NU, Politik, dan Gus Yahya
Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-34 membuktikan keadaban politik tetap melekat dalam diri organisasi keagamaan ini. Kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf dalam menjaga NU akan diuji oleh perhelatan politik di Pemilu 2024.
Terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Tanfidziyah (Ketua Umum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 dalam Muktamar Ke-34 NU di Universitas Lampung, Bandar Lampung, Lampung, menegaskan, organisasi Islam terbesar ini menekankan pentingnya regenerasi tanpa menanggalkan keadaban dari NU sebagai organisasi keagamaan itu sendiri.
Dalam voting pemilihan ketua umum, Gus Yahya, panggilan akrab KH Yahya Cholil Staquf, berhasil mengalahkan KH Said Agil Siroj yang sudah memimpin PBNU selama dua periode terakhir. Namun, hasil pemilihan ini bukanlah soal kemenangan dan kekalahan.
Hal ini terbukti dengan pidato kedua tokoh setelah pemilihan berlangsung yang menekankan betapa tinggi keadaban (politik) yang dijaga dalam tradisi NU. Setelah terpilih, Gus Yahya mengucapkan terima kasih kepada KH Said Aqil Siroj yang disebutnya sebagai guru.
”Saya haturkan terima kasih saya kepada guru saya, yang mendidik saya, menggembleng dan menguji saya, tetapi juga membuka jalan untuk saya dan membesarkan saya, yaitu Prof Dr KH Said Aqil Siroj. Kalau ini disebut keberhasilan, sesungguhnya ini adalah (keberhasilan) beliau. Kalau ada yang patut dipuji, beliau yang harus dipuji,” kata Gus Yahya dalam pidato perdananya setelah terpilih yang viral di sosial media dan banyak dikutip media, Jumat (24/12/2021).
Hal yang sama juga disampaikan oleh KH Said Aqil Siroj dalam pernyataannya setelah pengumuman hasil pemilihan ketua umum. Ia mengucapkan selamat kepada Gus Yahya dan mengakui Ketua umum PBNU terpilih tersebut bukanlah orang asing baginya.
”Ayah saya belajar ngaji alfiah di Rembang, bimbingan Kiai Cholil Harun. Buyutnya Gus Yahya. Saya bersyukur, kalaupun katanya agak panas, ternyata selesai dengan damai nyaman dan ketawa. Kita lupakan kemarin. Kita gandeng tangan membesarkan NU," ujar Kiai Said yang juga dikutip dan ramai di sosial media, Jumat (24/12/2021).
Inilah potret keadaban politik yang melekat dalam diri NU. Tradisi penghormatan pada demokrasi sekaligus penghormatan pada tradisi.
Langkah Gus Yahya yang kemudian mencium tangan KH Said Aqil Siroj setelah terpilih menjadi ketua umum adalah potret tradisi pesantren yang sangat menghormati guru atau kiai yang lebih sepuh dan senior.
Adegan ini kemudian juga viral di media media yang makin mengukuhkan hasil muktamar NU kali ini berlangsung demokratis dan penuh hikmat.
Kini, kepemimpinan Gus Yahya di PBNU akan menghadapi tantangan politik yang tidak mudah. Sebagai organisasi keagamaaan yang meneguhkan diri lebih menguatkan nilai-nilai politik kebangsaan, Nahdlatul Ulama tidak bisa lepas dari dinamika politik yang terjadi. Perhelatan Pemilu 2024 akan menjadi ujian awal bagi kepemimpinan Gus Yahya.
Baca juga : Gus Yahya Jadi Ketua Umum PBNU, Santri Senang Sekaligus Sedih
Capres PBNU
Relasi NU dan politik memang tidak bisa dilepaskan. Apalagi menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden, keduanya menjadi perbincangan yang menarik.
Sebelum perhelatan muktamar, Gus Yahya sempat menegaskan yang kemudian banyak dikutip media dan media sosial. Menurut dia, tidak ada calon presiden atau wakil presiden dari PBNU pada Pemilu 2024 mendatang. ”Saya tidak mau ada calon presiden dan wakil presiden dari PBNU," kata Gus Yahya di Jakarta, Minggu (20/12/2021).
Salah satu pertimbangan yang dikemukakan Gus Yahya, yang juga keponakan dari KH Mustofa Bisri ini, adalah residu pemilihan presiden yang sampai saat ini masih menyisakan pembelahan politik di masyarakat.
”Mari istirahat dulu, mari sembuhkan dulu luka -luka dan mengutuhkan kembali polarisasi yang sudah terjadi,” ujar Gus Yahya.
Kepemimpinan Gus Yahya di PBNU akan berupaya mengembalikan marwah NU dengan cita-cita peradaban yang mulia bagi semua umat manusia. Menurut dia, salah satu cara memperjuangkan cita-cita tersebut adalah kemaslahatan Indonesia.
Dalam konteks inilah Gus Yahya merujuk pada pemikiran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Cara berpikir Gus Dur yang mengutamakan kepentingan bangsa akan dilanjutkannya. Gus Yahya menyebut salah satu alasannya maju sebagai ketua umum PBNU adalah untuk menghidupkan kembali idealisme, visi, dan cita-cita Gus Dur.
