Kilas Balik Panggung Global di Paruh Kedua 2021
Setahun terakhir perhatian dunia tidak sekadar soal pandemi, tetapi juga instabilitas geopolitik. Isu perubahan iklim juga menyita perhatian pemerintah di dunia. Bagaimana kesiapan Indonesia?
Panggung internasional dipenuhi dengan kejutan-kejutan di paruh kedua 2021 ini. Tak hanya soal pandemi, perhatian dunia juga terpecah oleh instabilitas geopolitik. Tak ayal, memahami peristiwa di periode waktu ini bisa menjadi modal kuat dalam memahami dinamika hubungan internasional tahun depan.
Paruh kedua tahun 2021 dimulai dengan berat. Mutasi virus penyebab Covid-19 varian Delta merebak di nyaris tiap negara di dunia. Bahkan, negara-negara di Benua Eropa yang sebelumnya telah relatif mampu mengendalikan pandemi pun kewalahan.
Pada rentang Juli hingga Agustus, tak terkecuali Indonesia, puluhan negara di dunia harus mampu menanganani puluhan ribu kasus baru setiap hari.
Namun, upaya pemerintah sejumlah negara untuk mengontrol mobilitas masyarakat dan menggenjot vaksinasi terbukti ampuh.
Kasus harian di sejumlah negara selama Oktober hingga November mulai melandai, begitu pula dengan tingkat kematian yang juga ikut turun. Sayangnya, tren ini tak bertahan lama dengan munculnya varian Omicron pada akhir November lalu.
Temuan awal dari penelitian atas galur ini menunjukkan bahwa varian Omicron memiliki dua karakteristik yang berbeda dengan sepupunya, varian Delta. Namun, bukan berarti varian ini bisa dipandang sebelah mata. Pasalnya, Omicron justru memiliki kemampuan transmisi yang jauh lebih cepat.
Negara-negara yang tak siap tersentuh varian ini, contohnya negara Eropa Barat, terbukti kelimpungan dengan kenaikan kasus harian berkali lipat dalam waktu kurang dari satu bulan. Maka, sebagai negara yang juga sedang memiliki kasus aktif varian Omicron, Indonesia perlu hati-hati dan sigap dalam memutus rantai penyebaran.
Baca juga : Eropa Masih Berjibaku Kendalikan Covid-19
Instabilitas geopolitik
Di samping soal pandemi, gelanggang internasional juga diwarnai oleh instabilitas geopolitik. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, Timur Tengah masih menjadi wilayah yang tidak stabil.
Beberapa isu, seperti konflik Suriah dan Yaman, masih belum menemukan ujung dan bahkan semakin parah dengan pukulan pandemi. Meskipun begitu, terdapat beberapa perkembangan situasi yang menarik untuk diperhatikan.
Peristiwa penting yang menjadi catatan dalam sejarah ialah kembali berkuasanya Taliban atas Afghanistan setelah bergerilya selama dua dekade. Sebetulnya, tak sulit untuk memprediksi bahwa Taliban akan kembali menguasai Afghanistan cepat atau lambat.
Hal ini secara tidak langsung merupakan dampak dari kebijakan AS yang mulai menarik mundur pasukannya semenjak pemerintahan Obama satu dekade lalu.
Kepergian ribuan pasukan AS yang selama ini menjadi faktor utama penopang stabilitas serta militer negara Afghanistan yang tak kunjung mapan ini menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.
Secara konsisten, Taliban berhasil menggerogoti kota yang dulu dikuasai oleh Pemerintah Afghanistan dan diisi oleh pasukan AS. Maka, ketika AS memutuskan untuk menarik semua pasukannya dari negara tersebut, bom waktu Taliban pun meledak dan kelompok ini berhasil naik takhta menjadi pemerintah secara de facto.
