemen infeksi dan pengobatan ini secara tidak langsung menggambarkan transformasi tingkat resiliensi masyarakat Indonesia di masa pandemi.
Dikatakan demikian karena pandemi selama satu setengah tahun lebih ini menguras energi hampir semua sumber daya yang dimiliki bangsa ini, mulai dari waktu, tenaga, finansial, emosi, dan bahkan air mata.
Masyarakat dihadapkan pada tekanan kehidupan yang tak terduga, datang bertubi-tubi, dan menimbulkan ketidakpastian masa depan bagi hampir semua orang.
Nyatanya, keuletan, ketahanan atas tekanan atau resiliensi bangsa ini terpantau tetap baik. Resiliensi secara deskriptif merupakan suatu kapasitas atau kemampuan, baik personal, masyarakat, atau suatu bangsa, untuk bertahan dan bangkit dari situasi yang tidak menyenangkan atau masa yang sulit penuh tekanan.
Melalui skor IPC kita bisa melihat daya tahan masyarakat selama pandemi yang turun ke titik terendah, lalu kemudian perlahan berjuang bangkit kembali. Pada 19 Juli 2021 saat indeks ini dimulai, skor nasional IPC nasional berada di angka 44. Hanya dalam kurun waktu enam bulan, dengan berbagai upaya pemerintah dan masyarakat skor nasional bergerak naik ke angka 83.
Merunut perjalanan penilaian di IPC, skor terendah di bulan Juli 2021 menunjukkan daya tahan masyarakat yang masih rapuh. Perjuangan pemulihan yang cukup berat terjadi pada bulan Juli hingga awal September. Baru di minggu ke-9 skor nasional terpantau mencapai angka 70 dan terus naik hingga ke level 80.
Apakah skor IPC Kompas ini bisa mencapai 100? Sangat bisa, jika pemerintah dan masyarakat sama-sama menjalankan tugasnya. Skor 100 artinya kondisi resiliensi bangsa sudah sangat kuat dan status Covid-19 sudah menjadi endemik alias kondisi penyebaran virus terkendali. Saat ini, daerah yang skor pengendaliannya sudah mencapai level 90 ada dua, yakni DKI Jakarta (95) dan D.I. Yogyakarta (90).
Secara teknis, skor indeks IPC menyajikan pola transmisi dan kesenjangan kemampuan pemerintahan daerah dalam mengendalikan pandemi. Karakteristik geografis wilayah Indonesia yang berupa kepulauan sangat memengaruhi pola transmisi dan kinerja pemerintahan daerah.
Faktor pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut ini menyebabkan penyebaran infeksi virus korona tidak terjadi secara serentak. Terindikasi, pulau Jawa-Bali menjadi lokasi penularan awal dan mengalami lebih dahulu lonjakan kasus karena tingkat mobilitas yang tinggi.
Di luar Jawa-Bali, baru mengalami lonjakan kasus selang dua-tiga minggu setelahnya. Itu sebabnya pula ketika skor IPC provinsi di Jawa lebih dulu rendah, baru diikuti provinsi di luar Jawa. Pola pemulihannya juga sama, Jawa pulih terlebih dahulu diikuti pulau lainnya.
Baca juga : Tahun 2022, Kewaspadaan Wabah Korona Wajib Hukumnya
Daerah berhasil
Populasi dan mobilitas yang tinggi, konektivitas antardaerah yang baik menyebabkan Pulau Jawa menjadi episentrum pandemi di Indonesia. Hal itu terlihat dari skor provinsi-provinsi di Jawa yang sangat rendah pada saat terjadi lonjakan kasus di bulan Juli 2021 dibandingkan provinsi di luar Jawa.
Skor IPC terendah saat itu pernah dipegang oleh Jawa Timur dan Yogyakarta dengan skor masing-masing adalah 27 dan 30. Banten skornya 32, Jawa Tengah 33, Jawa Barat 38, Jakarta 45, dan Bali 46.
Skor terendah di luar Jawa baru terjadi di bulan Agustus dan September. Lampung, misalnya, mengalami skor terendah pada minggu pertama Agustus dengan skor 20. Lalu di Sulawesi, Provinsi Sulawesi Tengah mengalami skor terendah pada pertengahan Agustus dengan skor 33.
Dengan skor nasional IPC yang kini di angka 83, masih terdapat 12 provinsi yang mendapat skor di bawah angka tersebut. Mayoritas adalah provinsi di luar Jawa. Ke-12 provinsi itu adalah Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Sementara 10 provinsi yang tergolong baik pengendalian pandeminya yaitu DKI Jakarta, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Bengkulu, Bali, Kepulauan Bangka dan Belitung, Kalimantan Timur, Banten, serta Jawa Barat.
Pada akhirnya, sejumlah faktor seperti cakupan wilayah, jumlah penduduk, fasilitas kesehatan, anggaran dan tingkat kedisiplinan masyarakat menjadi penentu keberhasilan tiap provinsi dalam menjalankan protokol kesehatan.
Kita semua perlu menjaga terus penerapan protokol kesehatan secara layak hingga virus ini benar-benar bisa terkendali secara menyeluruh. Seperti kata lembaga WHO, no one is safe unless everyone is safe. Tidak ada daerah yang terkendali dari pandemi, sampai semua daerah benar-benar terkendali. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Omicron dan Arah Wabah ke Depan