Namun, menarik jika kemudian kembali pada pernyataan tidak ada calon presiden dari PBNU. Sejak era reformasi, diakui atau tidak, tokoh NU hampir kerap meramaikan kontestasi pemilihan presiden.
Pada Pemilihan Presiden 1999 yang saat itu masih dipilih oleh MPR, Gus Dur terpilih menjadi presiden. Pada tahun yang sama, Gus Dur mengakhiri periode kepemimpinannya di PBNU yang ia jabat selama tiga periode.
Potret politik yang sama terjadi pada era pemilihan presiden langsung. Pada pemilihan Presiden 2004, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputeri yang melaju sebagai calon presiden. Namun, pasangan ini harus mengakui keunggulan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada putaran kedua.
Pada putaran pertama, selain KH Hasyim Muzadi, sosok tokoh NU lainnya, yakni KH Salahuddin Wahid, juga maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto.
Gus Sholah, demikian panggilan akrabnya, sempat maju dalam pemilihan ketua umum PBNU pada Muktamar NU tahun 1999, tetapi mengundurkan diri dari putaran kedua. Di muktamar tersebut, KH Hasyim Muzadi yang kemudian terpilih dan kemudian memimpin PBNU selama dua periode (1999-2010).
Tidak seperti Pemilihan Presiden 1999 dan 2004, pada Pemilihan Presiden 2009 tidak ada sosok representasi dari PBNU.
Isu dukungan dan mobilisasi pemilih dari kalangan nahdliyin tidak tampak seperti halnya yang terjadi pada 2004 ketika ada nama KH Hasyim Muzadi meskipun ada nama Jusuf Kalla yang juga dikenal berlatar belakang NU sebagai calon presiden. Hal yang sama terjadi pada Pemilihan Presiden 2014.
Pada Pemilihan Presiden 2019, pilihan menjadikan KH Ma’ruf Amin yang saat itu menjabat Rais Aam PBNU kembali menghangatkan posisi NU dalam konstelasi elektoral pada pemilihan presiden.
Dinamika politik pascapemilihan presiden yang melahirkan polarisasi inilah yang kemudian diangkat Gus Yahya untuk bisa digerus demi kemaslahatan Indonesia pada masa depan.
Baca juga : Menjaga Relevansi NU
Politik NU
Bagaimanapun hubungan NU dan politik memang tidak bisa dilepaskan. Namun, politik yang dikedepankan NU adalah politik kebangsaan dan kemaslahatan.
Dalam artikelnya di Kompas berjudul ”NU dan Politik”, Gus Dur mengingatkan bahwa NU berperan penting untuk membangun keadaban bangsa menuju transformasi sosial dalam konteks demokratisasi.
Inilah potret keadaban politik yang melekat dalam diri NU. Tradisi penghormatan pada demokrasi sekaligus penghormatan pada tradisi.
Gus Dur menulis, ”Tujuan NU adalah transformasi sosial secara lebih paripurna dan lebih mendasar. Sasarannya adalah kelangsungan proses demokratisasi kehidupan bangsa kita secara lebih menyeluruh. Kedaulatan hukum harus lebih tampak, tidak hanya selalu dikalahkan oleh kepentingan politik pemegang kekuasan. Kebebasan berbicara dan berpendapat harus memperoleh perlindungan yang lebih konkret, tidak hanya menjadi hiasan bibir dan pemanis mulut saja” (Kompas, 24 Juni 1987).
Tentu, pesan Gus Dur ini sudah terpatri dalam diri Gus Yahya yang juga murid Gus Dur. Sesuai dengan misinya untuk terus menghidupkan cita-cita Gus Dur, kepemimpinan Gus Yahya di PBNU tentu akan tetap menjadikan relasi NU dan politik sebagai relasi yang tetap mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Apalagi cita-cita NU menuju satu abad usianya yang membangun kemandirian untuk perdamaian dunia, sesuai dengan tema dalam muktamar lalu, akan menjadi misi yang dijalankan Gus Yahya yang sejauh ini sudah berperan di dunia internasional.
Apalagi, dengan pengalaman internasional yang dimiliki Gus Yahya, itu akan menjadi modal baginya dalam memimpin PBNU dengan tanpa melupakan kesederhanaan dan kebersahajaan, seperti halnya tradisi yang selama ini melekat dalam diri warga nahliyin.
Seperti yang Gus Yahya lakukan saat awal dipercaya sebagai juru bicara kepresidenan pada era Gur Dur. Saat itu, media bertanya apa pendapat teman-teman di kampung ketika Gus Yahya terpilih sebagai juru bicara presiden.
”Mereka mengira saya sudah jadi pejabat tinggi yang luar biasa, jadi sugih (kaya). Padahal, keadaan saya biasa-biasa saja. Kalau di rumah dan tidak ada pekerjaan di Istana, saya umbah-umbah (cuci pakaian) atau ngepel lantai," ujar Gus Yahya (Kompas, 11/11/2020). Selamat bekerja Gus!. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : NU dan Poros Indonesia