Pemerintahan Taliban ini menjadi sebuah tonggak baru dalam sejarah Timur Tengah modern. Di satu sisi, peristiwa ini menunjukkan bahwa AS tak lagi tertarik dengan strategi kontraterorisme dengan model invasi dan demokratisasi.
Alih-alih, AS justru lebih getol untuk menguatkan hubungan dengan mitra strategis, seperti Arab Saudi, Israel, dan Irak. Tak hanya itu, tren normalisasi hubungan negara Arab dengan Israel yang terjadi pada 2020 juga kemungkinan akan berlanjut tahun depan bersamaan dengan rumor yang beredar bahwa Pemerintah AS tengah membrokeri perjanjian normalisasi Arab Saudi dengan Israel.
Perhatian AS tampaknya kini terpecah di bagian Timur dan Utara dunia. Di Timur, dunia tercekat dengan China yang semakin nekat menunjukkan ambisinya.
Apabila dahulu malu-malu, kini China tak segan untuk menunjukkan seberapa kuat kekuatan militernya dan seberapa dunia tak berkutik untuk berbuat apa-apa.
Agresivitas China ini ditunjukkan melalui diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) di kawasan Laut China Selatan dengan rutin berpatroli dan menempatkan pasukan serta fasilitas militer di pulau reklamasi yang mereka buat.
Selama enam bulan terakhir China telah berani ”menindak” mereka yang dianggap melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang secara sepihak mereka tetapkan di batas sembilan garis putus-putus (nine-dash line).
Insiden terakhir terjadi pada pertengahan November, ketika China memblokade dan menembak kapal suplai militer Filipina yang hendak membawa logistik ke arah Ayungin Shoal. Tak hanya itu, enam kapal perang China juga pernah masuk ke perairan Laut Natuna Utara pada September lalu.
Ancaman China ini tak bisa dianggap remeh. Pasalnya, China kini telah mengeluarkan aturan yang akan digunakan jika ada pihak yang dianggap melanggar ZEE-nya.
Pelanggaran ini termasuk pemanfaatan sumber daya seperti tambang dan perikanan. Tak ayal, para nelayan yang biasa menangkap ikan di wilayah Laut Natuna Utara pun terancam ditangkap dan dihukum denda hingga penenggelaman kapal.
Hingga saat ini, tak banyak yang dapat dilakukan oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara atas tindakan semena-mena China. Bahkan, Filipina dan Indonesia yang jelas-jelas dikonfrontasi secara langsung pun nyaris tidak melakukan apa-apa.
Hal ini menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi China yang dijalankan satu dekade terakhir telah membuat ketergantungan sehingga negara-negara di kawasan ini lebih takut kehilangan partner ekonomi ketimbang melindungi kedaulatan.
Bergeser ke Eropa Timur, ketegangan terjadi di pengujung tahun ini akibat meningkatnya aktivitas oleh militer Rusia di perbatasan negara tersebut dengan Ukraina.
Hingga minggu lalu, laporan dari intelijen AS menyebutkan bahwa Rusia telah menempatkan lebih dari 50 pasukan khusus berisikan sekitar 4.500 personel dengan persenjataan lengkap, seperti artileri dan senjata antitank. Hingga kini telah ada lebih dari 94.000 personel militer Rusia yang ditempatkan di pos-pos perbatasan antara Rusia dan Ukraina.
Sikap agresif Rusia ini dipicu oleh langkah AS dan sekutunya di Eropa Barat yang berencana untuk memasukkan Ukraina ke NATO, aliansi militer terbesar di dunia saat ini.
Agar Rusia menarik mundur pasukannya dan menurunkan tensi di kawasan, mereka menuntut NATO tidak melakukan ”ekspansi” lebih jauh ke arah timur dan membiarkan Ukraina berada di luar organisasi tersebut.
Eskalasi ketegangan ini menarik untuk terus diperhatikan karena Rusia memiliki preseden buruk untuk tak segan melakukan aneksasi ke negara tetangganya selama satu setengah dekade terakhir.
