Tokoh yang Menari di Panggung Oligarkis
Banyak nama beredar dalam bursa calon presiden di 2024. Cengkeraman oligarki partai menjadi ujian sekaligus tantangan bagi tokoh-tokoh dalam memperebutkan dukungan. Siapa yang berhasil melewatinya?
Hingga akhir 2021, publik tampaknya belum menemukan sosok yang cukup memukau, sehingga elektabilitas tokoh cenderung masih rendah dan tersebar. Meskipun sudah cukup banyak nama-nama yang beredar untuk Pemilu Presiden 2024, hanya sedikit yang betul-betul terserap di pasar politik. Dalam cengkeraman oligarki partai, sejauh mana tokoh-tokoh dapat memaksimalkan dukungannya pada 2022?
Hasil survei Litbang Kompas memperlihatkan, ada sekitar 37,2 persen masyarakat yang masih merahasiakan atau tidak tahu siapa tokoh yang akan mereka pilih jika pemilu dilakukan hari ini.
Persentase itu hampir tiga kali lipat dari jumlah pemilih tokoh dengan elektabilitas tertinggi. Tokoh dengan elektabilitas tertinggi adalah Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo yang keduanya sama-sama mendapat simpati masyarakat sebanyak 13,9 persen. Tokoh ke tiga, Anies Baswedan, hanya mendapatkan 9,6 persen, dan tokoh-tokoh lainnya berada di kisaran 5 persen ke bawah.
Senada dengan itu, kelesuan juga terasa pada pasar partai politik. Bahkan, ada tren penurunan minat orang memilih partai politik. Pada bulan April, pemilih mengambang masih 27,6 persen, tetapi melonjak menjadi 40,8 persen pada Oktober 2021.
Naiknya jumlah orang yang makin merahasiakan pilihannya berpengaruh pada elektabilitas partai-partai, menjadi kian merosot. DPI-P. Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, dan Demokrat menunjukkan tren menurun. Hanya PKS yang terlihat naik.
Geliat Pemilu 2024 yang bakal menjadi pemilu paling akbar di Indonesia sesungguhnya dapat menjadi momentum bagi berbagai tokoh dan partai politik untuk unjuk daya tarik.
Sayangnya, cukup banyak figur dan partai yang belum memperlihatkan sikap dan arah politiknya secara jelas. Memang, cukup banyak yang mulai memajang penampilan dalam bentuk baliho atau sarana promosi lainnya, tetapi publikasi bisu ini nyaris tak berdampak apa-apa pada pilihan masyarakat.
Sementara, gagasan dan unjuk kepintaran meramu arah Indonesia ke depan, belum teraktualisasikan. Padahal, tahapan pemilu akan dimulai pada tahun 2022.
Baca juga : PDI-P Melandai, Inilah Penopang Suara yang Bergeser
Oligarki partai
Sepinya penantang baru yang betul-betul menonjol dapat ditelusuri dari dominasi pengaruh yang cukup mengkooptasi, yaitu terbentuknya koalisi besar di pemerintahan.
Ketika Pilpres 2019 dimenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, pemerintah menguasai 349 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan menyisakan 226 kursi di pihak oposisi. Bergabungnya Partai Gerindra di pemerintahan kemudian menambah kursi pendukung pemerintahan menjadi 427.
Terakhir, bergabungnya PAN yang memiliki 44 kursi ke kubu pemerintah, menjadikan total kursi berjumlah 471 atau 81,9 persen. Dari sembilan partai yang memperoleh kursi parlemen, hanya tersisa dua partai, yaitu PKS dan Demokrat, yang berada di luar pemerintahan.
Koalisi kali ini merupakan yang tergemuk yang dapat dibentuk oleh pemerintahan selepas pemilu presiden langsung 2004 hingga 2019. Dengan penguasaan atas partai politik yang demikian besar di DPR dan pemerintahan, tak pelak, hegemoni kekuasaan yang didukung oligarki partai telah terbentuk.
Dari sisi pemerintah, upaya membangun koalisi besar memang menjadi pilihan rasional, ketika stabilitas politik pasca pemilu menjadi tujuannya. Terlebih, pemilu yang menancapkan segregasi sosial cukup dalam ini dapat menyulitkan pelaksanaan program pemerintah.
Dengan penguasaan koalisi parpol pemerintah yang besar, jalannya pengelolaan negeri melalui program-program pembangunan yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat diamankan.
Stabilitas politik dan keamanan memang relatif dapat terjaga. Kecuali di beberapa spot area yang secara sporadis masih mengalami masalah keamanan, negara Indonesia yang ditopang oleh kemajemukan yang demikian besar masih terbilang kondusif.