Baca juga : Memaknai Dampak Perubahan Iklim
Peningkatan intensitas bencana dan upaya penanganan krisis iklim dunia
babak kedua tahun 2021 memberikan gambaran nyata seberapa gentingnya situasi krisis iklim dunia.
Kegentingan ini terefleksi dari meningkatnya intensitas bencana terkait dengan perubahan iklim di berbagai belahan dunia. Salah satu bencana yang paling mengerikan di periode waktu ini ialah kebakaran hutan mulai dari di Amerika Utara hingga Eropa.
Di beberapa wilayah, seperti Amerika Utara, bencana kebakaran hutan sebetulnya bukan sekali ini saja terjadi. Namun, bencana kebakaran hutan kali ini menjadi yang terburuk selama beberapa tahun terakhir.
Di AS saja, jutaan hektar hutan telah terbakar semenjak Agustus lalu. Bahkan, kebakaran di beberapa lokasi terus berlanjut hingga musim dingin pada bulan November.
Bencana serupa juga melanda beberapa negara di Eropa, seperti Perancis, Yunani, dan Italia. Bahkan, negara di belahan bumi utara, seperti Rusia, pun ikut dilanda kebakaran hebat.
Kenyataan bahwa bagian bumi yang beririsan dengan kutub utara, salah satu wilayah dengan suhu dingin ekstrem, tak luput dari serangan panas seharusnya sudah cukup bisa menjadi bukti bahwa perubahan iklim bukan persoalan main-main.
Upaya bersama dalam penanganan krisis iklim ini sebetulnya telah dimulai lama. Hampir setiap tahun, negara yang tergabung ke dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP) berkumpul dan menetapkan strategi kolektif untuk menahan laju pemanasan global yang menjadi biang dari perubahan iklim.
Setelah tertunda pada 2020, COP 26 kembali diselenggarakan di Glasgow dengan misi menahan laju peningkatan suhu global kurang dari atau sama dengan 1,5 derajat celsius dibandingkan suhu saat masa praindustri.
Perhelatan yang mengumpulkan lebih dari 200 negara tersebut menelurkan beberapa poin perjanjian. Poin pertama ialah emisi karbon dioksida di tingkat global harus dapat diturunkan sebesar 45 persen pada 2030.
Selain itu, kesepakatan di COP 26 juga mencakup poin terkait mengurangi emisi gas metana, mengurangi subsidi bagi konsumsi energi fosil, meningkatkan investasi ke perusahaan atau bisnis yang memiliki komitmen lingkungan net-zero emission, dan menekan laju deforestasi.
Sayangnya, kesepakatan ini dinilai tak cukup oleh para saintis. Meski cenderung lebih ambisius dibandingkan dengan COP 15 Paris dengan target peningkatan suhu global di bawah 2 derajat celsius, kesepakatan di COP 26 ini justru menghasilkan kesepakatan yang kurang realistis.
Pasalnya, menurut model yang dikembangkan oleh Climate Action Tracker, apabila semua pihak dalam perjanjian mematuhi komitmen, suhu dunia akan naik setidaknya 2,4 derajat celsius pada 2100.
Apabila para pihak masih curi-curi kesempatan untuk melanggar, model tersebut mengestimasi kenaikan suhu global akan berada di kisaran 2,5-2,9 derajat celsius.
Bencana pada 2021 ini hanyalah trailer dari bencana yang akan terjadi apabila pemerintah di seluruh dunia tidak serius dalam menanggapi krisis iklim. Di Indonesia sendiri, laju deforestasi yang tak terkontrol telah terbukti menghasilkan banjir yang semakin ganas tiap tahun.
Tidak hanya itu, sebagai negara dengan bentang pesisir pantai seluas ribuan kilometer persegi, Indonesia semestinya menjadi salah satu yang akan paling terdampak dari kenaikan muka air laut akibat krisis iklim. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ketahanan Pangan dan Pemanasan Global