Tensi politik yang begitu tinggi menjelang Pemilu 2019 juga perlahan menurun, meskipun segregasi sosial antara pendukung dan non pendukung Jokowi masih belum mencair.
Akan tetapi, dilihat dari segi kualitas demokrasi, oligarki partai dapat menjadi kerangkeng yang menyandera, baik hak politik maupun hak azasi masyarakat secara luas.
Baca juga : Elektabilitas PKS Meningkat, Inilah Pertanyaan yang Harus Dijawab
Pemusatan negara
Pandemi Covid-19 yang menginveksi sejak Maret 2020, menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, terutama kesehatan dan ekonomi keluarga. Dalam situasi lemah, bergerak dalam keterbatasan, dan kemandirian ekonomi yang menurun, ketergantungan pada negara semakin besar. Inisiatif-inisiatif negara diperlukan untuk mengatasi pandemi dan menjaga daya topang masyarakat yang melemah.
Situasi ini membuat posisi negara menjadi sentral, pemerintah menjadi pemain utama yang menentukan keberlangsungan masyarakat. Efeknya, terjadi pemusatan kekuasaan yang makin besar pada negara, terlebih ketika pandemi berada di puncak. Dengan kekuatan yang dimiliki negara, program-program pemerintah yang terkait dengan vaksinasi relatif dapat diterapkan di semua wilayah Indonesia.
Beberapa daerah di mana Jokowi kalah dalam pemilu lalu memang resistensinya lebih tinggi, tetapi sebagian tetap menerima vaksinasi. Urusan hidup mati, tampaknya sementara dapat mengesampingkan tendensi politik.
Ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah, membuat persepsi terhadap kepuasan atas kinerja pemerintah juga terus naik. Survei nasional Litbang Kompas yang merekam kinerja pemerintah setiap enam bulan sekali, mencatat kenaikan apresiasi secara gradual sejak Agustus 2020 sampai dengan April 2021.
Namun, meredanya pandemi yang diiringi dengan pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat kemandirian masyarakat perlahan kembali pulih.
Sebaran vaksinasi yang sudah cukup merata pada bulan Oktober 2021 juga membuat keyakinan masyarakat makin kuat, baik untuk menghadapi pandemi maupun hidup di era normal baru.
Perimbangan kekuasaan pun bergeser, monopoli kekuatan negara yang di masa puncak pandemi demikian besar, perlahan berkurang. Penurunan kepuasan atas kinerja pemerintah di bulan Oktober dapat dibaca sebagai kembali menguatnya masyarakat sipil setelah satu setengah tahun dalam tarikan pemusatan kekuatan negara akibat pandemi.
Meski demikian, tak dapat dimungkiri, pemusatan kekuatan politik dalam bentuk koalisi oligarkis yang diperkuat oleh situasi darurat pandemi Covid-19, telah mendorong kristalisasi politik kartel.
Partai-partai dengan mudah mengesahkan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang memberi perlindungan yang jauh lebih besar kepada para pengusaha dan sebaliknya makin menenggelamkan hak-hak buruh.
Beberapa peraturan pun dapat diubah sejauh memberi ruang yang lebih bagi anggota DPR, seperti tecermin dalam perubahan ketentuan dalam pembentukan panitia khusus (Pansus) RUU Ibu Kota Negara (IKN) dan dalam soal karantina mandiri bagi pejabat setingkat eselon I ke atas.
Peraturanlah yang harus mengalah kepada kepentingan elite politik. Bahkan, dalam urusan vaksin, prioritas bagi partai politik seolah menepikan urgensi bagi masyarakat sipil.
Baca juga : Menguak Kisah Vaksin Titipan Partai hingga BUMN
Menurunnya elektabilitas partai-partai politik, terutama partai pendukung pemerintah, dapat dimaknai sebagai antitesis terhadap kecenderungan submisif dan kolaboratif partai dengan kepentingan elitenya sendiri, yang membuatnya makin berjarak dengan kepentingan konstituen.
Sebaliknya, menguatnya suara kepada partai oposisi, bisa dimaknai sebagai cermin kegeraman publik atas penelikungan suara mereka oleh kartel politik.
Di bawah kooptasi politik oligarki, setiap tokoh dan partai tidak bisa bebas bergerak sendiri. Terlebih, sebagian besar tokoh pilihan publik juga berada di dalam jaring kekuasaan partai koalisi.
Prabowo Subianto, rival Jokowi di Pemilu 2019 yang paling berpeluang untuk menjadi calon presiden pun, saat ini berada di dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan Jokowi, yang didukung partai utama PDI-P. Sandiaga Uno, mantan calon presiden pedamping Prabowo pada pemilu lalu, pun berada dalam kabinet Jokowi.
Demikian juga kader-kader PDI-P lainnya seperti Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, dan sosok kontroversial yang pernah didukung oleh PDI-P dalam Pilkada DKI 2017 Basuki Tjahaja Purnama, bergerak di ruang politik yang terpageri.
Tokoh lainnya yang berpotensi maju, baik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, seperti Ridwan Kamil, Mahfud MD, Erick Tohir, dan Airlangga Hartarto, juga berada dalam kendali kekuasaan.
Sebaliknya, nama-nama yang relatif bebas dari kooptasi kekuasaan pemerintah, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Partai Demokrat dan Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, sejauh ini masih sulit menggenjot elektabilitasnya.
Selain problem elektabilitas, Partai Demokrat nyaris tak mungkin memajukan AHY ke dalam pemilihan tanpa kehadiran koalisi partai pendukung yang cukup besar.
Sementara itu, PKS juga mengalami kesulitan. Meskipun simpatisannya cukup besar yang menginginkan Anies Baswedan menjadi calon presiden, namun PKS tak mungkin memajukan Anies tanpa koalisi dengan partai-partai lain, yang sebagian sedang terikat dalam koalisi pemerintahan.
Sehingga, meskipun posisi PKS berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi, namun sejauh ini lebih banyak menunggu perubahan di dalam koalisi besar lawannya.
Baca juga : Perubahan Basis Dukungan Politik Calon Presiden 2024
Figur penentu
Jokowi dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri bisa dibilang menjadi penentu dinamika politik. Semua masih menunggu arah keputusan yang akan diambil keduanya atau salah satu di antaranya.
Jika Jokowi dapat tetap memainkan perannya sebagai pengikat semua partai koalisinya hingga menjelang pemilu, partai-partai dan tokoh-tokoh yang terkait dengannya akan sulit bergerak.
Pun, demikian dengan Megawati, jika masih menggantung nama capres yang resmi didukung oleh PDI-P hingga detik terakhir, waktu bagi partai-partai lain untuk melakukan konsolidasi makin mepet.
Pemilu tanpa pajangan ideologi dan program, bisa saja terjadi dalam pemilu mendatang. Kesungkanan partai politik dan upayanya menjaga kepentingan dalam pemerintahan, dapat menjadikan pesta demokrasi melempem.
Pemusatan kekuatan politik tidak hanya tercipta dari akumulasi koalisi partai politik yang membesar, tetapi sejak Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno bergabung di pemerintahan, kekuatan Jokowi kian kokoh.
Nyaris tidak ada figur lain mendekati popularitas Jokowi. Pada survei Litbang Kompas bulan April 2021, misalnya, Jokowi masih disebut sebagai tokoh yang paling pantas menjadi presiden oleh 24,2 persen masyarakat. Bandingkan dengan Prabowo yang hanya dirujuk oleh 16,4 persen dan Ganjar Pranowo yang saat itu hanya disebut oleh 7,3 persen pemilih.
Pengaruh nama Jokowi yang masih sangat kuat dalam pusaran politik kontestasi, membuat nama-nama lain relatif belum memiliki daya jual di mata publik. Mereka lebih memilih “tidak tahu” atau merahasiakan pilihannya daripada menyebutkan siapa yang paling layak dipilih sebagai presiden selain Jokowi.
Dalam konteks politik yang demikian, Pemilu 2024 akan sangat dipengaruhi oleh sikap politik Jokowi dalam menjaga “legacy” yang ingin dipercayakannya kepada salah satu tokoh.
Pemilu 2024 akan sangat dipengaruhi oleh sikap politik Jokowi dalam menjaga “legacy” yang ingin dipercayakannya kepada salah satu tokoh.
Sementara, semakin banyak tokoh lain yang menghendaki warisan, makin kuat posisi Jokowi di pasar elite politik. Dalam situasi seperti ini, sulit bagi tokoh-tokoh lain untuk bersikap independen, apalagi berseberangan dengan pemikiran dan kebijakan Jokowi.
Figur oposan yang diharapkan akan menyemarakkan pesta demokrasi, tampaknya akan sulit terwujud. Meskipun tahun 2022 akan mengawali proses pemilu, namun tanpa figur baru dan masih terbatasnya ruang gerak partai, gelanggang kontestasi yang digelar belum akan banyak menarik bagi pemilih. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jalan Berliku Tokoh Potensial Calon Presiden